Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nor Rahma Sukowati

Korupsi Kian Menggurita VS OTT Merusak Citra Bangsa : Mana yang Harus Diutamakan?

Politik | Tuesday, 03 Jan 2023, 03:10 WIB

Setiap tahunnya, bangsa ini senantiasa dirundung pilu yang amat lara. Istilah tersangka, terdakwa bahkan terpidana kian menambah porsentase grafik perkorupsian yang ada. As if, negara tidak akan pernah merasakan kenyamanan dan bebas masalah dikarenakan menjamurnya korupsi hampir di seluruh pelosok negeri. Ibarat orang sakit, negara kita tengah meradang kanker akut yakni, korupsi itu sendiri. Walhasil, penyakit akut inilah yang senantiasa menjadi sorotan publik untuk senantiasa berpartisipasi aktif mengkritisi panggung tata kelola pemerintahan Indonesia hari ini.

Tak tanggung – tanggung, korupsi di tahun 2022 hampir bisa dirasakan di semua lini baik lingkup komunitas di masyarakat sampai tatanan para pengisi jabatan di negari. Melansir dari pemberitaan media, baru – baru ini dilakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK pada kasus dugaan suap penanganan perkara di Mahkamah Agung. Ironisnya, salah satu yang terlibat yakni Bapak Sudrajad Dimyati, seorang Hakim Agung. Tentu saja, hal ini menjadi tambahan daftar kasus yang mengindikasikan kondisi lembaga peradilan sedang tidak baik – baik saja. Peran seorang hakim yang notabene menjadi penegak hukum, malah menjadi teladan bagi para pelaku pelanggar hukum. Bahkan kasus terbaru dalam daftar OTT KPK, tertangkapnya seorang Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, Bapak Sahat Tua P. Simandjuntak menjadi akhir pembukuan OTT selama tahun 2022 ini yang mana terlibat dalam dana suap pengurusan alokasi dana hibah senilai 1 Milyar dalam bentuk mata uang asing.

Tentu, sebagai negeri dengan anggapan ramah, pasti akan merasakan kegundahan. Pasalnya, kinerja yang dilakukan KPK bisa dinilai sangatlah efektif sebab hampir setiap bulannya dapat melakukan OTT sehingga para pelaku bisa segera diadili. Namun, disisi lain, aktivitas sidak tersebut ternyata menuai kontra sebab dinilai dapat merusak citra bangsa sebagaimana yang dimaksud oleh Bapak Menkopolhukam, Luhut Binsar Pandjaitan. Beliau menekankan bahwa proses digitalisasi dalam pemerintahan. Bisa saja bukan, anggapan ramah ditafsirkan negatif misalnya seperti negeri yang sangat ramah dengan uang rakyat, saking ramahnya, uang negeri pun diembat. Bahkan negeri mendapat predikat buruk dari investor asing.

Melansir dari pernyataan para pengamat politik di negeri, pernyataan bapak Menkopolhukam tentunya akan mengundang tafsiran bahwa jobdesk KPK bisa direduksi dengan memanfaatkan digitalisasi dengan memanfaatkan adanya ecatalog, Online Single Submission (OSS), Sistem Informasi Mineral dan Batu Bara Antar Kementerian dan Lembaga (SIMBARA) serta program lainnya yang akan digarap secara berkelanjutan seperti SPBE (Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik). Pun, juga adanya penafsiran bahwa pernyataan tersebut akan dianggap sebagai pembelaan terhadap upaya untuk membuat jera para pelaku tindak pidana korupsi. Sebab, logikanya, jika proses digitalisasi sudah dilakukan, namun aktivitas jahat tersebut tetap beroperasi, lantas, apakah lembaga berwenang semacam KPK akan berdiam diri? Tentu tidak. Sebab proses mencegah dan menindak adalah aktivitas yang saling terkait dan berkesinambungan. Akan sangat berbahaya bila pernyataan tersebut dijadikan pertimbangan untuk mereduksi OTT sebagai bagian dari aktivitas khas KPK. Sebab upaya pencegahan korupsi di negeri bisa dibilang belum stabil dan masih berpeluang menjadi sarang baru para pelaku. Seharusnya, pernyataan tersebut difokuskan pada bagaimana sistem dan instansi pemerintahan maupun kehidupan di masyarakat menghilangkan kultur korupsi, bukan malah mempromosikan penggunaan teknologi digital.

