Jangan Pernah Lelah Berjuang untuk Menjadi Pribadi Saleh
Agama | 2023-01-20 08:34:54Semua orang berharap menjadi orang saleh, memiliki pasangan yang saleh, memiliki keturunan yang saleh, dan puncaknya berkumpul dengan orang-orang saleh. Bagi seorang muslim, harapan seperti ini merupakan suatu keharusan, betapa tidak, menurut Ibnu Abbas r.a., orang-orang saleh adalah penghuni surga. Dengan demikian, ketika kita berharap menjadi orang saleh, kita sedang berharap menjadi ahli surga.
Bukan kita saja sebagai manusia biasa yang berharap menjadi orang saleh dan berkumpul bersama orang-orang saleh. Para Nabi yang sudah jelas kemaksumannya, masih saja terus berdo’a dan berharap agar dijadikan orang saleh dan berkumpul bersama orang-orang saleh.
Nabi Ibrahim berdo’a, “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku ilmu, dan masukanlah aku ke dalam golongan orang-orang saleh” (Q. S. Asy-Syu’ara : 83).
Demikian pula, Nabi Muhammad saw berdoa, “Ya Allah hidupkanlah kami dalam keadaan muslim, wafatkanlah kami dalam keadaan muslim, dan kumpulkanlah kami bersama orang - orang saleh” (Syeikh Wahbah Zuhaily, Tafsir Munir fi al ‘Akidah wa Syari’ah, Juz 10 : 188).
Kesalehan seseorang merupakan pancaran dari akidah yang kuat. Jika do’a Nabi Ibrahim tersebut kita runut ke ayat sebelumnya, kita akan menemukan rentetan ayat akidah atau keimanan Nabi Ibrahim a.s.
Ia mengakui Allah sebagi pencipta kehidupan dan kematian, yang memberi rizki (makan dan minum), yang menyembuhkan ketika sakit, dan yang mengampuni segala kesalahan (Q. S. Asy Syu’ara : 77 – 82). Ini sebagai bukti, mana mungkin seseorang akan menjadi pribadi yang saleh, berkumpul bersama orang-orang saleh, dan menjadi ahli sorga sebagaimana yang disebutkan Ibnu Abbas r.a, manakala ia tak memiliki akidah yang kuat.
Akidah yang kuat akan melahirkan akhlak mulia. Tutur kata yang sopan, kebersihan hati, dan ketaatan ibadah akan senantiasa menghiasi orang-orang yang berakidah kuat. Dengan demikian inti dari kesalehan adalah akidah yang kuat dan akhlak yang mulia disertai dengan ketaatan ibadah kepada Allah swt.
Bukan hal yang mudah untuk meraih pribadi yang saleh. Banyak faktor yang mempengaruhi kesalehan yang melekat pada pribadi seseorang. Berbagai tantangan sering menghadangnya, baik tantangan dari dalam pribadi, maupun tantang dari lingkungan tempatnya bergaul.
Meminjam pendapat Lewin, seorang ahli psikologi kognitif, perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh kepribadian dan lingkungan tempat tinggalnya (Jalaluddin Rahmat, Psikologi Komunikasi, 1993 : 27).
Kesalehan merupakan bagian dari perilaku. Karenanya, kesalehan seseorang sangat dipengaruhi oleh kepribadian orang tersebut dan lingkungan tempat tinggalnya.
Kepribadian seseorang meliputi ilmu, akidah, dan tekad untuk selalu berbuat kebaikan. Hal yang sulit dalam membentuk kepribadian adalah tekad untuk selalu berbuat baik. Banyak orang yang sudah menyatakan beriman, berilmu tinggi, bahkan jago berpidato dengan retorika yang bagus, namun ia sangat lemah dalam mengimplementasikan ilmu dan keimanan yang ada di hatinya.
Banyak orang yang mampu mengajak orang lain berbuat baik, tapi ia sendiri tak mampu melaksanakannya. Perbuatannya hanya indah di kata-kata, tak terwujud dalam kehidupan nyata.
Inilah yang Allah peringatkan kepada hamba-hamba-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Hal ini) sangat dibenci Allah, jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” (Q. S. Ash Shaff : 1-2).
Selain faktor kepribadian, hal yang paling sulit dalam mewujudkan kepribadian saleh adalah mewujudkan lingkungan hidup yang baik. Lingkungan hidup disini, yang lebih utama adalah pergaulan dalam hidup bermasyarakat. Lingkungan tetangga yang baik, warga masyarakat yang taat beribadah, bertutur kata sopan, akan mempengaruhi terhadap kepribadian seseorang.
Meskipun nampak sepele, penggunaan bahasa yang baik merupakan awal dari pembentukan kepribadian yang saleh. Tutur kata yang baik dan sopan akan mempengaruhi terhadap perilaku orang tersebut. Argumen sederhananya, kita sudah lama memiliki jargon “Bahasa menunjukkan jati diri bangsa”.
Tutur kata yang baik, kata-kata yang fasihah selalu diminta para Nabi dalam doa-doanya. Nabi Musa a.s memohon kepada Allah agar dilancarkan dalam berbicara ketika menyampaikan perintah-Nya. Nabi Ibrahim a.s memohon kepada Allah agar mampu bertutur kata yang baik. Demikian pula Nabi Muhammad saw senantiasa mengajarkan tutur kata yang baik, bahkan ia memerintahkan para sahabat untuk mempelajari bahasa. Zaid bin Tsabit merupakan salah seorang sahabat yang pernah mendapatkan perintah untuk mempelajari bahasa Asing (Bahasa Ibrani).
Dakwah Islam yang diperintahkan al Qur’an dan hadits pada intinya bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang baik. Menciptakan umat yang taat kepada Allah dan rasul-Nya yang buahnya adalah terwujudnya pribadi yang baik. Pribadi-pribadi yang baik, pada akhirnya akan bermuara kepada terciptanya lingkungan yang baik.
Selayaknya kita berjuang keras untuk mewujudkan pribadi, keluarga dan keturunan yang saleh. Untuk mewujudkannya, kita harus membekali diri dengan ilmu dan akidah yang kuat yang diwujudkan dalam akhlak mulia. Namun demikian, kesalehan pribadi, keluarga, dan keturunan akan sulit terwujud manakala lingkungan pergaulan kita tak mendukung akan terwujudnya kesalehan.
Karenanya, ketika kita berjuang untuk mewujudkan pribadi, keluarga dan keturunan yang saleh, sekaligus pula kita harus mengajak orang-orang di lingkungan sekitar kita, anggota keluarga dan tetangga untuk sama-sama berjuang mewujudkan ketaatan dalam beribadah, berakhlak mulia, serta perilaku lainnya yang mendorong kepada terciptanya kesalehan.
Rangkaian dari semua itu akan terwujud manakala kita mampu mengetahui perkara yang benar dan mampu melaksanakannya dan mampu mengetahui perkara yang jelek atau salah seraya kita mampu menjauhinya.
Semoga kita termasuk orang-orang yang tengah berjuang meraih pribadi saleh dan kelak dikumpulkan bersama orang-orang saleh di sorga-Nya. Amin.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.