Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Andre Putra Nugroho

Cerpen Cinta Kasihan

Sastra | Monday, 21 Nov 2022, 20:23 WIB
Sumber gambar : https://pixabay.com/id/photos/putus-hubungan-pemisahan-perceraian-5266519/

Tokoh utama kita bernama Sadewa, nama pemberian Bapaknya. Nama tersebut diambil dari salah satu tokoh di cerita Mahabarata, salah satu putra Pandawa. Bapaknya sangat bangga menamainya Sadewa, berharap ketampanan Sadewa menular ke anaknya, akan tetapi tidak.

Sadewa tumbuh dengan tubuh yang gemuk dan memiliki paha yang oversize, yang membuat dia sangat sulit mencari celana yang pas untuknya. Sadewa tidak pernah membeli baju sendiri, dia selalu mengajak Mamanya setiap membeli baju atau celana. Sewaktu SMA, Sadewa memiliki jerawat yang sangat banyak, yang membuat Bapaknya menyesali menamai Sadewa kepadanya, “Kalau tau kamu begini, ngapain Bapak ngasih nama kamu Sadewa, nyesel Bapak. Coba pas kamu lahir Bapak lagi nonton wayang, kamu Bapak namain Bagong tuh.” Seolah menyesali nama anaknya Sadewa. Yang harusnya tampan dan gagah, tapi kenyataanya tidak.

Sadewa adalah sosok pria yang ketika kamu meihat di taman sedang duduk sendirian yang seakan tidak memiliki niat hidup, kamu tidak akan peduli sama sekali dan tidak akan pernah ingat kalau kamu pernah melihatnya. Dia adalah orang yang tidak suka keramaian. Selalu mencari tempat yang sunyi. Menyatu dengan sepi.

Teman-temannya hanya tahu Sadewa suka menonton anime, sebuah animasi made in Jepang. Tidak ada yang tahu dia suka membaca novel misteri. Tidak ada yang tahu dia suka lagu rock. Sadewa adalah tipikal orang yang tiap kali dia potong rambut, selalu beda dari yang kemarin, yang membuat satupun orang tidak sadar kalau itu Sadewa.

Namun kini, Sadewa sedang kecewa dan patah hati.

2020 adalah tahun yang buruk bagi dunia, corona ditahun ini membuat semua orang di rumahkan, ternyata ada yang lebih buruk ditahun 2020 bagi Sadewa. Dia baru saja diputusin oleh pacarnya selama dua tahun belakangan ini. Nama wanita itu adalah Salwa. Tempat terjadinya pemutusan secara tidak berperipacaran itu adalah di depan rumah Sadewa, saat itu dia sedang menikmati rokok Signature dan kopi capppucino yang dia beli di Roti O, pukul 12 malam. Sadewa baru saja selesai menonton salah satu episode Naruto. Handphone-nya berbunyi.

Isinya WhatsApp sederhana dari Salwa, “Mungkin kita akhiri sampai sini.” Sadewa dengan polosnya menjawab, “Akhiri apa?” “Akhiri. Kita harus akhiri kisah cinta kita.” Salwa mutusin Sadewa dengan bahasa yang sangat singkat, seolah dikutip langsung dari kata-kata mutiara dari Instagram.

Respon Sadewa saaat itu biasa saja. Dia hanya bilang, “Ya sudah kalau itu mau kamu.” Sesungguhnya dia sudah melihat ini akan terjadi. Seperti mengendarai motor, dia sudah bisa melihat dari kejahuan kalau polisi memberhentikan dia untuk ditilang. Sadewa hanya tidak menyangka waktunya secepat itu.

Dia sudah punya feeling, karena setiap kali dia meminta ketemu dengan Salwa, Salwa tidak mau. Alasan Salwa, tidak boleh pergi jauh-jauh dari rumah sama Bapaknya, nanti aku dimarahin dan tidak dikasih uang jajan. Bahkan Sadewa memberanikan diri untuk berbicara kepada Bapaknya, kalau dia tidak akan pergi jauh-jauh dengan Salwa, namun Salwa menolaknhya. “Jangan,” kata Salwa. “Nanti kamu dimarahin, terus aku disuruh pergi ke Nenek aku yang di Malang biar tidak bisa ketemu kamu lagi.” “Lah masa segitunya Bapak kamu melarang kamu?” Tanya Sadewa. “Namanya juga orang tua, apalagi aku anak perempuan pertama,” begitu ucap Salwa.

