Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Niswana Wafi Alfarda

Cara ampuh menghapus dan memberantas korupsi di Indonesia

Politik | Thursday, 19 May 2022, 07:53 WIB

Tindakan kriminalitas korupsi yang sudah membudaya dan marak saat ini bukanlah disebabkan karena faktor individu saja, melainkan dipengaruhi oleh sistem yang digunakan sebuah negeri untuk mengatur masyarakatnya. Sebagaimana kita ketahui, sistem yang digunakan di Indonesia saat ini adalah sistem Demokrasi Kapitalis yang memiliki ciri khusus yakni paham sekulerisme. Sekulerisme menjadikan hawa nafsu manusia sebagai asas pengatur karena agama telah dipisahkan dari kehidupan sehingga kontrol dari individu lemah, mudah sekali berbuat kemaksiatan. Sekulerisme juga membuat masyarakat menjadi cenderung pragmatis dan apatis. Dalam bernegara, sekulerisme menjadikan sebuah sanksi menjadi parsial, sesuai kesepakatan manusia, dan mudah diubah sesuai kepentingan. Oleh karena itu, meski korupsi telah nyata merupakan problem sistemik, namun solusi yang diambil bersifat parsial, seperti ancaman pemecatan dan pemberian sanksi tanpa banyak menyentuh kritik demi perubahan sistem.


Korupsi tidak akan menjadi budaya jika sistem yang diterapkan adalah sistem yang benar dan berasal dari sang pencipta, yakni sistem Islam. Di masa lampau, sistem Islam pernah diterapkan dalam bernegara selama 13 abad. Dan selama itu pula tindak kejahatan korupsi sangat langka terjadi. Dalam Islam, korupsi termasuk tindak kejahatan dan perbuatan khianat. Pelakunya disebut khaa'in. Korupsi berbeda dengan mencuri. Menurut Abdurrahman Al-Maliki, dalam kitabnya nizhamul uqubat halaman 31, praktik korupsi adalah tindakan pengkhianatan yang dilakukan seseorang dengan menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepadanya, bukan mengambil harta orang lain secara diam-diam, seperti mencuri. Maka, sanksi (uqubat) yang diberikan kepada pelaku korupsi termasuk ke dalam ta'zir, yaitu sanksi dan jenis kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk saksi pelaku korupsi bisa mulai yang paling ringan, seperti nasihat atau teguran dari hakim. Bisa juga berupa denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik/media masa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas yaitu hukuman mati. Teknisnya bisa digantung/dipancung. Berat ringannya hukuman ta'zir bergantung kepada berat ringannya kejahatan yang dilakukan. Sudah bisa dipastikan bahwa sanksi yang berdasarkan syari'at ini akan menjadi upaya preventif dan kuratif yang sangat efektif karena sistem sanksi dalam Islam bersifat jawabir dan zawajir. Sebagai jawabir, sanksi ini akan menjadi penebus siksaan di akhirat. Dan sebagai zawajir, sanksi ini akan menjadi pencegah terjadinya tindakan kriminal berulang.


Selain itu, terdapat beberapa tindakan preventif lainnya untuk mencegah korupsi menurut syariat Islam, antara lain:

1) Rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas. Bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme.

2) Negara wajib memberikan pembinaan iman dan takwa kepada seluruh aparat dan pegawainya. Aspek ketakwaan juga menjadi standar utama dalam pemilihan pejabat. Keimanan dan ketakwaan yang tertanam di dalam diri dapat mencegah pejabat dan pegawai untuk melakukan sebuah kejahatan korupsi.

3) Negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Seperti yang dikatakan Abu Ubaidah kepada Umar, "Cukupilah para pegawaimu agar mereka tidak berhianat."

4) Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Nabi Saw bersabda : "Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran" (HR. Ahmad).

5) Islam memerintahkan untuk melakukan perhitungan kekayaan bagi seluruh aparat negara. Hal ini seperti yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab yang pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan akhir masa jabatannya.

6) Adanya teladan dari pimpinan

7) Pengawasan oleh negara dan masyarakat.

Dalam pandangan Islam, harta korupsi adalah harta haram karena termasuk harta ghulul (curang). Sebab dia diperoleh dengan menambah jumlah penagihan yang semestinya melalui cara-cara penipuan, pemalsuan, atau memanfaatkan kelengahan orang lain. Rasulullah bersabda "Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuk dia maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulul" (HR Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim). Berdasarkan hadist ini, harta yang diperoleh aparat, pejabat, dan penguasa selain pendapatan/gaji yang telah ditentukan, apapun namanya, seperti hadiah, fee, suapan, dsb. adalah harta ghulul yang hukumnya haram. Oleh karena itu, semua harta tersebut harus disita dan diserahkan ke baitul mal yang akan digunakan untuk kemaslahatan umat.

Demikianlah solusi fundamental yang diberikan oleh Islam untuk mencegah dan menyelesaikan tindakan korupsi. Solusi ini hanya akan menjadi sebuah konsep jika Islam tidak diterapkan secara praktis oleh negara. Lantas apa yang menghalangi tidak bersegeranya umat Islam mengambil hukum Islam sebagai sebuah sistem kehidupan?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image