Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hasan Munadi

Reformasi mental rakyat berketuhanan melalui 4 prinsip universal pendiri bangsa

Politik | Saturday, 18 Feb 2023, 00:06 WIB

Reformasi mental rakyat berketuhanan melalui 4 prinsip universal pendiri bangsa

Photo by: @iamangakil

Negara berketuhanan bukanlah teokrasi yang menjadikan hukum Tuhan sebagai kekuasaan tertinggi dalam bernegara. Namun lebih kepada esensi agama menjadi dasar dan penuntun dalam kehidupan bernegara. Agama bukan sebagai bentuk tapi sebagai esensi. Adapun formalisme beragama harus memiliki titik keseimbangan dalam bernegara. Tidak bisa formalisme beragama meninggalkan prinsip moral, fondasi, dan visi dalam bernegara, karena negara adalah bentuk yang mandiri dalam berideologi, sedangkan agama adalah esensi yang bebas dari keterpihakan. Keduanya seperti tubuh dan jiwa. Walaupun berhubungan erat tapi tidak jarang terjadi perselisihan internal, maka untuk mendapatkan sumber kebahagiaan esensi agama dan visi negara harus saling mengisi untuk mencapai titik keseimbangan dengan tanpa menghilangkan esensi atau visi dari keduanya.

Titik keseimbangan inilah yang harus dimengerti, digali, dihayati, dan diimplementasikan oleh setiap warga negara, baik individu maupun kolektif yang mengarah pada terciptanya tujuan-tujuan yang telah digariskan kepada keputusan kebijakan. Para pendiri bangsa sudah merumuskan bahkan sebelum Indonesia merdeka. Pendiri bangsa berusaha membangun sistem yang didasarkan terhadap hak dan martabat yang sama untuk setiap manusia. Menurut Hamka (1952: 32), keselamatan Indonesia akan terjamin, jika dengan berpegang teguh pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itulah urat tunggang Pancasila (Hamka, Urat Tunggang Pantjasila). Penghapusan “tujuh kata” yang sempat ditambahkan pada sila pertama dalam Piagam Jakarta adalah kesepakatan konstitusional. Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan nilai dasar yang memberikan keleluasaan ruang untuk meyakini dan menjalankan ajaran agama bagi masing-masing pemeluknya. Walaupun tanpa “tujuh kata” itu, sila pertama justru tetap inklusif. Karena pada praksisnya setiap kelompok agama merasa terakomodasi.

Didalam relasi antara agama dan negara istilah pluralisme, sekularisme, dan isme-isme yang lain kerap menjadi judul perbincangan publik. Bahkan kerap kali disalah gunakan sebagai simbolisme dan sektarianisme untuk merampas hak orang lain, menindas kaum minoritas, serta memutar balik sudut pandang ideologi yang jelas-jelas melanggar hukum dan nilai kemanusiaan yang diajarkan oleh agama.

Mental rakyat berketuhanan harus dipraktekkan didalam sistem pemerintahan terlebih dahulu. Upaya seperti ini belum sepenuhnya terjadi, padahal didalam pembukaan UU dasar 1945 berbunyi: “kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” Pemerintah berkewajiban melaksanakannya ke dalam sistem konstitusi yang terbuka dan merdeka agar ketatanegaraan Indonesia terus-menerus mengejar tujuan yang memajukan kesejahteraan umum tanpa terdegradasi oleh sistem lain, mencerdaskan kehidupan bangsa dimulai dengan mencontohkan kepada semua kalangan dan lepas dari keterpihakan, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial melalui prinsip universal pendiri bangsa dalam mendirikan bangsa bernegara.

Prinsip universal pendiri bangsa setidaknya termuat dalam 4 prinsip. Diantaranya adalah: Pertama, memperlakukan orang lain secara adil dan setara. Artinya tidak ada diskriminasi maupun kesenjangan struktural. Untuk mencapai hal tersebut, persoalan-persoalan agama, budaya, dan masyarakat harus linier kearah keberadaban individual karena mau tidak mau kemanusiaan memiliki arti nilai adab yang mutlak dan terbebas dari diskriminasi dalam bentuk apapun. Terbukanya kran untuk mobilitas sosial merupakan solusi untuk mengatasi adanya bentuk diskriminasi. Indonesia memang menjadikan kemanusiaan sebagai dasar ideologi, jadi sekularisme beragama dalam hal ini tidak menjadi pertentangan, justru sebaliknya nilai-nilai keagamaan yang menentang tegas segala bentuk diskriminasi menjadi esensi yang selaras untuk berkebangsaan.

