Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Arif Minardi

Pertumbuhan Ekonomi Belum Berkualitas, Elastisitas Pasar Tenaga Kerja Kian Merosot

Info Terkini | Tuesday, 14 Feb 2023, 12:03 WIB
Munas ke-7 FSP LEM SPSI

Catatan untuk peserta Munas Federasi Serikat Pekerja Logam Elektornika dan Mesin SPSI ( FSP LEM SPSI ) di Kota Malang, Jawa Timur, 15-17 Februari 2023.

SEMANGAT perjuangan Serikat Pekerja, mahasiswa dan rakyat yang selama ini gigih menentang UU Cipta Kerja yang kini menjelma menjadi Perppu Cipta Kerja semakin menyala dengan adanya bukti-bukti empiris bahwa eksistensi Perppu Cipta Kerja ternyata tidak membawa kebaikan terhadap ketenagakerjaan di tanah air. Apa yang digembar-gemborkan oleh penguasa terkait dengan janji-janji UU Cpta Kerja semakin menjauh dari kebenaran.

Dampak UU atau Perppu Cipta Kerja justru semakin membuktikan fenomena pertumbuhan ekonomi yang tidak bermutu, akibatnya elastisitas pasar tenaga kerja semakin merosot. Yang dirugikan tidak hanya kaum pekerja tetapi para pengusaha juga merasa dirugikan.

Pasar tenaga kerja semakin lesu, hal itu ditekankan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani seperti dilansir oleh REPUBLIKA (13/2/2023). Ketum Apindo menilai pertumbuhan ekonomi nasional hingga saat ini masih belum berkualitas. Pasalnya, pertumbuhan yang dicapai belum mampu memberikan lapangan kerja yang besar untuk masyarakat."Saya selalu bilang bolak-balik, apakah pertumbuhan ekonomi kita berkualitas? Menurut saya tidak," kata Hariyadi dalam Dialog dan Launching Apindo Business and Industry Learning Center (Abilec) di Jakarta.

Hariyadi menjelaskan, meski pertumbuhan ekonomi yang sudah membaik dengan aliran investasi yang terus meningkat, nyatanya belum bisa memberikan lapangan pekerjaan secara luas. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat laju pertumbuhan ekonomi nasional sepanjang 2022 mencapai 5,31 persen atau telah kembali ke level prapandemi. Perekonomian Indonesia sempat mengalami kontraksi pada 2020 lalu hingga minus 2,07 persen dan mulai mengalami perbaikan pada 2021 dengan kembali positif ke angka 3,7 persen.

Sementara itu, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, realisasi investasi selama 2022 tembus Rp 1.207,2 atau naik 34 persen dari tahun 2021 sekaligus yang terbesar sepanjang sejarah. Tetapi (dari investasi itu) penyerapan lapangan pekerjaan hanya 1,3 juta orang, berarti setiap Rp 1 triliun cuma hasilkan 1.081 pekerjaan dibandingkan tahun 2013 waktu investasi masih Rp 398 triliun bisa ciptakan 1,8 juta pekerja atau setiap Rp 1 triliun hampir 4.600 pekerja/

Hal diatas mencerminkan kondisi capital intensive industri atau kondisi di mana produksi memerlukan biaya modal yang lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan biaya untuk tenaga kerja. Oleh karena itu, arah kebijakan sektor industri ke depan harus terus dibenahi. Arah kebijakan ke depan harus berdasarkan sains, bukan sekadar politik pokrol bambu yang melahirkan UU yang tidak memihak rakyat luas tetapi memihak kepentingan asing, Ironisnya kebijakan itu justru membawa dampak buruk bagi iklim usaha.

Menurut kajian Litbang FSP LEM SPSI, tren elastisitas ketenagakerjaan yang makin jeblok, selain karena efek UU Cipta Kerja beserta gejolaknya, hal itu juga disebabkan kurangnya perlindungan terhadap pasar domestik dari serbuan produk impor. Keniscayaan, Indonesia perlu mencetak pekerja profesional menengah yang bisa menggenjot nilai tambah bangsa dan memperluas lapangan kerja.Para profesional itu sejatinya adalah pahlawan yang mampu mengoptimalkan sumber daya kreatif yang berbasis lokalitas.

Elastisitas ketenagakerjaan atau employement elasticity cenderung terus berkurang selama lima tahun terakhir. Sehingga pemerintah terpaksa menurunkan proyeksi elastisitas penyerapan tenaga kerja setiap satu persen pertumbuhan ekonomi.Pemangkasan elastisitas ketenagakerjaan berimplikasi menciutnya kesempatan kerja atau jobless growth.

