Selamat Hari Difabel Internasional bagi Kita Semua
Agama | 2021-12-03 17:39:50Pertama-tama selamat Hari “Penyandang Cacat” Sedunia, pada hari ini Jumat 3 Desember 2021. Mengapa saya sebut demikian, karena begitulah apa yang tertulis di Google pada hari ini, dengan jelas menyebut Hari Penyandang Cacat Internasional. Beruntung, media-media arus-utama sudah lebih akomodatif dalam menyebutnya, dengan Hari Difabel Internasional atau Hari Disabilitas Internasional.
Dalam artikel bulan kemarin, di bawah judul Disabilitas dan Cara Kita Menyadarinya, saya sudah singgung perbedaan antara penyebutan “penyandang cacat”, “disabilitas”, atau “difabel”. Berikut saya kutipkan lagi:
“Bagi orang awam yang belum tahu istilah disabilitas atau difabel, biasa menyebutnya ‘penyandang cacat’. Dikarenakan penyebutan itu kurang etis, menjelang konvensi PBB mengenai hak-hak penyandang disabilitas (UN Convention on the Rights of Person with Disability), maka istilah disabilitas (mempunyai kekurangan) mulai digunakan. Disabilitas juga, secara resmi digunakan dalam UU No, 19 Tahun 2011. Adapun istilah difabel berasal dari different able atau different ability (berkemampuan berbeda).”
Tidak ada salah benar dalam setiap pilihan penyebutan itu. Sebab, semuanya lebih berkaitan pada kesadaran dalam diri siapa pun kita atau lingkungan, apakah sudah akomodatif atau belum. Meskipun jika kita melihat referensi yang lebih tinggi, Allah Swt. sejatinya merekomendasikan manusia untuk saling mengenal dan sekaligus mengakomodasi perbedaan-perbedaan yang disandang manusia, sebagaimana dijelaskan QS. Al-Hujarāt [49]: 13.
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.
Prof. Nasaruddin Umar menjelaskan di Republika, bahwa terdapat perbedaan cukup besar antara kata ‘Alima-Ya’lamu, yang menjadi kata dasar ‘Ilmu, dengan kata “’Arafa-Yu’rafu yang menjadi kata sebagaimana dalam ayat di atas Li-Ta‘ārafū. Secara sederhana, ketua kata itu sama-sama memiliki makna “mengetahui” atau “mengenal”. Namun, ‘Alima lebih cenderung pengetahuan dalam hal fisik dan mekanik (hushuli). Sedangkan ‘Arafa memiliki makna yang lebih dalam bahkan lebih “mesra”.
Sedangkan untuk kasus Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, kita perlu belajar kepada Emha Ainun Najib dalam memahami ayat itu dalam spektrum yang sangat luas. Jangankan secara fisik, dalam konteks Mbah Nun, sapaan akrab Emha Ainun Najib, melihat keragaman sifat dan karakter manusia juga termasuk dalam spirit Syu‘ūban Wa Qabāil. Hanya saja memang kita sering berhenti hanya pada terjemahan lietral Kementerian Agama, tanpa berhasrat meluaskan dan merefleksikan makna Berbangsa-bangsa dan bersuku-suku dalam skala yang lebih bersinggungan dengan kehidupan kita sehari-hari. Termasuk di sana ada saudara kita yang oleh Google dan Wikipedia disebut Penyandang Cacat, sedang oleh beberapa yang lebih akomodatif, menyapa dengan difabel.
Tema Hari Difabel Internasional 2021
Melihat United Nation, tema peringatan Hari Difabel Internasional (HDI) tahun ini adalah “Kepemimpinan dan Partisipasi Penyandang Disabilitas Menuju Tatanan Dunia Yang Inklusif, Akesesibel dan Berkelanjutan Pasca Covid 19”.
Peringatan tahunan HDI diproklamasikan pada tahun 1992, oleh Majelis Umum PBB. Pada awalnya istilah yang digunakan adalah International Day of Disabled Person. Kemudian, pada 18 Desember 2007, nama itu berubah menjadi International Day of Person with Disabilities. Tujuan HDI adalah untuk memobilisasi dukungan bagi martabat, hak, dan kesejahteraan saudara difabel. Yang paling penting di antara itu semua adalah, adanya edukasi bagi partisipasi mereka dalam sosial, ekonomi, politik, budaya, sehingga sama-sama menjadi subjek.
Semoga dengan adanya HDI kita sebagai manusia lebih dapat melihat secara luas dan adil terhadap manusia lainnya. Adil dalam artian, bahwa semua yang ada ini adalah sama-sama makhluk yang diciptakan. Semua manusia sama derajatnya, tidak ada yang lebih baik atau buruk, apalagi hanya dari tampilan fisik, selain ketakwaan—jika kembali bercermin pada ayat di atas.
Jika yang jadi soal dan perhatian selama ini adalah kekurangan yang sifatnya fisik, maka sejatinya manusia adalah ciptaan yang paling baik (QS. At-Tīn [95]: 4). Namun manusia sering tidak bersyukur dan zalim pada diri sendiri dan bahkan pada orang lain, sehingga merasa selalu kurang cantik, tampan, tinggi, putih, dst. Yang lebih parah dan menyakitkan dari selain merasa kurang adalah, merendahkan orang lain yang berbeda. Maka, jika diizinkan memakai kata “cacat” di situlah sejatinya kecacatan kita semua, dalam fikiran dan hati—nauzubillah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.