Anehnya, Salwa bisa keluar dengan temen cowoknya, katanya temen sih pas nomong ke Sadewa. Update di story WhatsApp dengan teman cowoknya itu, bertiga dengan sahabatnya, pakai caption ‘Jalan-jalan dulu kita’, atau Best friend forever. Postingan tersebut tidak diprivasi, yang membuat Sadewa bertanya-tanya, kenapa Salwa tidak berusaha menyembunyikan hak tersebut dari dirinya. Seolah ada sinyal yang Salwa mau berikan. Seolah Salwa mau bilang, “Gw engga mau ketemu sama lu!”

Tapi ya sudahlah, mungkin hubungan dia dan Salwa harus berakhir, begitu pikir Sadewa. Walaupun dua tahun rasanya waktu yang sangat lama untuk diakhiri dengan sebuah kalimat sederhana.

Ketika diputusin, Sadewa tidak menangis. Tidak, dia hanya duduk, membakar rokok Signature kesukaannya, lalu tidak merasakan apa-apa. Aneh ya, bagaimana putus cinta bisa digambarkan dengan perasaan yang sangat sakit, tapi kali ini yang terasa justru sebaliknya: hampa.

Seperti seseorang dipukul di kepala, mungkin respon pertama adalah ‘kok engga sakit ya’, eh tiba-tiba gelap aja. Pingsan di tengah jalan. Itu gambarannya. Tepat tiga jam setelah diputusin, badai memori menabrak pikiran Sadewa. Dia menangis, hingga dia lupa menghisap rokoknya sendiri.

Sadewa menangis untuk ukuran pria 18 tahun. Sadewa masih tinggal dengan orangtuanya. Bapaknya ingin meminjam korek, tidak sengaja melihat Sadewa menangis, dan bertanya, “Nak, kamu kenapa?”

Bapak Sadewa melihat anaknya duduk diteras rumah. Asbak berantakan. Air mata membasahi pipinya. “Ga kenapa-kenapa,” kata Sadewa, sambil buru-buru menghapus pipinya yang basah kuyup.

Bapak Sadewa langsung memeluk anaknya erat, dan dalam pelukannya, sambil melihat laptop yang masih terbuka, dia berbisik kepada Sadewa,”Bapak ngerti kok nak, emang episode Naruto abis lawan Pain sedih banget.”

Sadewa, yang enggan membenarkan salah paham Bapaknya, malah menjawab, “Akhirnya Naruto dianggap pahlawan, pak.”

***

Dua bulan setelah putus cinta. Sadewa perlahan untuk beraktivitas kembali. Sadewa mulai menerima kenyataan bahwa hadiah ulang tahun yang dia pernah kasih ke Salwa dikembalikan semuanya. Mulai dari buku novel karya Fiersa Bersari yang berjudul Tapak Jejak. Boneka pinguin, Sadewa membelinya di toko online. Semua itu dikembalikan. Karena, putus cinta baru sah jika barang-barang yang pernah diberikan harus dikembalikan, atau dibakar sampai tidak ada sisahnya. Sebelum itu terjadi, kemungkinan harapan terjadi keajaiban.

Sadewa sudah mulai menerima kenyataan untuk menyimpan semua barang yang dikembalikan dia masukan kedalam kardus mie instan, dan menyimpannya di atas lemari kayu. Sadewa perlahan menerima, bahwa dia masih bisa fokus untuk menjalani hidupnya. Sadewa juga sedang sibuk untuk persiapan masuk kuliahnya, yang membuat sedikit melupakan kegalauannya tentang Salwa.

Satu hal yang membuat Sadewa susah move on, yaitu, taman Patih Sampun. Pada saat Sadewa ingin menyatakan perasaannya ke Salwa, Sadewa mengajaknya ke taman Patih Sampun, taman itu ada di daerah Pemalang. Sore hari yang sangat indah. Salwa bilang kepada Sadewa, ‘Taman ini bagus ya kalau sore hari, aku suka deh. Banyak permainan, jajanan kaki lima, pas aja gitu suasananya. Mungkin ini tempat yang aku suka.”

Sadewa membalas pada saat itu, “Taman ini juga sangat pas sama untuk jatuh cinta.”

“Ih apa sih, norak,” kata Salwa saat itu, padahal dia sangat menunggu untuk Sadewa menungkapkan perasaanya ke dia. Mereka berdua tersenyum lebar, api di dada mereka merasa hangat seperti senja saat itu.

Tiga bulan setelah putus, Sadewa masih tidak mau menyetir motor ketika sore hari. Dia tidak mau ada di tengah jalan, dan semua memori malam itu luber keluar tanpa henti. Di saat ini juga Sadewa melihat sebuah iklan sederhana dari postingan seorang teman, yaitu, Konser Fiersa Bersari di alun-alun Pemalang. Nikmati konser musik adalah sebuah obat penyembuh lara. Sadewa sudah kengen sekali tidak melihat konser musik secara langsung.

