Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Prof. Dr. Budiharjo, M.Si

Mewaspadai Perdagangan Anak yang Kian Menakutkan

Info Terkini | Thursday, 09 Mar 2023, 09:20 WIB
Begitu banyaknya bentuk trafficking anak, maka yang paling menakutkan adalah anak-anak yang dibunuh untuk kemudian diperjualbelikan organ tubuh mereka.

Di Indonesia, perdagangan anak merupakan persoalan lama yang hingga saat ini belum dapat diselesaikan secara tuntas. Hal ini terjadi karena kompleksitas masalah yang melingkupi persoalan perdagangan anak. Data yang dirilis International Organization for Migration (IOM) tahun 2011, Indonesia menempati peringkat teratas dengan jumlah 4.067 korban perdagangan manusia.

Setelah memahami besarnya kasus perdagangan anak, maka hal penting yang harus dilakukan adalah bagaimana cara mengatasi hal ini. Formulasinya adalah penanganan korban traficking dalam sebuah sistem dan jaringan yang komprehensif dan melibatkan seluruh stakeholder pencegahan dan penanganan korban trafficking. Lebih dari itu, penanganan korban pun harus melalui pendekatan rehabilitatif.

Sesuai dengan UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), korban berhak mendapatkan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari Pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan, baik fisik maupun psikis.

Untuk merealisasikan hak tersebut, maka telah dibentuk mekanisme dan berbagai sistem layanan, di antaranya melalui rumah perlindungan sosial dan pusat-pusat trauma, baik milik pemerintah maupun yang dikelola oleh masyarakat. Proses rehabilitasi harus dibarengi pula dengan aktivitas pendukung, khususnya yang bersifat mencegah terjadinya perdagangan anak.

Penyebab Trafficking

Penulis mencatat ada lima realitas sosial yang menjadi pendukung terjadinya traficking anak. Pertama, kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) memiliki data adanya kecenderungan jumlah penduduk miskin yang terus meningkat dari 11,3% pada tahun 1996 menjadi 23,4% pada tahun 1999, walaupun berangsur-angsur telah turun kembali menjadi 17,6% pada tahun 2002. Realitas sosial ini kemudian mendorong anak-anak untuk tidak bersekolah sehingga kesempatan untuk mendapatkan keterampilan kejuruan serta kesempatan kerja menyusut.

Alhasil, untuk memenuhi kebutuhan hidup dan ekonomi, anak-anak terjerat dengan seks komersial. Aktivitas ini menjadi sumber nafkah yang mudah untuk mengatasi masalah pembiayaan hidup. Kemiskinan pula yang mendorong kepergian ibu sebagai tenaga kerja yang dapat menyebabkan anak terlantar tanpa perlindungan sehingga beresiko menjadi korban perdagangan manusia.

Kedua, gaya hidup yang ingin mudahnya saja dan tidak mau bekerja keras untuk sukses. Berdasarkan data KPAI, kasus trafficking tidak sepenuhnya disebabkan faktor eksternal, namun juga internal. Banyak anak-anak yang ingin cepat kaya karena terpengaruh globalisasi. Keinginan untuk hidup lebih layak, tetapi dengan kemampuan yang minim dan kurang mengetahui informasi pasar kerja, menyebabkan mereka terjebak dalam lilitan utang para penyalur tenaga kerja dan mendorong mereka masuk dalam dunia prostitusi.

Ketiga, pengaruh buruk nikah muda bagi anak. Tidak dapat disangkal, pernikahan muda berimplikasi pada maraknya perceraian bagi pasangan muda. Akibat dari perceraian tersebut, mendorong anak memasuki eksploitasi seksual komersial. Pernikahan dini menciptakan masalah sosial ekonomi dan kesehatan, baik untuk laki-laki atau perempuan, seperti keterlibatan anak dalam dunia prostitusi, penyebaran HIV/AIDS, kehamilan prematur, kesempatan ekonomi terbatas hingga menyebabkan perkembangan pribadi yang terhambat.

Keempat, tidak adanya kesadaran untuk mendapatkan informasi yang komprehensif tentang buruh migran. Bekerja di luar negeri menjadi salah satu faktor trafficking anak. Mereka biasa terlibat jasa pengiriman tenaga kerja ke luar negeri dengan memalsukan identitas usia. Akibat penipuan, mereka terlunta-lunta di negeri orang dan kehilangan hak-hak sipil dan terjebak pada perbudakan.

Kelima, kurangnya kepedulian orang tua terhadap anak. Tidak jarang ditemukan orang tua yang kurang peduli untuk membuat akta kelahiran sang anak berbagai alasa. Orang tanpa tanda pengenal yang sah, lebih mudah menjadi korban trafficking karena usia dan kewarganegaraan mereka tidak terdokumentasi dengan baik. Anak-anak korban trafficking lebih mudah dijual ke orang dewasa, jika mereka tidak memiliki indentitas yang benar.

