Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hasan Munadi

Satu Abad, Nahdliyyin Menalar Ekoteologis

Agama | Saturday, 11 Feb 2023, 17:08 WIB

Satu Abad, Nahdliyyin Menalar Ekoteologis

“Merawat Jagat, Membangun Peradaban” adalah frasa yang diusung sebagai tema untuk menyongsong 100 tahun Nahdlatul Ulama. Menariknya, pemaknaan dari frasa tersebut memuat fungsi rahmatan dan risalah jika dilihat dari nalar dakwah. Tidak luput juga, jika dilihat dari nalar berkemanusiaan frasa tersebut memuat tanggung jawab manusia terhadap alam dan lingkungan sekaligus terhadap spiritualitas dan keilmuan.

Di sinilah NU dengan tema 100 tahunnya menjawab problematika manusia yang telah menjadi krisis seabad lamanya yaitu krisis ekoteologis. Sebagai sebuah istilah, ekoteologis merupakan inter-relasi antara kata ekologi dan teologi.

Ekologi berasal dari kata oikos dan logos yang diambil dari bahasa Yunani. Oikos memiliki arti tempat tinggal atau tempat hidup dan logos berarti ilmu. Daripada itu, ekologi merupakan sebuah ilmu yang mempelajari tentang hubungan makhluk hidup dengan lingkungannya serta pola timbal balik antar semua makhluk hidup di alam semesta. Sementara itu, teologi diambil dari kata theos yang berarti Tuhan dan logos yang artinya sebuah ilmu. Jadi teologi adalah ilmu Ketuhanan.

Tetapi dalam khazanah Islam yang menyebutkan teologi ialah sama dengan ilmu kalam klasik yang di dalamnya meliputi ilmu tentang simpul kepercayaan, ilmu tentang kemaha-Esan Allah, dan ilmu pokok-pokok agama Islam tidak disinggung secara terbuka dan konsisten mengenai persoalan manusia dan alam. Maka berangkat dari keterbatasan penulis, sebagaimana salah satu makna teologi yang dinyatakan oleh Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat adalah ilmu bahasan-bahasan sistematis tentang agama, atau ilmu tentang hubungan dunia ilahi dengan umat manusia dan alam semesta.

Maka atas uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ekoteologis adalah sebuah rumusan teologi yang membahas kerangka hubungan antara agama dengan lingkungan, atau antara agama dengan alam.

Sumbangsih NU

Khidmat organisasi masyarakat terbesar di dunia Nahdlatul Ulama di tahun ini telah mencapai satu abad berdasarkan penanggalan hijriyah. Sumbangsih NU dengan pendekatannya yang mengedepankan wawasan keterbukaan, nilai-nilai kemanusiaan universal, dan sangat konsisten di dalam memelihara kedamaian abadi tidak lain merupakan wujud membentuk tatanan kehidupan yang berkualitas. Pola kejuangan inilah yang kiranya menjadikan NU bukan hanya memadai ritual-ritual keagamaan atau sesi-sesi kultural maupun basis perhelatan lainnya, namun dengan segala khazanah yang dimilikinya NU juga selalu mengarahkan umat menuju kemaslahatan bahkan dari hal yang paling fundamental/mendasar.

Memasuki abad kedua kebangkitan, kita sebagai nahdliyyin turut memiliki peran serta tanggung jawab terhadap problematika universal yang sedang dan akan terjadi. Tanggung jawab kita terhadap alam dan lingkungan serta terhadap spiritualitas dan keilmuan merupakan hal yang paling substansial untuk dijadikan solusi dari sebab-sebab dan akibat-akibat krisis ekoteologis yang terjadi. Seperti: kerusakan hutan, krisis sumber air, rusaknya laut dan pesisir, kepunahan ekosistem, pemanasan iklim, serta polusi udara dan air. Menurut Seyyed Hossein Nasr, krisis lingkungan yang telah seabad lebih melanda dunia merupakan manifestasi dari krisis rohani atau spiritualitas manusia dan tidak dapat terselesaikan tanpa adanya kebangkitan kembali spiritualitas tersebut.

Sementara itu, Muktamar NU ke-32 tahun 2010 di Makassar telah mengeluarkan kesepakatan dengan dibentuknya LPBI NU (Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama) sebagai lembaga NU yang bergerak di bidang penanggulangan bencana, perubahan iklim, dan pelestarian lingkungan. Bukan hanya bertujuan mewujudkan masyarakat yang adaptif terhadap bencana, daya dukung lingkungan, dan perubahan iklim tetapi LPBI NU juga mengemban misi di dalam pengurangan risiko, pelestarian, emergency response, dan recontruction professional.

Dengan bekal “Merawat Jagat, Membangun Peradaban”, dan kematangan seorang nahdliyyin memasuki abad kedua kebangkitan maka krisis lingkungan (ekologi) maupun krisis spiritualitas (teologi) pada akhirnya menemukan titik terangnya atas problematika manusia dengan alam selama ini. Wallahu al-Muwaffiq.