Sadewa berencana membawa motornya, Yamaha Vision tahun 2010 pemberian Bapaknya, motor bekas pakai Bapaknya yang ia banggakan. “Walaupun bekas Bapak, yang penting engga minta,” kata Sadewa dengan bangganya memberi tahu temannya. Ketika Sadewa menaiki motor itu, ingatan terhadap Salwa kembali terjadi. Sekelebat, memori antar jemput Salwa dari sekolahan ke rumahnya, terngiang di kepalanya. Air matanya, tanpa dia sadari, keluar begitu saja. Di luar, Ibu Sadewa yang sedang menyapu di teras rumah, melihat anaknya menangis. “Pak,” kata ibunya, memanggil Bapaknya. “Ya, Ma,” kata Bapaknya menghampiri. “Kayanya Sadewa harus ngurangin nonton anime, deh.” Bapaknya mengangguk setuju.

Motor Sadewa menembus jalanan yang ramai, seakan tidak ada penghalang. Dia memarkirkan motornya di tengah motor-motor lain. Sadewa memberikan tiketnya yang dia beli dari temannya, penjaganya menerima sambil bertanya, “Masnya, sendirian?” “Iya kak, lagi pengen sendiri aja.” Ucap Sadewa. Maklum, yang datang konser kebanyakan bersama pasangannya, atau bersama temannya.

Lagu yang dibawakan pada saat itu adalah Celengan Rindu, lagu yang sangat disukai oleh Salwa. Sadewa menonton di belakang, yang membuat dia tidak bisa melihat Fiersa Besari, hanya mendengar suara musik. Dia tidak melihat panggung. Pikirannya justru mengawang. Dia tidak menikmatinya. Suara yang bising hanya seperti kebisingan tanpa arti, karena pikiran sibuk berjalan sendiri. Dia berandai, kalau aja masih pacaran, Salwa mungkin ada disebelah gw.

Di tengah-tengah musik, tiba-tiba ada yang menyolek. Sadewa menoleh ke arah yang menyoleknya.

Jantung Sadewa berhenti seketika, suara yang bising meredup di telinga dia. Karena yang menyolek adalah Salwa. Salwa mengernyitkan alisnya, dia terlihat gusar. Salwa menarik lengan Sadewa, mengajaknya untuk berbicara, tapi Sadewa masih menahannya.

“Cepet ikut aku!” kata Salwa.

Sadewa masih bengong.

“Sadewa, cepet ikut aku sini!”

“Iya,” kata Sadewa, ngomongnya agak tergagap, ada diambang kaget dengan tidak siap. Melihat mantan pacar seperti ini, seperti melihat hantu. Sesuatu yang pernah hidup, tapi sekarang gentayangan.

Salwa menarik Sadewa dengan keras. Dia pakai baju kuning gambar Pikachu hari itu. Rambut pendek sepundak berwarna abu hitam. Sadewa masih bengong, tidak siap dengan semua ini. Dia masih belum mengucapkan satu patah kata pun.

“Kamu ngikutin aku?” Tanya Salwa. Suaranya cukup keras untuk didengar di antara suara musik. Mungkin karena rada jauh dari panggung.

“Ngikutin?” Balas Sadewa.

“Iya, kamu ngikutin aku ke tempat ini? Aku tadi lagi nonton di depan, terus aku melihat kmu di belakang. Sad, ini serem loh.”

“Aku engga ikutin siapa-siapa,” balas Sadewa.

“Terus kenapa kamu di sini?” Tanya Salwa.

“Ya, seperti orang-orang yang ada di sini sih, mau nonton konser Fiersa Besari. Kamu ngapain di sini?”

“Sama, seperti semua orang di sisni.”

Ada hening yang tidak enak selama beberapa saat.

“Kamu boleh nonton konser?” Tanya Sadewa.

“Siapa yang ngelarang?”

“Bapak kamu. Kemarin-kemarin kamu nolak terus gara-gara engga boleh sama Bapak kamu, ini, sekarang kamu keluar, nonton konser lagi.”

Salwa tersadar, lalu beralasan, “Kan aku sudah izin.”

“Kemarin aku juga mau izin, tapi engga boleh sama kamu.”

Salwa diam sejenak, serta memikirkan alasan lagi. “Itu kan, kamu yang mau izin, bukan aku.”

“Owh.” Sadewa tahu kalau Salwa berbohong. “Engga lucu kan, kalau tiba-tiba Bapak kamu dateng kesini sambil teriak-teriak?”

“Iya engga lucu,” jawab Salwa. Salwamenatap tajam ke arah Sadewa, dia terlihat penasaran. “Aku harus tanya langsung. Jawab jujur. Ini benar kebetulan kamu ada di sini? Di saat yang bersamaan dengan aku?”

