Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Iwan Rudi Saktiawan

Mengurai Benang Kusut Makna Disabilitas (KNEKS)

Eduaksi | 2024-12-03 15:19:27

Dikisahkan, sebutlah Dewi, terjebak hidup di sebuah planet lain, yang penduduknya berkomunikasi dengan cara menggerakkan jari sambil saling menyentuhkan tangan mereka. Dengan kondisi tersebut, Dewi tidak bisa berkomunikasi dengan penduduk di planet tersebut, demikian juga sebaliknya. Selama berbulan-bulan, Dewi menjadi terasing dan tidak bisa menjadi orang yang berguna (berkontribusi bagi masyarakat setempat), malah mungkin sebagian masyarakat di sana menganggap Dewi sebagai beban.

Mari kita tinggalkan planet antah berantah tersebut, kita kembali ke planet bumi, tempat kita berada. Kita umumnya sudah mengenal Putri Ariani, sang penyanyi penyandang disabilitas atau difabel (different ability). Ia telah mengharumkan nama Indonesia di ajang internasional. Bila dikaitkan dengan kisah Dewi di awal tulisan ini, manakah yang mengalami disabilitas? Dewi atau Putri?

Penulis berkeyakinan jawaban dari umumnya pembaca adalah Putri. Memang Putri memiliki keterbatasan. Namun, jawaban yang benar, yang mengalami disabilitas justru Dewi dan bukannya Putri. Lho, kok bisa begitu?

Menurut United Nation Conventional Right of Person with Disability (UN CRPD) tahun 2006 tentang disabilitas disebutkan:”.. disabilitas dihasilkan dari interaksi antara orang-orang dengan keterbatasan serta hambatan sikap dan lingkungan yang menghambat partisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat..” Dari definisi tersebut, disabiltas itu terjadi ketika ada dua hal (faktor) yang berinteraksi yakni faktor internal dan faktor external.

Di sinilah letak sesat pikir atau kekeliruan kita dalam memahami disabilitas. Selama ini, umumnya memahami bahwa disabilitas itu hanya terjadi karena faktor internal difabel saja. Faktor internal difabel itu, sebagaimana dikutip dari CRPD pasal 1 adalah:”..mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama..” Padahal, bila seorang memiliki keterbatasan (faktor internal) saja, namun tidak memiliki hambatan untuk berpartisipasi penuh dan efektif karena faktor eksternal (lingkungan fisik dan sosial) mendukung, maka ia tidak disebut mengalami disabilitas. Contohnya -sekali lagi- Putri Ariani. Benar, ia memiliki keterbatasan yakni tuna netra, namun ia bisa berpartisipasi dalam masyarakat, bahkan berprestasi. Sehingga dapat dikatakan Putri Ariani tidak mengalami Disabilitas.

Dari definisi yang diakui secara internasional ukuran seseorang disebut berada dalam kondisi disabilitas atau bukan, adalah pada apakah pada seseorang bisa berpartisipasi dalam masyarakat atau tidak. Bila seseorang meskipun tuna netra sekaligus tuna rungu seperti Helen Keller misalnya, namun ia bisa berpartisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat, maka sebenarnya dia tidak mengalami disability.

Oleh karena itu, adanya disabilitas bukan satu-satunya disebabkan oleh keterbatasan internal difabel. Faktor eksternal dari difabel juga berdampak sehingga terjadinya disabilitas. Dengan demikian, ikhtiar penyelesaian permasalahan disabilitas atau pemberdayaan difabel, bukan hanya dengan menyembuhkan difabel namun juga dengan menciptakan kondisi eksternal (fisik dan sosial) yang memungkinkan (enable) bagi difabel untuk berpartisipasi. Merupakan suatu kenyataan bahwa banyak keterbatasan-keterbatasan yang tidak bisa diobati sehingga keterbatasannya harus disandangnya seumur hidup. Misalnya kelumpuhan kaki pada seseorang yang memang tidak bisa disembuhkan. Kondisi tersebut sebenarnya bukan masalah besar karena yang lebih penting dari itu adalah mengupayakan yang bersangkutan bisa berpartisipasi dalam masyarakat, syukur-syukur bisa berprestasi.

Faktor eksternal penyebab disabilitas inilah yang sering diabaikan. Dalam konteks lingkungan sosial misalnya ada dua kutub sikap berlebihan yang keliru, yakni mengabaikan atau over protection terhadap difabel. Dalam konteks lain, lingkungan fisik sering tidak dibangun berdasarkan universal design yakni desain yang bisa diakses oleh semua, yakni difabel dan non-difabel sehingga menjadi faktor penghambat difabel berpartisipasi dalam masyarakat. Dengan memahami definisi yang benar tentang disabilitas, ada harapan untuk mengurangi faktor eksternal difabel yang bisa menjadi penghambat partisipasi di masyarakat.

Dewi, tokoh di awal tulisan ini, bila yang bersangkutan memiliki keterbatasan internal, misalnya lemah motivasinya atau malah belajar, maka dia akan mengalami disabilitas di dunia antah berantah tersebut. Dua faktor bertemu, keterbatasan internal dan penghambat dari eksternal. Namun bila faktor internal Dewi bagus, kuat motivasi dan mau belajar, maka hanya ada satu faktor saja yakni eksternal faktor eksternal, maka tidak akan terjadi disabilitas.

Dengan contoh kisah Dewi di awal tulisan ini, mari kita urai “benang kusut pemahaman disabilitas. Disabilitas terjadi bila bertemu faktor internal dan eksternal, serta indikatornya adalah partisipasi yang bersangkutan dalam masyarakat. Tulisan ini juga suatu refleksi juga bagi yang secara fisik tidak ada keterbatasan (tangan, kaki, pendengaran, dan yang lainnya berfungsi dengan baik), namun tidak (mau) berpartisipasi dalam masyarakat, malah menjadi beban. Mungkin, mereka itulah yang “sebenar-benarnya” disabilitas!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image