Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ilma Susi

Politik Dinasti Rawan Korupsi, Islam Tawarkan Konsep Kepemimpinan yang Bersih

Politik | Thursday, 19 May 2022, 12:44 WIB
Sumber Gambar : nasional.tempo.co, (27/4/2022)

Kembali, korupsi di kalangkan pejabat tercatat. Bupati Bogor Ade Yasin ditangkap bersama 11 orang lainnya pada 27/4/2022 karena dugaan suap pada temuan laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2021. Suap tersebut2 diduga dilakukan demi mendapatkan predikat opini Wajar Tanpa Pengecualian (nasional.tempo.co, 27/4/2022)

Sontak publik gerah, teringat kasus korupsi yang menjerat Rahmat Yasin babarapa tahun yang lalu. Rahmat Yasin yang merupakan kakak dari Ade Yasin saat itu menjabat sebagai Bupati Bogor pada tahun 2008—2014. Ia tidak sempat menuntaskan kepemimpinan di periode kedua, karena tersandung kasus melanggar hukum. Praktek curang yang sama, kini dilakukan oleh si adik, yaitu Korupsi!

Bila reformasi di tahun1998 terjadi dengan semangat menghapus KKN, maka semangat itu hanya berlangsung sesaat. Korupsi di kalangan pejabat kambuh lagi dan seakan menjadi hal yang melekat dalam sistem yang ada. Ade Yasin dan Rahmat Yasin merupakan gambaran politik dinasti, yaitu bagi-bagi kekuasaan antara orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan.

Masih cukup melekat dalam ingatan kita tentang kasus korupsi rame-rame yang dilakukan oleh keluarga pejabat. Di Banten, ada Ratu Atut Chosiyah dan adiknya, Tubagus Chaeri Wardhana yang terlibat kasus korupsi alat kesehatan. Ada juga Wali Kota Cimahi 2012—2017, Atty Suharti dan suaminya, Itoc Tochija, yang tersandung kasus korupsi pembangunan Pasar Atas Baru Cimahi.

Di Banyuasin ada Yan Anton Ferdian dan ayahnya, Amiruddin Inoed. Keduanya sama-sama bupati dan terjerat kasus korupsi. Ada pula Bupati Kutai Kertanegara 1999—2010 Syaukani Hasan Rais dan anaknya, Rita Widyasari, yang juga Bupati Kutai Kartanegara. Keduanya tersandung kasus korupsi pula.

Politik Dinasti Rawan Korupsi

Pada praktek politik dinasti yang ada dalam sistem demokrasi rawan terdapat kecurangan finansial semacam korupsi. Hal itu terjadi karena politik dalam demokrasi dipahami sebagai upaya untuk mendapat dan mempertahankan kekuasaan. Jamaknya, seorang kepala daerah akan berupaya melanggengkan kekuasaannya. Hal ini ditempuh dengan maju lagi dalam pemilu berikutnya. Bila jalan itu tidak memungkinkan, mereka akan mengajukan anggota keluarganya sebagai kepala daerah berikutnya.

Beragam cara bakal ditempuh guna meraih kekuasaan dan memastikan kekuasaan tersebut tetap berada dalam genggaman klan atau keluarga mereka. Karena suksesi kepemimpinan dalam sistem demokrasi perlu biaya besar, bila calon tidak siap dengan dana tebal, sangat mungkin kursi kekuasaan akan lepas dari genggaman. Jadilah pejabat itu mendulang dana secara haram yaitu lewat korupsi.

Pejabat hasil politik dinasti bukanlah hasil kaderisasi politik yang alamah. Mereka umumnya bukan sosok yang matang dalam bidang politik melainkan politisi karbitan. Mereka tak memiliki kapasitas yqbg memadai untuk mengurusi rakyatnya. Karenanya, jurus pencitraan pun diluncurkan. Poles sana dan poles sini, agar sang calon laksana sosok yang mumpuni dalam mengurusi rakyat. Proses pencitraan ini tentu butuh biaya besar. Belum lagi praktik politik uang yang selalu mengiringi suksesi kepemimpinan di negeri ini. Dalam sistem demokrasi, tanpa dana besar, mustahil seorang calon bisa terpilih menjadi pemimpin.

Politik Bersih dalam Sistem Islam

Kondisi suksesi kepemimpinan dalam Islam berbeda jauh dengan fakta politik dinasti yang sarat korupsi. Hal iru karena arah pandang politik islam berbeda dengan politik dinasti secara diametral. Islam mensyaratkan bagi penguasa sebagai orang yang adil dan punya kemampuan menjalankan amanah kepemimpinan.

Terkait syarat adil, telah disebutkan dalam kitab Ajhizah Daulah al-Khilafah, “Kelima, ia haruslah seorang yang adil. Tidak sah ia seorang yang fasik. Keadilan adalah syarat mengikat untuk pengakatan pemimpin negara dan kelangsungannya sebab Allah Swt. mensyaratkan pada saksi, ia harus adil. Allah Swt. berfirman,

﴿وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنكُمْ

‘ dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu ’ (QS Ath-Thalaq [65]: 2)

Posisi yang lebih agung dari saksi, yaitu Khalifah, maka lebih utama lagi bahwa ia harus seorang yang adil.”

Maksud dari syarat adil tersebut adalah orang yang adil dan memutuskan perkara dengan adil. Artinya, disamping sosok pribadinya adil, ia juga menerapkan sistem yang adil untuk memutuskan perkara. Untuk memenuhi syarat adil ini, seorang calon pemimpin dalam sistem Islam akan dilihat rekam jejaknya sepanjang hayat sehingga jelas ia termasuk orang yang adil atau fasik.

Politik pencitraan tidak diperlukan dalam hal ini, bahkan tidak boleh. Calon pemimpin tidak perlu biaya pencitraan-pencitraan. Ia cukup tampil dan memulikin kapasitas yang coxok dengan medan politik yang tugasnya adalah mengurusi urusan umat.

Demikian pula terkait ketiadanan politik uang. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang bertakwa sehingga tidak akan ada ruang bagi politik uang. Rakyat memahami bahwa politik uang adalah praktik yang diharamkan.

Selain itu, proses pemilihan pemimpin dalam Islam sangat sederhana dan efektif sehingga tidak butuh waktu dan biaya besar. Calon Khalifah tidak perlu menyiapkan dana besar untuk kampanye, pengumpulan massa, upah saksi, dan pemborosan lainnya.

Demikian juga dengan syarat mampu (min ahlil kifayah), yakni mampu mengemban amanah kepemimpinan. Seorang calon negara akan tampak kemampuannya dalam mengurusi rakyat berdasarkan rekam jejak perjalanan politiknya.

Calon pemimpin dalam sistem islam yaitu khalifah haruslah seorang negarawan yang visioner skala dunia sehingga mampu menyebarkan Islam ke seluruh penjuru bumi. Tidak ada tempat dalam sistem Islam bagi politisi karbitan yang awam politik.

Dengan syarat adil dan mampu pada calon pemimpin ini, akan efektif mencegah politik dinasti yang rawan korupsi.

Jika dalam sejarah Khilafah tercatat ada praktik politik dinasti, hal tersebut bukanlah ajaran Islam. Hal itu justru merupakan kesalahan penerapan sistem kepemimpinan. Sejarah tersebut tidak menjadi referensi pelaksanaan sistem Islam pada masa yang akan datang. Wallahu a'lam bishowab

Penulis : Ilmasusi

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image