Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fina Raihana

KDRT sebagai Belenggu Budaya Patriarki

Eduaksi | Tuesday, 23 May 2023, 00:23 WIB
Foto oleh Polina Tankilevitch: https://www.pexels.com/id-id/foto/kaki-rantai-belenggu-telapak-kaki-8203246/

Budaya patriarki telah terbentuk di negara Indonesia sejak dahulu. Mulai dari zaman berburu dan meramu hingga zaman kerajaan, patriarki telah ada. Ini yang membuat kaum lelaki dinilai jauh lebih unggul dan dapat diandalkan dibanding dengan kaum perempuan. Di sisi lain, adanya zaman penjajahan membuat kaum perempuan hanya dipandang sebagai objek pemuas nafsu belaka.

Melalui proses yang sangat panjang inilah membuat kebudayaan patriarki telah melekat kuat di masyarakat. Kebudayaan patriarki melahirkan berbagai perilaku ketidakadilan di masyarakat. Perempuan kerap kali mengalami pelecehan seksual di berbagai situasi dan tempat. Kata “masak, manak, macak” yang identik dengan perempuan masih menjadi label dalam kehidupan sehari-hari. Pemikiran yang sudah menjadi kebudayaan masyarakat, khususnya dalam pembahasan patriarki membuat munculnya siklus permasalahan di Indonesia terus berputar tanpa mengalami perubahan yang signifikan.

Patriarki membuat masyarakat beranggapan wajar bahwa kaum laki-laki selalu memiliki posisi utama. Sementara itu peran perempuan hanyalah dianggap sebagai pelengkap semata. Meskipun pendidikan tinggi telah terjamah bagi kaum perempuan, namun kesempatan perempuan dalam pekerjaan masih jauh setara dari laki-laki. Hal ini tercatat oleh Badan Pusat Statistika (BPS) dalam kurun waktu 3 tahun (2019-2021) bahwa angka pendidikan perempuan sudah setara, bahkan melebihi angka pendidikan laki-laki. Namun menelaah lebih jauh, angka pekerjaan keduanya masih belum bisa dikatakan setara. Ini membuat munculnya kondisi kecenderungan laki-laki bekerja dan perempuan sebagai rumah tangga. Kecenderungan ini apabila tidak didasari dengan kerjasama dan toleransi yang baik membuat adanya kekuasaan yang timpang.

Adanya kedudukan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga berpotensi untuk terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pernikahan yang seharusnya menjadi rumah untuk berjuang bersama justru menjadi sumber ketakutan bagi kaum perempuan. Meskipun terdapat banyak kasus KDRT terjadi, namun sedikit sekali perempuan yang memilih untuk membela diri, baik dengan cara melaporkan maupun mengakhiri hubungan. Perempuan cenderung dinilai tidak dapat melayani suami dengan baik sehingga KDRT menjadi sebuah masalah yang dianggap wajar. Tidak heran jika ketidakadilan gender masih menjadi suatu hal yang sering terjadi di Indonesia.

Dalam hal ini, KDRT menyebabkan disfungsi peranan sosial dalam masyarakat yang dapat menimbulkan permasalahan sosial lainnya seperti sosialisasi primer tidak sempurna, penelantaran anak, kemiskinan, dan sebagainya. Budaya patriarki yang dibiarkan secara terus menerus akan melahirkan ketidakadilan gender yang akan selamanya dapat dianggap wajar. Stigma bahwa perempuan haruslah menurut dan selalu sabar akan menjadi pondasi abadi terjadinya permasalahan KDRT.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image