Kesenjangan struktural terjadi karena preferensi politik. Adanya keterlibatan politik bukanlah hal baru yang menimbulkan masalah serta solusi untuk segala permasalahan. Kesenjangan struktural adalah konsep atau sistem yang berkonotasi revolusioner. Akan tetapi, karena Indonesia adalah negara berketuhanan yang mengedepankan prinsip kemanusiaan sesuai prinsip universal para pendiri bangsa, maka perubahan yang dimaksud adalah reformasi. Melalui perubahan yang bertahap dengan menyangkut bidang agama, politik, dan sosial yang dimulai dari perubahan mental rakyat sebagai manusia yang memiliki hak sama rata dengan semua manusia. Baru-baru ini presiden Jokowi (11/11/2021) menegaskan tidak ingin adanya mental inlander atau mental terjajah masih ada dalam mentalitas bangsa Indonesia. Gejala dalam memandang bangsa lain lebih tinggi dari kita. Padahal sudah jelas, sejak Indonesia merdeka seluruh dan segenap rakyat Indonesia harus siap ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Hal pertama yang menjadi dasar adalah rasa bahwa kita benar-benar sudah merdeka. Setara secara hukum dan mental. Perubahan dalam kesenjangan struktural dengan dimulai dari mental merdeka akan menimbulkan rasa saling menghormati kesetaraan dan berkeadilan dalam mengisi politik yang positif.

Kedua, menerima dan menghormati negara bangsa yang berdaulat sebagai sistem politik yang mengikat rakyat setiap bangsa. Sejak Indonesia merdeka, Indonesia telah siap secara hukum untuk mengatur dan menjalankan pemerintahan. Sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia untuk menentukan nasib, mandiri mengatasi segala permasalahan, dan membangun kerjasama dengan negara lain. Di masa lalu, mutual misunderstanding antara simbol identitas agama dan Pancasila sebagai ideologi mengganggu kedaulatan negara, sehingga Indonesia mengalami beberapa kali perubahan konstitusi. Pola integralistik disalah pahami kembali dengan menganggap negara sebagai lembaga yang menjalankan kekuasaan Tuhan. Padahal, sistem politik yang mengikat rakyat setiap bangsa mengarahkan kepada praktis kemerdekaan- yang sesuai dengan nilai universal masing-masing agama. Hal ini mengarah kepada perasaan atau empati terhadap keberagaman. Sila persatuan Indonesia telah menjawab persoalan keberagaman ini, namun lebih condong kepada adat, karena selama ini rakyat lebih menilai Pancasila hanya sebatas teks ideologi. Jika terus seperti ini, Pancasila hanya akan menjadi mitos bukan sebagai praktis kemerdekaan menuju cita-cita bangsa.

Ketiga, menerima dan menghormati hukum suatu negara yang mengikat seluruh penduduknya, yang tidak memberikan ruang bagi siapapun untuk menyebut agama sebagai pembenaran. Negara berketuhanan tidak bisa menyebut indentitas agama tertentu sebagai pembenaran di ruang publik. Demikian jelas bertentangan dengan hukum. Jati diri ideologi negara berketuhanan harus dimiliki juga oleh setiap warga negara sebagai konsistensi menjaga keharmonisan, pelaksanaan nilai-nilai yang saling berhubungan, dan korespondensi antara kenyataan dengan ideologi. Jati diri ideologi tersebut adalah mengamalkan Pancasila. Dengan demikian Pancasila tidak akan menjadi mitos selama warga negara memahami serta mengamalkan Pancasila sekaligus sadar bahwa terdapat simbiotik antara agama dan negara dalam norma maupun hukum.