Penjualan Organ Tubuh Anak

Lima realitas sosial di atas kemudian melahirkan bentuk-bentuk perdagangan anak yang sangat mengerikan. Beberapa bentuk yang berhasil dicatat KPAI adalah penjualan anak yang mencakup penyelundupan manusia, migrasi ilegal ke tempat yang bukan tanah kelahiran anak disertai dengan ancaman dan tekanan, prostitusi anak dan pedofilia, pekerja anak, perdagangan anak melalui adopsi, pernikahan dan pengantin pesanan dan implantasi organ.

Begitu banyaknya bentuk trafficking anak, maka yang paling menakutkan adalah anak-anak yang dibunuh untuk kemudian diperjualbelikan organ tubuh mereka. Kementerian Perlindungan Perempuan dan Perlindungan anak mencatat ada 80 kasus implantasi organ berkedok adopsi anak. Dalam beberapa kasus ditemukan adanya bayi yang belakangan diketahui diadopsi untuk diambil orang tubuh mereka dan sebagian besar bayi-bayi malang tersebut dikirim ke sejumlah negara, di antaranya Singapura, Malaysia, Belanda, Swedia dan Perancis.

Sejak Januari 2014 hingga Desember 2015, diketahui sebanyak 15 orang telah menjadi korban perdagangan/transplantasi organ ginjal di Bandung, Jawa Barat. Modus yang terindikasi yaitu adanya bujuk rayu, iming-iming serta janji akan bayaran tinggi, korban sedang terjerat hutang, serta terjadinya unsur penipuan dan pemalsuan surat persetujuan dari keluarga dalam pelaksanaan pengangkatan organ ginjal.

Terkait adopsi, Pemerintah Indonesia sudah memberlakukan prosedur ketat dalam pengangkatan anak. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya pembunuhan dan penjualan anak untuk kepentingan komersil ataupun prostitusi. Namun begitu, untuk mengeliminasi kasus perdagangan harus diakui bukan hal yang mudah. Akibat cara pandang pemerintah dan masyarakat yang lebih banyak bersifat patologis, dan menempatkan persoalan ini sebagai bagian dari penyakit masyarakat, yang terjadi kemudian bukannya berusaha menyusun rencana aksi yang konkret dan didukung rasa empati yang tinggi terhadap anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual komersial.

Yang terjadi justru bentuk-bentuk penghakiman massa dari penstigmaan sosial yang makin menyudutkan mereka. Kemiskinan cenderung dipandang sebagai persoalan laten dan massif untuk mengkambing hitamkan perdagangan anak. Maka ungkapan memberantas kemiskinan maka perdagangan anak akan selesai tidaklah tepat. Sama sekali tidak ada upaya membangun kesadaran (awareness) di kalangan masyarakat guna mempromosikan dampak buruk perdagangan anak.

Solusi Konkret Mengatasi Perdagangan Anak

Padahal, upaya pencegahan yang dapat ditempuh antara lain memberikan berbagai informasi tentang perdagangan anak dan hal-hal yang terkait sampai tips untuk menghindari menjadi korban perdagangan anak. Cara itu dapat diharapkan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman anak. Dengan demikian diharapkan orang tua minimal mampu melindungi dirinya sendiri atau mampu melakukan upaya pencegahan agar orang di sekitarnya tidak menjadi korban perdagangan anak.

Juga menciptakan pendidik sebaya ini salah satu wujud pemberian ruang partisipasi anak, khususnya dalam rangka pencegahan perdagangan anak. Ruang partisipasi ini sebenarnya bukan hanya untuk anak yang menyampaikan materi saja (fasilitator), akan tetapi juga untuk semua anak yang sudah mendapatkan informasi (peserta). Jadi untuk peserta di harapkan juga dapat menjadi pendidik sebaya bagi teman-temannya atau anak lain di lingkungannya dengan menyampaikan informasi yang sudah didapat sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Pendekatan hukum yang hanya bersifat regulatif-kuratif atau pendekatan moralistik yang cuma mengecam kasus perdagangan anak sebagai pilihan hidup yang patologis tidak akan menyelesaikan masalah. Kecaman tidak akan pernah mampu menyelesaikan persoalan perdagangan dan pelacuran anak hingga ke akarnya. Para pihak harus menyadari di balik keramaian dan gemerlap kota besar, di sana ternyata ada anak-anak kita yang teraniaya, anak-anak yang membutuhkan uluran tangan dan rasa empati bukan caci-maki.

Perlu adanya koordinasi lintas sektor guna meretas praktek perdagangan ini baik pemerintah dan LSM yang niscaya dengan koordinasi yang baik praktek semacam ini dapat dicegah. Pada saat yang sama perlu ada penanganan khusus bagi para korban agar tidak timbul stigma di masyarakat. Penyadaran kepada para orang tua penting untuk dilakukan. Model pemberdayaan ekonomi keluarga miskin terbukti efektif menekan angka perdagangan anak. Yang penting ada komitmen dan kesungguhan dari para pihak untuk mengatasi praktek ilegal ini. (*)

Penulis adalah Ketua Umum BKKKS Periode 2020-2025.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image