Pak Dokter Membuatku Tidak Minder
Sastra | 2021-08-18 08:06:24Namaku Abimanyu, saat ini aku duduk di kelas 4 Sekolah Dasar. Hobiku bermain catur. Ayah yang melatihku sejak usia lima tahun.
âAbi, sudah siap belum?â tanya ayah.
Oh, ya aku ingat. Ayah sudah memberitahuku kemarin, malam ini aku diajak latih tanding dengan seorang dokter. Ayah sudah biasa membawaku mendatangi teman-temannya untuk berlatih tanding denganku. Jadi, aku sudah biasa bertanding dengan lawan yang lebih dewasa.
Sampai di lokasi praktik Dokter Andrian di jalan Samas, masih ada satu pasien yang diperiksanya. Aku dan ayah mesti menunggu beberapa saat.
âEh, Pak Firman sudah lama menunggu?â Seorang laki-laki berkulit kuning berbaju putih keluar dari ruang praktik.
âBelum Dok. Oh ya, ini saya mengajak Abimanyu anak saya untuk berlatih dua atau tiga babak saja,â kata ayah sambil menyalami dokter itu.
Dokter Andrian masuk ke ruang praktik. Begitu keluar sudah memegang papan lipat dan buah catur.
Aku duduk berhadapan dengan pak dokter, dan mulai menata buah catur di papan 64 kotak hitam putih.
âKita main tiga kali, pertama kamu memegang buah putih, kedua hitam, dan ketiga putih lagi, â katanya sambil tersenyum padaku.
âYa Dok,â sahutku.
Babak pertama aku melangkahkan bidak e4 andalanku, dijawab c5 oleh pak dokter. Seterusnya pertandingan cukup ketat, aku berhasil menang tipis.
Di babak kedua saat aku memegang hitam, pak dokter melakukan pembukaan yang belum pernah aku pelajari. Semua bidak c4,d4,e4,f4 maju bersama. Aku dibuat kelimpungan dan akhirnya menyerah di langkah ke-25.
Di babak ketiga aku sudah tidak bisa menguasai diri. Aku bermain terburu-buru sehingga harus menelan kekalahan lagi.
âAbi, yuk pulang dulu. Kan sudah tiga kali tanding, biar pak dokter istirahat. Sejak siang tadi sudah melayani banyak pasien,â ajak ayah.
Aku beranjak dari kursi, berdiri di belakang ayah menyalami dokter Andrian. âDok, kami pamit dulu, terima kasih pelajarannya.â
âKapan-kapan ke sini lagi ya.â
Aku ikut menyalami pak dokter dan pulang membonceng ayah.
Sampai rumah aku langsung masuk kamar. Tak kuat menahan perasaan, aku menangis tersedu-sedu.
âKenapa dengan Abimanyu, datang-datang kok menangis,â terdengar suara ibu.
âBaru saja Abi kalah main catur dengan Dokter Andrian,â jawab ayah.
Terdengar langkah kaki ayah masuk kamarku. âDalam permainan catur, kalah itu bukan suatu aib yang mesti ditangisi. Justru kalau kita kalah, kita mesti introspeksi.â Aku terdiam membenarkan kata-kata ayah.
âDan kalau kamu mau tahu, Dokter Andrian itu sudah bergelar master. Wajar kan kalau kamu kalah?â
Aku langsung bangkit dari pembaringan. âAyah nggak bilang sih, kukira pecatur biasa. Ternyata sudah master,â sahutku sambil menyeka air mata.
âSudahlah Abi, master dan bukan master tidak perlu dipermasalahkan. Yang penting kamu harus berlatih, berpikir dengan jernih, dan penuh perhitungan sebelum melangkah,â sambung ayah.
Benar kata ayah, aku tidak boleh sembrono dalam melangkah dan harus terus belajar.
***
Seminggu berikutnya aku diantar ayah ikut Kejurkab Catur di Kabupaten Bantul. Pertandingan dibagi dalam beberapa kelompok umur. Aku bermain di kelompok E (usia di bawah 11 tahun) dengan 20 peserta.
Pertandingan berlangsung dengan sistem swiss 5 babak. Setiap babak berlangsung 50 menit. Berkat kekalahanku dengan pak dokter, menjadikanku tidak minder. Langkahku makin tenang penuh perhitungan. Aku berhasil meraih poin penuh 5 karena tak pernah kalah sekali pun.
Usai pertandingan ayah menghampiriku, âNah, akhirnya juara kan?â
Aku tersenyum dan memeluk ayah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.