Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yudha Hari Wardhana

Indonesia Zonder Penulis, Mungkinkah?

Edukasi | Friday, 14 Apr 2023, 14:57 WIB

Dulu, Jendral Oerip Soemohardjo pernah berucap,”Aneh, negara zonder (tanpa) tentara.” Kalau dilihat dari latar belakangnya sebagai seorang perwira militer, pandangannya itu bukan keanehan. Tidak aneh juga kalau saya yang bergiat di dunia kepenulisan ini mengatakan,”Lebih aneh lagi kalau Indonesia zonder penulis.”

Sebagian besar orang mungkin akan menganggap pernyataan saya itu sebagai bentuk halusinasi dan terlalu ngadi-ngadi. Tetapi siapa yang berani menggaransi kalau Indonesia zonder penulis tidak akan pernah terjadi?

Kemungkinan terjadinya Indonesia zonder penulis mungkin belum terimajinasikan oleh banyak orang. Maklumlah, sampai tahun 2023 negeri ini masih menyisakan cukup banyak pemikir yang menulis dan juga penulis yang tidak berpikir.

Upaya untuk menghindarkan terjadinya Indonesia zonder penulis sebenarnya sudah sering dilakukan para pagiat literasi. Bocah-bocah Sekolah Dasar sudah mulai diberi asupan motivasi dan skill dasar menulis hingga bisa membuahkan karya.

Biasanya, calon-calon penulis masa depan itu diberi stimulus berupa quote terkenal dari Al Ghazali dan Pramoedya Ananta Toer.

Al Ghazali, penulis kitab Ihya Ulumuddin, pernah mengatakan,”Kalau kau bukan anak raja, bukan pula anak ulama besar, maka menulislah.” Sedangkan Pramoedya berkata,”Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama tidak menulis, ia akan hilang dari sejarah.”

Selain dengan quotes, rangsangan motivasi juga diberikan dengan memberikan contoh orang sukses sebagai penulis. Tolok ukur kesuksesannya sesuai standar zaman sekarang yaitu ketenaran dan cuan.

Bila dua hal itu ukurannya, maka nama Andrea Hirata akan selalu disebut-sebut sebagai role model. Bukan cuma mengubah jalan hidupnya from nobody to somebody, Laskar Pelangi sebagai karya besarnya membuat pemuda Belitung ini melejit menjadi miliarder.

Setelah motivasi bisa ditanamkan, barulah pengasahan skill menulis dilakukan. Materi dasar yang mencakup pencarian ide, perumusan tema dan judul, penyusunan dan pengembangan kerangka tulisan, diberikan secara terstruktur dan praktis.

Kalau melihat geliatnya, memang sepertinya tidak ada gejala akan terciptaya kondisi Indonesia zonder penulis. Meski begitu, rasanya sulit menutup mata. Kenyataannya, profesi penulis masih belum banyak dicita-citakan.

Tentunya bukan salah kak Ria Enes dan Suzan kalau mayoritas anak bercita-cita menjadi dokter, insinyur, presiden, ataupun konglomerat. Ada faktor-faktor yang saling berkelindan dan membuat profesi sebagai writerpreneur belum memiliki daya tarik kuat.

Faktor pertama, rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Badan PBB bernama UNESCO bahkan menyatakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia menunjukkan perbandingan 1 : 1.000. Artinya dari 1.000 orang hanya ada satu orang yang suka membaca.

Senada dengan UNESCO, Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjakdikbud) juga mempublikasikan hasil risetnya. Disebutkan, Indeks Aktivitas Literasi Membaca Nasional 2020 berada pada kategori rendah.

Kalau rendahnya minat baca itu dibiarkan semakin parah, siapa yang mau capek-capek berpikir dan berimajinasi untuk menghasilkan tulisan? Alih-alih jadi best seller macam Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, ternyata nasib buku yang dihasilkan cuma menjadi hiasan etalase. Berjam-jam menulis sebuah konten berkualitas, setelah diposting, ternyata trafficnya kecil alias viewersnya sedikit.

Masalah kedua adalah minimnya apresiasi terhadap karya seorang penulis. Menyedihannya, kecilnya apresiasi ini disandarkan pada aturan yang telah ditetapkan.

Sejak draft akademis dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2018 dibedah di Surabaya dengan mengundang pihak-pihak terkait, saya termasuk yang bersuara kritis, khususnya terjhadap sebuah pasal.

Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang tersebut mewajibkan kepada setiap penerbit untuk menyerahkan dua eksemplar karya cetak kepada Perpustakaan Nasional dan satu eksemplar kepada Perpustakaan Provinsi tempat domisili penerbit.

Karena adanya pasal ini, saya pernah menerbitkan buku dengan mendapat 10 buku bukti terbit tetapi ternyata yang saya terima cuma 7 eksemplar. Tiga lainnya sudah diserahkan secara cuma-cuma ke Perpusnas dan Perpusprov sesuai ketentuan. Terus, saya sebagai penulisnya mendapat apa? Nothing!

Sudah terkena kewajiban setor karya cetak saat buku sudah terbit, untuk mendapatkan ISBN penerbit juga wajib menyerahkan file dummy bukunya, tanpa watermark. Pantaslah kalau seorang JJ Rizal selaku Direktur Penerbit Kobam sampai mengomel.

Inti masalahnya, tidak ada garansi file itu tidak akan dibajak lalu tiba-tiba nongol secara gratis di ruang digital. Kalau itu yang terjadi, penulis dapat apa? Lagi-lagi, Nothing!

Berpijak pada realita tidak menguntungkan itulah, terjadinya Indonesia zonder penulis bukanlah kemustahilan. Bukan karena tidak ada potensi melainkan tidak adanya lagi gairah berkarya.

.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image