Bersikap Kaffah dan Bersiap (untuk) Falah Melalui Ekonomi Syariah
Lomba | 2021-12-01 08:32:01Ekonomi dalam ensiklopedia Islam merupakan tuntutan kehidupan yang memiliki dimensi ibadah (ubudiyah). Islam memposisikan aktivitas ekonomi sebagai salah satu aspek untuk meraih kemuliaan (falah), dan karenanya aktivitas ekonomi sebagaimana aktivitas lainnya perlu dituntun dan dikontrol agar sejalan dan seirama dengan ajaran Islam secara keseluruhan. Falah sendiri hanya akan diperoleh jika ajaran Islam dilaksanakan secara kaffah.
Kaffah secara linguistik diartikan sebagai keseluruhan, semuanya, seluruhnya, menyeluruh dan utuh. Sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah ayat 208 yang artinya, âWahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhanâ.
Maksud dari kaffah (keseluruhan) dalam ayat di atas adalah bahwa umat Islam dituntut atas keislamannya untuk memahami agama secara sempurna dan utuh. Tidak hanya meyakini dalam rukun Islam dan rukun iman dalam hati, namun lebih dari pada itu umat Islam harus mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sederhananya, umat Islam diwajibkan untuk bertaqwa (tunduk dan patuh), yakni dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dalam semua aspek kehidupan, tak terkecuali dalam ekonomi.
Ekonomi sebagai salah satu elemen penting dalam kehidupan, menjadikannya mendapat perhatian besar dalam agama Islam. Dalam lintasan sejarah Islam dunia, ekonomi menjadi perantara Khadijah binti Khuwailid menikahi Rasulullah saw. Ya, karena kejujuran Nabi Muhammad dalam menjalankan dagangan Khadijah lah membuat wanita janda itu jatuh cinta pada beliau. Hal ini menandakan bahwa umat muslim dunia lahir dan berkembang (salah satunya) melalui ekonomi.
Tak hanya itu, dalam sejarah Islam tanah air pun, ekonomi masih menjadi aspek dominan dalam penyebaran Islam di Nusantara. Selain pernikahan, perdagangan yang dipelopori oleh muslim Arab, Mesir, Gujarat, Persia dan India juga dijadikan salah satu cara untuk membumbui kehidupan sosial masyarakat dengan nilai-nilai Islam yang kaffah.
Beberapa pakar mengatakan bahwa kaffah erat kaitannya dengan muqarabah (upaya mendekatkan diri kepada Allah swt.). Apabila kata kaffah dikaitkan dengan ekonomi maka akan lahir sebuah pengertian bahwa ekonomi harus dilakukan dengan tujuan mendekatkan diri pada Allah swt. Pertanyaannya, bagaimana implementasi kaffah dalam ekonomi? Jawabannya sederhana, yakni dengan mengutamakan akhlak. Akhlak inilah yang membedakan antara ekonomi Islam dan ekonomi lainnya karena pada dasarnya Nabi Muhammad saw. diutus ke dunia untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Dalam ekonomi Islam terdapat beberapa nilai etik yang harus diperhatikan. Seperti yang dikemukakan oleh ulama muslim asal Mesir, Syaikh Dr. Yusuf Qardhawi, bahwa terdapat 4 nilai dalam ekonomi syariah, yaitu nilai ketuhanan (rububiyah), akhlak (khuluqiyah), kemanusiaan (insaniyah) dan juga nilai pertengahan dan keseimbangan (tawassuth wal âadalah).
Nilai ketuhanan berarti bahwa aktivitas ekonomi dilakukan semata-mata untuk beribadah kepada Allah swt. Nilai akhlak berarti ekonomi Islam haruslah dipraktekkan dengan memperhatikan etika atau akhlak dalam berekonomi, seperti ikhlas, jujur, amanah, ihsan. Nilai kemanusian dimaksudkan untuk melindungi hak-hak manusia sebagai pelaku ekonomi, yang kaya membantu yang miskin, namun yang miskin juga jangan sampai malas dalam menjalani hidup. Sementara nilai pertengahan dan keseimbangan menetapkan bahwa perilaku manusia dalam ekonomi harus dilakukan dalam keseimbangan tanpa kecenderungan untuk ekstremisme seperti sifat tabdzir, israf dan tamak yang mana semuanya itu termasuk hal-hal yang dibenci dalam Islam.
Pada akhirnya apabila keempat nilai itu diaplikasikan dalam aktivitas ekonomi secara keseluruhan (kaffah), tidak hanya salah satu, maka keuntungan (falah) pun dapat diraih, baik di dunia saat ini yang bersifat maadi (materi) berupa uang dan harta, maupun di akhirat nanti yang bersifat maânawi (non-materi) berupa ketenangan dan kebahagiaan yang hakiki.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.