Syawal Tonggak Awal Mengimplementasikan Nilai-nilai Ramadhan
Agama | 2022-05-05 03:38:28Tak terasa kita sudah berada di hari keempat dari bulan Syawal. Apa kabar ibadah kita pada awal bulan ini? Masihkah semangat ibadah kita seperti pada bulan Ramadhan? Masihkah kita merasa gembira ketika mendengar azan Maghrib? Masihkah kita melaksanakan shalat malam sebagai pengganti tarawih? Ataukah karena kita sudah berada pada hari dan bulan kemenangan, kita mulai mengendurkan semangat ibadah kita?
Kebanyakan orang menyebut Syawal sebagai bulan kemenangan, kemerdekaan. Dengan istilah ini, mudah-mudahan tidak ada orang yang memiliki perasaan “dijajah” selama bulan Ramadhan, meskipun bulan suci ini identik dengan bulan peperangan melawan hawa nafsu.
Awal bulan Syawal identik pula dengan hari yang dinanti, yakni Idul Fitri, artinya kembali makan. Kita bisa melakukan futhur, sarapan atau makan pagi tanpa harus dibatasi dengan datangnya fajar shidiq atau datangnya waktu shubuh. Sifat orang yang merayakan Idul Fitri adalah fitrah artinya suci setelah melalui proses ibadah shaum, shalat tarawih, dan ibadah lainnya yang diakhiri dengan mengeluarkan shadaqah fitri alias zakat fitrah.
Ibadah shaum, zakat fitrah, dan ibadah lainnya yang dilakukan selama bulan Ramadhan menggugurkan atau menghapus dosa-dosa yang pernah kita lakukan. Oleh karena itu, sangatlah wajar jika selepas melaksanakan ibadah shaum Ramadhan kita bergembira dengan datangnya bulan Syawal. Kegembiraan tersebut diwujudkan dalam bentuk syukuran dengan memperbanyak lantunan takbir.
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia melaksanakan shaum pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya melaksanakan shaum), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (Q.S. Al-Baqarah : 185).
Selain itu, orang yang benar-benar memiliki sifat fitrah, sejak akhir Ramadhan dalam hatinya tertanam tekad bulat untuk melanjutkan kebiasaan baik beribadah selama bulan Ramadhan. Di hatinya tertanam azam menjadikan Syawal sebagai tonggak awal untuk lebih meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah. Azam untuk istikamah dalam beribadah tertanam kuat di hatinya.
Salah satu wujud orang yang istikamah beribadah selepas Ramadhan adalah kerinduan melaksanakan ibadah shaum yang ia wujudkan dengan melaksanakan shaum sunat Syawal seperti yang dianjurkan Rasulullah saw.
Dari Abu Ayyub Al-Anshari, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa melaksanakan shaum pada bulan Ramadhan, kemudian diikuti dengan melaksanakan shaum enam hari pada bulan Syawal, maka pahala shaumnya seperti melaksanakan shaum sepanjang tahun.” (H. R. Muslim, Shahih Muslim, Kitab Al-Shiyam, hadits nomor 2758, 2759, dan 2760).
Dalam pratik pelaksanaannya terdapat beberapa pendapat. Pertama, shaum Syawal boleh dikerjakan enam hari secara berturut-turut sejak tanggal 2 – 7 Syawal. Ini merupakan pelaksanaan paling utama (Abdurrahman Al-Jazairy, Al-Fiqh ‘ala Madzahib Al-‘Arba’ah, Juz I:506).
Kedua bisa pula dikerjakan secara bertahap yang terpenting jumlah shaumnya enam hari, dan dilaksanakan selama bulan Syawal (Abu Malik Kamal, Shahih Fiqih Sunnah Juz II :134; Wahbah Juhaily, Al-Fiqh al Islam wa Adilatuhu, Juz II : 589; Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Juz I :316).
Kemudian, bagi orang yang memiliki hutang shaum Ramadhan, apakah boleh melaksanakan shaum Syawal sebelum melaksanakan qadha shaum Ramadhan?
Pelaksanaan yang paling utama adalah melaksanakan terlebih dahulu qadha shaum Ramadhan. Namun demikian, jika dilihat dari segi waktu, pelaksanaan qadha shaum Ramadhan jauh lebih luas waktunya daripada pelaksaan shaum sunat Syawal. Pelaksanaan qadha shaum Ramadhan bisa dilaksanakan kapan saja, sementara pelaksanaan shaum sunat Syawal hanya bisa dilaksanakan pada bulan Syawal. Sehingga sebagian ulama fiqih membolehkan melaksanakan shaum Syawal terlebih dahulu dan mengakhirkan qadha shaum Ramadhan.
Dari Siti Aisyah r.a, “Aku memiliki beberapa hari hutang shaum Ramadhan, dan aku baru bisa menunaikan qadha shaum Ramadhan pada bulan Sya’ban, karena aku sibuk melayani atau membantu Rasulullah saw” (Nazar bin Abdul Karim, Fiqh Al-Imam Bukhari, min Jaami’i Shahih “ash-Shiyam”, hal. 138).
Berkenaan dengan shaum sunat pada bulan Syawal, Ibnu Rajab dalam kitabnya Lathaif al Ma’arif (hal. 394) menyebutkan bahwa kedudukan shaum enam hari dari bulan Syawal laksana shalat sunat rawatib yang salah satu hikmahnya sebagai penyempurna kekurangan dalam pelaksanaan shalat fardhu.
Lebih lanjut, Ibnu Rajab mengatakan, kemampuan melaksanakan shaum enam hari dari bulan Syawal merupakan salah satu tanda diterimanya shaum Ramadhan bagi orang yang melaksanakannya. Menurutnya, jika Allah menerima suatu amal ibadah seseorang, maka Ia akan menjadikan hati orang tersebut untuk terus bergerak melakukan amal ibadah berikutnya.
Terlepas dari berbagai perbedaan pendapat tentang pelaksanaan shaum Syawal, selayaknya kita dapat melaksanakannya sebagai pengejawantahan dari pelatihan ibadah kita selama bulan Ramadhan. Ibadah, bonus pahala, dan ampunan dari Allah bukan hanya ada pada bulan Ramadhan, tapi ada sepanjang masa. Sudah selayaknya bagi kita untuk selalu mencari dan menjemputnya, dan shaum sunat pada bulan Syawal ini merupakan tonggak awal pemberangkatannya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.