Jumlah investasi yang masuk dan sejumlah proyek infrastruktur nasional pada periode pertama dan setengah jalan periode kedua pemerintahan Jokowi ternyata tidak banyak menyerap lapangan kerja formal secara langsung. Bahkan, investasi yang tercatat lebih besar ke sektor padat modal.Kondisi lima tahun terakhir masih memprihatinkan. Elastisitas serapan tenaga kerja per satu persen pertumbuhan ekonomi Indonesia, menurut Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi hanya menyerap 250 ribu tenaga kerja. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan elastisitas serapan tenaga kerja pada 10 tahun lalu yang yang mencapai 500 ribu tenaga kerja.

Salah satu kegiatan pengurus FSP LEM SPSI ( dok organisasi )

Penurunan elastisitas ketenagakerjaan semakin rendah karena disebabkan tingginya impor bahan baku dan barang modal membuat pertumbuhan industri domestik semakin terpuruk. Alangkah menyedihkan melihat kondisi produksi industri pengolahan besar dan senang akhir-akhir ini mengalami stagnasi bahkan ada yang terjadi pertumbuhan negatif. Padahal Sektor industri pengolahan atau manufacturing industry merupakan salah satu diantara sektor ekonomi yang menjadi andalan dalam perekonomian Indonesia dan mudah menyerap lapangan kerja.

Pasar tenaga kerja di Indonesia untuk jenjang pekerja profesional menengah hingga tinggi juga tidak membaik. Berdasarkan laporan Salary Survey yang dilansir Robert Walters Indonesia, kestabilan politik Indonesia mestinya bisa mendorong masuknya berbagai investasi asing yang akhirnya melahirkan banyak perusahaan baru yang menyerap tenaga kerja dengan job yang layak, termasuk perusahaan rintisan (startup) di berbasis teknologi digital. Nyatanya hal tersebut tidak terjadi hingga kini. Pengangguran berlatar pendidikan tinggi semakin banyak, SDM berpendidikn tinggi justru banyak merebut lapangan kerja kelas bawah.

Untuk mengatasi elastisitas ketenagakerjaan yang rendah, FSP LEM SPSI merekomendasikan perbaikan pola rekrutmen terhadap profesional yang menguasai teknologi, manajer dengan keterampilan hybrid dan glocal professional atau profesional dengan pola pikir global yang mampu beradaptasi dengan budaya atau nilai-nilai lokal akan terus naik.

Perlu mencetak pekerja profesional menengah yang bisa menggenjot nilai tambah bangsa dan memperluas lapangan kerja. Para profesional itu sejatinya adalah pahlawan yang mampu mengoptimalkan sumber daya kreatif yang berbasis lokalitas. Sehingga di negeri ini terwujud ekosistem “locality is the king”. Lokalitas yang dimaksud sesuai dengan teori Thomas L Friedman yang bertajuk globalisasi lokal atau glokalitas. Fenomena glokalitas akan mempromosikan produk, konten dan budaya lokal bisa lebih bernilai tambah.

Litbang FSP LEM SPSI juga mencatat, persoalan laten yang terus bercokol dalam sektor ketenagakerjaan nasional adalah berhubungan dengan terjadinya turbulensi career resilience yang semakin kedodoran dalam mengikuti perkembangan zaman. Secara sederhana career resilience bisa diartikan sebagai pengembangan karir pekerja beserta portofolio kompetensinya.

Pengembangan karir dan kompetensi dilingkungan pekerja industri saat ini dirasakan semakin mandek. Akibatnya perubahan kondisi eksternal tidak mampu diikuti oleh organisasi perusahaan. Definisi karir menurut Gibson merupakan rangkaian dan kumpulan dari pengalaman yang berhubungan dengan kerja serta aktivitas yang dipengaruhi oleh sikap-sikap serta perilaku individu dalam organisasi.

Dari definisi itu dapat direflesikan bahwa kondisi pekerja industri nasional belum memiliki career path atau alur karir yang ideal. Hal itu diperparah dengan gagalnya otoritas industri dalam menyusun portofolio kompetensi bagi SDM-nya secara ideal. Dalam arti penggolongan karyawan saat ini masih menggunakan cara-cara kuno yang sudah ketinggalan zaman. Akibatnya prestasi karyawan sulit diukur. Kondisinya diperparah ketika pasal-pasal Perppu Cipta Kerja dipaksakan untuk berlaku.

Program pengembangan karir seharusnya sudah direncanakan pada saat proses rekrutmen karyawan dimulai. Program tersebut tidak cukup hanya dengan pra-jabatan dan penataran-penataran yang bersifat doktriner. Setidaknya program pengembangan karir SDM diawali dengan melakukan assesment phase, yakni untuk mengidentifikasikan kekuatan dan kelemahan seorang karyawan melalui sebuah workshops. Kemudian disusul dengan direction phase, yakni penentuan jenis karir dengan berbagai tool antara lain job posting, skill inventory, dan career path. Dan untuk selanjutnya masuk kedalam development phase sesuai dengan job kompetensi masing-masing. (AM)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image