Nahdliyyin Menalar

Semua orang hari ini berbicara tentang perdamaian dan kebahagiaan dengan disangkutpautkan pada idealitas nilai-nilai kemanusiaan terhadap keberadaan alam semesta dan lingkungan. Namun secara langsung semua orang juga sedang mengakui tengah menderita, atau merasa tidak ada yang ideal/layak karena suatu penderitaan. Maka atas hal ini mereka berkeinginan untuk menghilangkan masalah-masalah yang terjadi akibat rusaknya keseimbangan antara manusia dan alam melalui dominasi atau penguasaan lebih jauh terhadap alam. Padahal, justru perilaku seperti itulah yang menjadikan masalah-masalah antara manusia dengan alam semakin menjadi-jadi hingga pada titik manusia dipaksa berdamai dengan ‘penderitaan’ akibat ulah mereka sendiri yang berpangkal pada eksistensi duniawi semata.

Dengan ini, problematika yang terjadi atas ketidakseimbangan hubungan antara manusia dengan alam merupakan akibat dari cara pandang manusia yang meletakkan nilai-nilai kemanusiaan tanpa melihat kelangsungan hidup manusia yang terpadu/koheren dengan kelangsungan hidup lingkungan.

Eksplorasi terhadap alam harus diintegrasikan dengan bentuk pengetahuan yang lebih tinggi (dalam hal ini; agama) supaya peran dan fungsi ‘penguasaan’ tadi tidak membahayakan serta berpotensi merusak kelangsungan lingkungan dan manusia. Atau lebih jauh lagi, dengan menjaga kelestarian lingkungan hidup maka cara pandang serta perangai eksplorasi manusia akan menjadi lebih harmonis dengan realitas kehidupan yang terjadi.

Inilah jawaban dari krisis lingkungan yang selama satu abad ini mengalami ketidakseimbangan dengan terancamnya kebahagiaan serta perdamaian di alam raya. Manusia dengan upaya memahami akibat-akibat dari krisis ini, dan mencoba menggali sebab-sebab yang lebih dalam atas krisis tersebut hingga pada hal yang paling esensial seharusnya menjadi sebuah disiplin ilmu yang wajib diajarkan, bukan hanya sekedar sebuah perhatian. Wujud kesadaran atas krisis global ini ialah pelestarian kembali nilai-nilai kemanusiaan yang mana mustahil diterapkan tanpa adanya perdamaian dengan tatanan alam dan spiritual serta penghormatan terhadap realitas ketaatan supra-manusiawi.

Untungnya Nahdliyyin memiliki pengajaran teologi beserta komponennya yang mendalami ketaatan supra-manusiawi, salah satunya tentang hakikat alam semesta dan jenis keberadaan manusia, yang menganut mazhab Imam Abu Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al Maturidi.

Hubungan antara kemanusiaan (antroposentris) dengan Ketuhanan (teosentris) memang menuntut keseimbangannya, dan Allah berulang kali memberikan gambaran tentang persoalan itu di dalam Al-Qur’an melalui kealaman (ekosentris) sebagai ayat-ayat-Nya.

Di dalam kitab Al-Ibanah ‘An Ushul Al-Diyanah Abu Hasan Al Asy’ari mengutip ayat: “dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” (QS. Al An’aam; 59). Atas ayat ini Al Asy’ari menjelaskan bahwa Allah mengetahui apa yang diperbuat manusia (pula terhadap alam yang telah menjadi ketentuan Allah) dan Allah akan mengembalikannya kepada manusia pula. Artinya, manusia memiliki tanggung jawab terhadap alam sebagai wujud keseimbangan hubungan antara seorang hamba dengan Sang Pencipta.

Manusia, alam semesta, serta segala perbuatannya adalah hudust (ketiadaan kemudian ada). Tetapi, di dalam Ushulu Ahlu Al-Sunah Wa Al-Jama'ah penyebutan Imam Abu Hasan Al Asy’ari tentang akibat-akibat yang terjadi karena keberadaan manusia adalah sebagai al-kasb atau keaktifan. Karena itu, perbuatan manusia itu timbul dari upaya manusia sendiri (al-kasb) dan manusia juga bertanggung jawab atasnya. Menurut mazhab Asy’ariyah, segala sesuatu memang dijadikan oleh Allah, tetapi Allah juga menciptakan ikhtiar melalui al-kasb bagi manusia. Di dalam kitab-kitab Asy’ariyah juga telah disebutkan sebuah perbedaan, bahwa energi atau kesempatan dijadikan oleh Allah atas keberadaan manusia, ini disebut al-af’al al-insan. Tetapi manusia juga diberikan sebuah daya yang bisa diupayakan lebih jauh, dan itu disebut al-a’mal al-insan.

Ekosentris atau kealaman secara konsisten disinggung oleh Ulama Asy’ariyah sebagai materi dan juga ruh yang pula berperan di bawah Ketuhanan (teosentris). Maka, keberadaan alam dan keberadaan manusia adalah sama-sama menjadi ketentuan Allah. Dengan ini keseimbangan hubungan antara manusia dengan Allah juga menuntut keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam.