Idealnya, mengandalkan pemberantasan korupsi kepada pihak KPK saja juga tidak cukup. Sebab masih ada banyak ruang – ruang yang belum menjadi wewenangnya. Misalnya, memiliki wewenang untuk terlibat serta mendorong kinerja para menteri di masing – masing instansi, bukan hanya sekedar melaksanakan supervisi dan melakukan koordinasi atas pencegahan korupsi. Tentu, dukungan dari masyarakat dan para aparatur negara berhati nurani baik juga diperlukan bahkan sistem yang mendukung kejujuran dalam menegakkan keadilan. Bukan berarti menjadikan para agen perubahan merasa putus asa, namun malah bersemangat mengoptimalkan diri sebagai penggerak peradaban untuk turut mengupayakan pemberantasan korupsi yang kerap terjadi tersebut.

Jika ditelisik lebih lanjut, tentu ada beberapa faktor yang menjadikan episode drama korupsi di negara kita tak pernah usai bahkan lebih dramatis di penghujungnya. Misal, dari bagaimana faktor internal yakni pola pikir individu hari ini. Kehidupan yang menawarkan harta berlimpah dengan cara cepat, tentu akan lebih meringankan beban kerja ketimbang harus berbuat jujur dan bekerja keras. Benar bukan? Maka wajar, keinginan untuk cepat kaya dan menghegemoni kekuasaan adalah pilihannya. Kondisi ini tentu tak lepas dari pemikiran kapitalis-materialistis untuk merasakan keuntungan materi sebanyak mungkin dan bahkan menjadi orientasi kehidupan. Sampai akhirnya pun juga membuat nilai dan norma agama harus dikesampingkan. Padahal, setiap agama yang diyakini masing – masing, tentu tidak membiarkan untuk “mengembat” harta yang bukan miliknya. Walhasil, keimanan sekarang hanyalah menjadi status belaka dalam pribadi individu. Jika ini hanyalah pemikiran 1-2 individu saja, maka sebenarnya pemberantasan korupsi akan sangat mudah dilakukan dengan modal diingatkan saja. Masalah selanjutnya yakni lingkungan pun memberikan jaminan akan kondisi tersebut dan menjadikan korupsi malah sebagai tradisi di negeri. Hal ini pun sudah bisa dirasakan bahwa korupsi bisa terjadi diamnapun baik skala komunitas di masyarakat, kepolisian, sistem pendidikan, atau bahkan di sistem peradilan sekalipun. Bahkan, hukuman yang kadang diberikan pada tikus berdasi tersebut terkadang hanya bagaikan pindah rumah, dipenjara tapi rasa bintang lima. Lantas bagaimana upaya pemberantasan korupsi dapat dilakukan? Atau inikah takdir dan indikasi akhir zaman?

Terlepas dari fenomena akhir zaman atau tidak, maka ranah para agen perubahan adalah tetap berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa. Sebab menjaga bangsa dari kejahatan adalah sebuah keharusan. Tentu penjagaan tersebut tidak hanya datang dari pola pikir segelintir individu maupun para jamaah seperti di ICW (Indonesian Corruption Watch). Namun, juga perlu didukung dengan model sistem yang memberikan jaminan pencegahan serta penindakan yang sehat. Jika upaya perbaikan sistem Kapitalis era hari ini terus dilakukan namun tak membuahkan hasil, maka tidak ada salahnya mengkaji ulang sejarah untuk menemukan sistem canggih dan mampu menopang peradaban ratusan bahkan ribuan lamanya.

Misalnya, mengkaji pada bagaimana peradaban era Umayyah sampai Utsmaniyaah tetap berdiri tegak kendati mengalami banyak pergantian pemimpin. Menilik pola pikir seperti apa yang tertancap kuat dalam warganya. Serta bagaimana komunitas masyarakat menjaga baik pola pikir tersebut agar terus berkembang dan menjadi salah satu sarana untuk menopang peradaban dari kejahatan kriminal yang membabi buta. Belum lagi penegakan segala sistem yang terkait mampu memberikan efek positif dan penyadaran setiap harinya. Bahwa keimanan dan merasakan diri sebagai hamba yang diciptakan lebih penting ketimbang memiliki cita – cita utama untuk kaya. Bahkan seharusnya mengimani Pencipta adalah tujuan utama dalam hidup, bukan malah terperangkap menjadi si paling kapitalis-materialistik. Maka benarlah sebuah pernyataan besar dari seorang pakar hebat yakni Syaikh Taqiyuddin Nabhani bahwa kehidupan yang sempurna bisa ditegakkan dengan bila 3 pilar saling berdiri tegak berdampingan yakni pilar dari pola pikir individu, masyarakat serta sistem tatanan negara.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image