Adanya sekularisme beragama, paham agama berkenegaraan, serta intoleransi sebagai pembenaran merupakan fault fractured atau sebuah kesalahan yang dianggap benar. Hal ini terjadi karena adanya sikap mengesampingkan empati eksternal, sehingga mengakibatkan intoleransi yang tidak dirasa sebagai intoleransi. Padahal hal ini tidak bisa di justifikasi secara keagamaan. Agama adalah hak kemanusiaan untuk menyatakan berketuhanan secara mutlak. Didalam ruang bernegara, mental rakyat berketuhanan seharusnya menjadi jembatan toleransi secara global bukan menyatakan pembenaran agama yang malah menunjukkan keamatiran dalam relasi antara ber- agama dan ber- negara. Menurut peneliti badan riset dan inovasi nasional, Najib Burhani (16/11/2021) akibat dari mengesampingkan empati eksternal itulah yang membuat adanya intoleransi.

Keempat, melestarikan dan memperkuat tatanan internasional berbasis aturan yang didirikan di atas keadilan, kebebasan, dan perdamaian abadi. Mental bangsa Indonesia yang berketuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilan dibutuhkan dalam kontribusi memperkuat tatanan internasional. Hal ini jelas mengartikan bahwa bangsa yang majemuk ini atas keberagamannya setara dengan bangsa lain untuk mengambil peran terhadap tatanan internasional. Tentu tidak mudah untuk menjalankan tugas tersebut tanpa adanya kekompakan yang mendasar pada keharmonisan politik yang positif, dan industrialisasi yang koheren. Keterbukaan pemerintah untuk membahas isu-isu serta strategi di tatanan internasional membutuhkan sosial masyarakat yang dewasa, berintegritas tinggi, dan mempunyai daya saing global untuk menciptakan rute kesejahteraan bangsa dengan tidak meninggalkan ciri khas bangsa yang berketuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilan. Seminimalnya memahami akan keterkaitan kepentingan nasional dan peran berbangsa.

Untuk reformasi mental rakyat berketuhanan terletak pada setiap individu dalam memahami, menghayati, dan mengimplementasikan prinsip universal pendiri bangsa. Setidaknya kita “menolak lupa” setiap harinya bahwa kita rakyat Indonesia yang berketuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilan. Mental rakyat Indonesia sebagai rakyat berketuhanan merupakan modal awal sekaligus dasar utama untuk melangkah kepada mental berikutnya, yaitu rakyat berkemanusiaan dan seterusnya. Menurut Soekarno (1960: 47), secara historis dan sosiologis pada umumnya masyarakat Indonesia menempatkan ketuhanan sebagai prinsip fundamental. Karena itu, prinsip ketuhanan mutlak diperlukan untuk membentuk mental rakyat Indonesia yang berketuhanan sebagai langkah awal menjadi rakyat Indonesia yang sesungguhnya. Begitu juga empat mental setelahnya.

Dari 4 prinsip universal pendiri bangsa diatas, dapat dipahami bahwa sebenarnya para pendahulu telah merumuskan sedemikian jauhnya harapan kepada bangsa Indonesia sebagai negara berketuhanan agar dapat langgeng sebagai bangsa dan negara. 4 prinsip universal pendiri bangsa diatas merupakan tawaran solusi dari para pendahulu yang relevan sepanjang masa, maka sudah final dan melindungi segenap ras, suku, budaya, agama, dan etnis yang merupakan kekayaan murni yang diberikan oleh “Tuhan Yang Maha Esa”. Berakar dari hakikat sila “Tuhan Yang Maha Esa”, kemudian bermanifestasi kepada 4 sila setelahnya. Dengan mengamalkan sepenuhnya hakikat sila pertama, maka sebenarnya telah memiliki koherensi/kelekatan dengan sila yang lain. Pancasila bukan hanya mitos atau ideologi saja, namun lebih kepada “pengamalan nilai-nilai luhur bangsa” yang lahirnya entah kapan entah di mana. Jadi, kesaktian atau keefektifan Pancasila bukanlah sekedar warisan yang sering dijadikan tanda munculnya peringatan hari kemerdekaan itu. Merdeka harus dihayati secara global, kemudian barulah ideologi itu- pengamalan nilai-nilai luhur dinyatakan dengan karakter luhur. Dan oleh sebab itu kita dapat mencapai cita-cita bangsa Indonesia bersama segenap bangsa Indonesia tanpa adanya tumpah darah dari setiap bangsa Indonesia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image