“Ini bener kebetulan,” jawab Sadewa, mengkonfirmasi. Salwa tahu Sadewa berkata yang sejujurnya. Dua tahun berpasangan, dia tahu kelemahan Sadewa. Setiap kali Sadewa berbohong, secara tidak sadar dia menggaruk kepala bagian belakang. Salwa tidak pernah memberitahu kelemahan ini kepada Sadewa. Sungguh, berkah seorang pacaran adalah kemampuan untuk mendeteksi kebohongan pasangannya.

Salwa menghela nafas panjang. Dia lalu berisap untuk pergi, “Aku pergi du-“

Belum sempat Salwa menyelesaikan ucapannya, Sadewa bertanya, “Kenapa kamu putusin aku?”

Salwa tidak menjawab.

“Kenapa?” Tanya Sadewa, lagi.

“Ini beneran mau dibahas?” Tanya Salwa.

“Yang belum selesai, harus diselesaikan dong,” kata Sadewa.

“Buat aku sudah selesai, kurang jelas apa lagi? Novel pemberian kamu aku balikin, kamu udah aku blokir Wa-nya,” kata Salwa.

“Buat aku belum.” Sadewa melihat mata Salwa. “Jadi, kenapa?”

“Aku engga serius sayang sama kamu,” jawab Salwa, singkat.

“Hah, engga serius?”

“Iya, suatu hari aku tersadar, pas selesai telponan sama kamu, kalau aku dari awal engga serius sayang sama kamu. Aku tiba-tiba teringat aja gitu,” kata Salwa, dengan entengnya.

“Selama ini, kamu menerima aku karena kasihan, gitu?” Tanya Sadewa.

“Iya. Penjelasan paling sederhana. Aku sudah tidak mau berpura-pura jadi pacar kamu. Maaf, itu sejujur-jujurnya.”

“Dua tahun itu waktu lumayan lama loh,” kata Sadewa.

“Dan aku engga mau menghabiskan waktu dua tahun lagi dengan orang yang hanya pura-pura saja,” kata Salwa. “Aku menerima kamu karena kasihan, bukan ketulusan. Mending aku akhiri hubungan ini sekarang juga, dari pada nanti kamu tahu sendiri.”

“Sadewa terdiam. Dia melihat tajam ke arah Salwa,”Kamu keterlaluan, kamu sampai segitunya. Aku masih ingat, kamu menerima aku dengan senyuman lebar, saat kita di Patih Sampun. Aku sampai mengingat warna baju kamu pas itu, kamu pakai baju garis-garis warna hitam putih. Dan aku masih ingat kamu habis membeli pulsa di konter AA. Aku masih ingat, kamu pakai motor Beat warna biru putih. Dan aku dengan berani menyatakan perasaan aku ke kamu. Ini kamu anggap terpaksa? Kamu menerima aku karena kasihan? Kasihan dari mananya?”

“Aku kasihan, karena kamu ingin sekali memiliki seorang pacar,” kata Salwa.

Sadewa terdiam.

Sadewa dengan gusar berkata, “Aku engga butuh dikasihanin, ngapain kamu repot-repot ngasihanin aku. Itu malah membuat lara, yang ternyata hubungan ini hanya bohongan. Tega kamu. Kamu sama saja memainkan hati seseorang.”

“Ya, mau bagaimana lagi. Itu yang aku pikirkan pas itu.”

“Jadi tentang kamu engga boleh keluar itu, bohong semua?” Tanya Sadewa.

“Iya.”

“Terus kamu kesini sama siapa?”

“Sama cowo aku,” jawab Salwa.

Sadewa ingin marah, tapi dia menahannya. Karena, Sadewa tidak akan pernah berkata kasar dan main tangan kepada perempuan.

“Maaf, kalau selama ini aku berbohong sama kamu. dan aku memilih untuk melakukan ini, karena aku engga mau nyakitin kamu terlalu lama,” kata Salwa. “Yasudah. Aku pergi dulu. Dah.”

Sadewa tidak menjawab ucapan Salwa.

Salwa berjalan menjauh dari Sadewa, menghampiri laki-laki. Laki-laki tersebut melihat ke arah Sadewa, sekilas, tapi lantas dia tidak peduli. Mereka melanjutkan nonton konser.

Sadewa menunduk, dan berharap hujan turun, agar terhilang jejak tentang Salwa. Ternyata perlakuan Salwa terhadapnya, hanya pura-pura, semata-mata menyenangkan Sadewa. Sejak saat itu. Sadewa. Sangat benci dengan perlakuan dan kata kasihan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image