Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Lilis Ummi Fa'iezah

Guru di Masa Pandemi: antara tuntutan dan kenyataan

Guru Menulis | Saturday, 09 Oct 2021, 13:06 WIB

Pelaksanaan pendidikan di era Covid-19 sedikit banyak menjadi potret bagaimana sesungguhnya dunia pendidikan kita. Banyak hal terjadi dan tidak pernah terpikirkan sebelumnya terkait pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang terjadi mendadak sehingga belum dipersiapkan secara matang oleh semua pihak. Karena ketidaksiapan tersebut berbagai masalah timbul seperti tidak tersampaikannya tujuan pembelajaran, penguasaan guru akan teknologi yang rendah, dan ketidakmerataan infrastruktur di berbagai daerah.

Bila dirunut ke belakang, dipilihnya Nadiem Makarim sebagai menteri pendidikan sebenarnya menimbulkan harapan baru bahwa pendidikan Indonesia secara bertahap namun pasti akan memasuki babak teknologi. Dengan ‘melek teknologi’ diharapkan akan menyejajarkan kualitas pendidikan Indonesia dengan negara-negara maju lainnya. Dengan datangnya pandemi Covid-19, harapan masyarakat luas seolah menjadi kenyataan yaitu beralihnya pembelajaran biasa menjadi pembelajaran digital walaupun terjadinya karena ‘dipaksa’ oleh keadaan, bukan oleh Menteri Nadiem.

Sayangnya situasi ‘mendadak daring’ ini menjadikan arah pendidikan berubah frontal dan drastis jauh dari perencanaan. Menteri Nadiem di beberapa kesempatan mengakui bahwa kualitas PJJ masih jauh dari ideal. PJJ masih sebatas sebagai upaya pembelajaran maksimal masa pandemi untuk menghindari kehilangan masa belajar pada anak (learning lost).

Seiring berjalannya waktu, terjadi kekhawatiran banyak pihak terkait peran guru di era teknologi yang akan tergantikan oleh mesin. Menteri Pendidikan menepis anggapan tersebut dengan meyakinkan bahwa walaupun teknologi bisa mengantarkan manusia pada peradapan mutakhir, namun pertemuan dengan guru tidak akan tergantikan. Teknologi tidak bisa mentransfer nilai-nilai kehidupan secara langsung, memberi contoh teladan secara nyata atau berbicara dari hati ke hati dengan siswa, yang semuanya bisa dilakukan oleh guru.

Permasalahan-permasalahan terkait PJJ tentu menimbulkan kekhawatiran banyak pihak. Untuk itu, evaluasi terkait PJJ harus terus-menerus dilakukan agar pembelajaran tidak sekadar mengubah dari tatap muka menjadi tatap maya (transfer of knowledge) namun dibarengi dengan penanaman nilai-nilai kehidupan (transfer of values) seperti yang diamanatkan UU Pendidikan No.20 tahun 2003.

Berawal dari Guru

Apabila diibaratkan pendidikan adalah sebuah kendaraan yang akan membawa siswa pada kesuksesannya, guru adalah sopirnya. Sebagus apapun kendaraanya bila dikendalikan oleh sopir yang tidak andal, bisa jadi akan mengalami kecelakaan.

Generasi andal di masa depan tidak terjadi begitu saja tapi harus direncanakan dan diusahakan. Peran penting untuk membentuk generasi yang andal lebih banyak ditimpakan pada guru. Untuk itu diperlukan guru-guru yang berkualitas agar mampu menghasilkan generasi yang andal. Sebagus apapun kurikulumnya apabila guru kurang mampu menyampaikan dengan baik maka hasilnya pun tidak akan baik.

Di masa pandemi ini, guru dituntut harus menguasai teknologi. Dengan menguasai teknologi, seorang guru tidak hanya mengubah pembelajaran dari tatap muka menjadi tatap maya namun ia bisa mengkreasikan berbagai pembelajaran yang menyenangkan agar siswa yang diajarnya tidak menjadi bosan. Menyajikan pembelajaran yang tidak mebosankan menjadi penting mengingat berada di depan layar tanpa bisa berinteraksi secara fisik dengan lingkungannya adalah hal yang sangat membosankan. Apalagi godaan hiburan dunia maya sangat besar yang mampu mengalihkan pandangan siswa dari tugas utamanya yaitu belajar.

Sayangnya, harapan masih jauh dari kenyataan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengungkapkan di masa pandemi, 60 persen guru di Tanah Air belum menguasai Teknologi Informasi dan Komunikasi dengan baik (Merdeka.com). Sebenarnya guru tidak hanya tinggal diam dan pasrah menghadapi perubahan ini. Demi suksesnya pembelajaran, guru belajar menyejajarkan kemampuannya dengan tuntutan kebutuhan. Banyak pelatihan online yang diikuti guru tetapi hanya sebatas memenuhi kuota dan mendapatkan sertifikat, tanpa pembimbingan yang jelas. Yang diharapkan guru adalah pelatihan dan pembimbingan intensif terkait penguasaan teknologi, sehingga hasil dari pelatihan benar-benar terkontrol dan terukur.

Guru yang belum mampu menguasai teknologi dengan baik akhirnya akan menggunakan teknologi sederhana seperti menggunakan aplikasi pesan singkat WhatsApp agar pembelajaran tetap berjalan. Kelas menjadi sekadar kelas penyampaian tugas-tugas tanpa ada interaksi yang memadahi antara siswa dengan guru. Hal ini yang menimbulkan kesan dari orang tua bahwa guru tidak mengajar tetapi hanya memberikan tugas.

Tidak perlu meragukan kemampuan siswa menguasai teknologi karena mereka akan cepat beradaptasi asalkan semua perangkat terpenuhi. Kendala yang terjadi justru ketidaksiapan mental mereka dalam menggunakan teknologi. Perangkat digital yang menawarkan berbagai kesenangan dan kemudahan menjadi daya tarik tersendiri bagi anak usia remaja yang kadang menggunakannya secara kebablasan tanpa arahan.

Walaupun nantinya pandemi berakhir, tidak mungkin pembelajaran kembali pada masa sebelum PJJ dengan teknologi sebatas kemampuan guru dan infrastruktur sekolah seadanya. Untuk itu, ada beberapa hal yang harus menjadi konsetrasi pemerintah untuk perbaikan pembelajaran seperti; meningkatkan kualitas guru menggunakan teknologi dan mengatasi ketimpangan teknologi, jaringan internet dan kuota antara sekolah di daerah maju dan tertinggal.

Harapannya, ketika nanti pembelajaran tatap muka dibuka kembali, pembelajaran tidak kembali pada paradigma lama dimana guru kurang memberdayakan teknologi untuk membantu tugasnya. Untuk saat ini, sepertinya memperbaiki kualitas guru menjadi alternatif yang lebih rasional agar ketika PJJ berganti tatap muka, para guru tetap terlatih dan terbiasa menggunakan teknologi dalam kelasnya.

# GuruHebatBangsaKuat

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image