Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Atropal Asparina

Disabilitas dan Cara Kita Menyadarinya

Eduaksi | Wednesday, 03 Nov 2021, 10:25 WIB
tepat satu bulan ke depan (3 Desember nanti) adalah hari difabel internasional, jadi mari meyadarinya lebih awal. bahan ilustrasi https://www.freepik.com/.

Bagi orang awam yang belum tahu istilah disabilitas atau difabel, biasa menyebutnya 'penyandang cacat'. Dikarenakan penyebutan itu kurang etis, menjelang konvensi PBB mengenai hak-hak penyandang disabilitas (UN Convention on the Rights of Person with Disability), maka istilah disabilitas (mempunyai kekurangan) mulai digunakan dan secara resmi terdapat dalam UU No, 19 Tahun 2011. Adapun istilah difabel berasal dari different able atau different ability (berkemampuan berbeda). Penggunaan istilah disabilitas dalam judul tulisan ini, sengaja penulis pilih untuk menggambarkan lingkungan kita yang belum akomodatif. Berbeda dengan istilah difabel, yang mengasumsikan bahwa lingkungan sudah akomodatif dengan tidak lagi menganggap mereka punya kekurangan, tapi hanya memiliki kemampuan berbeda.

Kesadaran akan kehadiran saudara kita yang difabel, bisa dikatakan masih minim, terutama dalam masalah keagamaan. Penulis pernah melakukan riset terkait ruang spiritualitas bagi difabel di masjid-masjid populer di Yogyakarta. Hasilnya menunjukkan bahwa masjid-masjid populer di kota seperti Yogyakarta saja, masih kurang menaruh perhatian pada jemaah difabel. Hal itu bisa dilihat misalnya dari infrastuktur masjid yang belum ramah difabel. Toilet, tempat wudu, sampai fasilitas penerjemah bahasa isyarat dalam kajian atau minimal dalam setiap shalat jum’at. Padahal, di masjid-masjid itu diketahui oleh pihak pengurus, terdapat jemaah difabel, meskipun tidak banyak.

Jika ditelusri lebih jauh, setiap manusia beragama sebenarnya mempunyai hak yang sama untuk menjalankan, merasakan, dan mengekspresikan keyakinannya. Namun ternyata, pada tataran kenyataan, semua itu terhambat oleh berbagai hal seperti kelas sosial, gender, dan yang paling minim mendapatkan perhatian adalah difabilitas,

Mari Mengambil Bagian

Lalu bagaimana cara kita mengambil bagian dan sikap menghadapi kenyataan bahwa di luar sana terdapat saudara kita yang difabel, yang tentu saja dapat dibayangan bagaimana mereka menjalani kehidupan sehari-hari? Hemat penulis, minimal pertanyaan sulit itu, harus disikapi dengan tiga sudut pandang.

Pertama, memperluas konsep pluralisme. Selama ini, perdebatan mengenai isu pluralisme (agama) selain menimbulkan pro-kontra dan tentunya kontroversi, mulai usang dan kehabisan energi atau bahan bakar perdebatan. Ujungnya jika tidak mengulang perdebatan yang lama, maka saling adu argumen via media sosial yang kebanyakan diwarnai caci maki. Akibatnya, tidak saja menjadikan isu pluralisme tidak produktif lagi, tetapi juga rawan menimbulkan keterbelahan, bahkan konflik di masyarakat.

Salah satu upaya memperluas konsep pluralisme itu adalah, tidak berkutat pada isu perbedaan keyakinan, atau pernyataan “semua agama benar” dan seterusnya. Tapi pluralisme juga harus menjadi inspirasi bagi dibukanya “pengakuan” dan kepedulian pada keragaman yang selama ini tidak terpikirkan secara serius, seperti isu disabilitas. Itulah yang dijelaskan Amin Abdullah, ketika berhasil membangun PLD di UIN Jogja. Yakni, berangkat dari inovasi berkelanjutan isu pluralisme atau pluralitas (agama).

Kedua, memperluas konsep rahmatan lil-alamin. Jargon Islam yang paling populer saat ini mungkin bisa dialamatkan kepada kalimat rahmatan lil-alamin. Namun sayang, lagi-lagi, jargon itu berpotensi hanya sekadar jargon. Sebab, sikap yang tidak mencerminkan rahmatan lil-alamin, tidak saja muncul dari kalangan awam—terutama di medsos—tetapi juga menjangkit para dai, penceramah, ustaz, termasuk mereka yang bergelar “habib”.

Kekhawatiran lainnya adalah konsep rahmatan lil-alamin, dalam praktiknya selalu terbatas pada kesadaran dan keluasan subjek dalam memahami realitasnya. Jika si subjek merasa bahwa perempuan harus selalu tunduk patuh pada laki-laki, maka sebatas itulah konsep rahmatan lil-alamin menurutnya. Begitupun, jika si subjek merasa bahwa selama ini tidak ada saudaranya—sesama manusia—yang difabel, maka bagaimana rahmatan lil-alamin itu terwujud bagi difabel, sangat sulit disadari. Maka dari itulah, mengembangkan kesadaran dan keluasan konsep rahmatan lil-alamin menjadi sangat penting.

Ketiga, cermat membaca sejarah. Sebenarnya jika saja sejak dulu kita cermat melihat sejarah kekhalifahan Islam, maka isu disabilitas mungkin akan berkembang dari tradisi Muslim. Sejarah itu tercatat pada masa khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz (682-720 M). Pada masa itu, para tawanan perang dijadikan—sebagiannya—pembantu bagi Muslim difabel (tuna netra) untuk mengantar dan membantu perjalanan ke masjid guna melaksanakan shalat berjamaah.

Terus terang saja, pada masa kini, sahabat kita yang difabel dalam melakukan berbagai aktivitasnya hanya dibantu oleh teman atau keluarganya yang peduli. Di luar itu, masih banyak sekali orang yang menganggap aneh bahkan tega dan berani melakukan bullying terhadap mereka. Tentu saja, jika terus mengandalkan kesadaran individual tanpa membangun kesadaran kolektif terhadap keragaman yang di sana meniscayakan adanya saudara kita yang difabel, maka perlakuan tuna-adab seperti hinaan, ejekan, dan pengucilan akan terus menimpa mereka.

Upaya menyadari saudara kita yang difabel dan bagaimana merubah mental dari “kami” menjadi “kita” adalah sebuah kerja kemanusiaan yang mulia. Membangun kesadaran kolektif tentang kita (kita semua sebagai manusia yang beragam dan unik setiap orangnya), tentu tidak bisa dilakukan seorang diri. Bahkan, jikapun ramai-ramai dan kompak, masih tidak bisa dilakukan tanpa cara pandang yang luas seluas-luasnya.

Penelitian penulis yang dimasud sudah terbit di http://ejournal.uin-suka.ac.id/ushuluddin/li/article/view/2014/1531

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image