Sementara itu, Imam Abu Mansur Al Maturidi yang terkenal dengan pemikirannya yang sangat rasional terhadap agama menyatakan di dalam Al-Tauhid Li Al-Maturidi bahwa, jika alam ini keberadaannya hanya untuk musnah (fana’) tanpa meninggalkan sebuah pengajaran serta orang-orang berakal hanya pergi tanpa mengaktualisasikan sebuah kebijaksanaan darinya maka itu merupakan sebuah kehinaan. Menurut Al Maturidi, kealaman (ekosentris) serta kemanusiaan (antroposentris) tidaklah eksis tanpa adanya sebuah hikmah atau pengajaran dan persoalan yang transendental.

Maka menurut Al Maturidi, orang-orang yang mencampuradukkan antara yang sebenarnya (wujud) dengan yang terjadi (kaun) adalah mereka yang kebingungan di dalam mempersoalkan kehadiran alam dan kehadiran manusia. Demikian karena mereka hanya memandang pada suatu kondisi, bukan pada makna kelangsungan hidup.

Atas uraian di atas, Imam Abu Bakar Al Baqillani menambahkan pernyataan di dalam pandangan Ulama Asy’ariyah bahwa tidak semua al-af’al al-insan dapat menjadi suatu ikhtiar dan al-a’mal al-insan bukanlah sebuah keterpaksaan. Al Baqillani menjelaskan, di dalam pandangan Al Maturidi yang menyebutkan adanya perintah (al-amr), larangan (al-nahy), janji (al-wa’d), dan ancaman (al-wa’id) setiap manusia akan memperoleh balasan baik melalui mahdl al-fadl (lingkup anugerah) dan balasan buruk melalui mahdl al-‘adl (lingkup keadilan).

Oleh karena itu, maka kelangsungan hidup manusia sebenarnya terpadu dengan kelangsungan alam lingkungan (fana’ maupun baqa’- nya) yang jika manusia berbuat tindakan tercela atas alam lingkungan maka ia memperoleh balasan buruk melalui mahdl al-‘adl dan jika berbuat tindakan terpuji atas alam lingkungan maka ia memperoleh balasan baik melalui mahdl al-fadl. La Hawla Wa La Quwwata Illa Billah.

Sebuah titik kebangkitan

Jika membicarakan tentang ekoteologi, maka kita tak bisa luput dari pemikiran-pemikiran sosok pembaharu Islam yang dikenal dengan nama Badiuzzaman Said Nursi. Said Nursi secara gamblang membicarakan ekoteologi dengan pernyataan yang sederhana namun sangat dalam. Bahkan Said Nursi mengkritik secara khusus cara pandang materialistik manusia terhadap alam, yang menghilangkan nilai sakralnya. Sikap manusia yang meniadakan nilai teologis dari alam dan lingkungan inilah yang menyebabkan manusia hanya memandang alam sebagai komoditas pemenuhan materi. Kekeliruan manusia dalam memahami alam adalah esensi dari kerusakan lingkungan yang terjadi.

Kesadaran ontologis antara Allah dengan makhluk-Nya merupakan ajaran Said Nursi yang menghadirkan cara pandang teologi terhadap alam, atau kesadaran spiritual dalam memahami alam. Said Nursi memahami alam semesta sebagai manifestasi-manifestasi Tuhan (tajalliyatullah). Tepatnya manifestasi dari nama, tindakan, dan sifat-sifat Allah. Maka konsepsi manusia terhadap keberadaan alam yang sering disalahartikan itulah yang menyebabkan manusia semakin jauh dari kesadaran spiritual.

Sementara itu, Imam Al Junaid al-Baghdadi di dalam membicarakan ketaatan supra-manusiawi lebih menekankan pentingnya kesesuaian atau keselarasan antara doktrin dan praktik dengan kaidah-kaidah syariat. Oleh karena itu, Al Junaid menegaskan bahwa keadaan teologis secara universal berada di dalam ketaatan yang utuh seorang hamba kepada Allah dengan melaksanakan ibadah dan kehidupan sosial sehari-hari.

Ekosentris dalam pandangan Al Junaid merupakan sarana kesaksian seorang hamba yang syahid akan panggilan Allah melalui keberadaan semua makhluk di alam semesta. Dan ketika hamba berangkat menuju kesempurnaan, dengan keserasian tindak lahiriyah dan tindak bathiniyah ia akan mengalami penyaksian Allah al-Haqq yang berada di sisi-Nya.

Sedangkan, Imam Al Ghazali dengan metode tazkiyatun nafs (penyucian diri) memiliki muatan solusi terhadap krisis lingkungan dan krisis sebagainya bahkan dari hal yang paling mendasar. Dengan metode tazkiyatun nafs, keberlangsungan hidup manusia yang terpadu dengan alam dan lingkungan bukanlah suatu hal yang layak dibingungkan. Karena seorang manusia yang ingin makrifat atau minimalnya mengindahkan syariat Allah akan menjaga dirinya dari segala hal yang menghalangi keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, salah satunya dengan menjaga kelestarian lingkungan terhadap kelangsungan hidup. Allahu A’lam Bi Al-Shawwab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image