Yang Datang Malam Lailatul Qadar, yang Diburu Malah Lailatul Diskon
Agama | 2021-05-01 14:06:04Eloknya, pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, umat Muslim lebih giat beribadah. Sebab, pada sepuluh malam terakhir tersebut, tersembunyi satu malam yang dinilai lebih dari seribu bulan yang dikenal sebagai Lailatul Qadar.
Sayang seribu sayang, banyak umat Muslim zaman sekarang, khususnya di kota-kota besar, lebih memilih berburu barang-barang diskon di pusat-pusat perbelanjaan sebagai persiapan Lebaran. Mereka lebih memilih berburu lailatul diskon (midnight sale) ketimbang Lailatul Qadar.
Fenomena ini selalu berulang setiap tahun. Jelang mendekati lebaran, pusat-pusat perbelanjaan perang diskon. Hampir semua mall menawarkan diskon besar-besaran. Potongan harga kian besar ketika malam takbiran tiba.
Pemandangan terbalik terlihat di dalam masjid. Jamaah Shalat Tawarih kian mengalami 'kemajuan' ketika mendekati Lebaran. Maksudnya, shaf shalat kian maju alias semakin habis jamaahnya. Padahal, justru pada sepuluh malam terakhir itu Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasalam mewasiatkan kepada umatnya untuk berburu Lailatul Qadar. Banyangkan, jika menjalankannya dengan ikhlas, ibadah seorang Muslim di malam tersebut dijamin dilipatgandakan menjadi seribu bulan atau setara 83 tahun.
Dalam buku 'Renungan Tasawuf: Manisnya Iman', KH Buya Hamka menulis tentang keutamaan Lailatul Qadar yang diberikan kepada umat Islam. Ulama kelahiran Sumatra Barat itu mengatakan: Berusia seribu bulan pun telah terlalu lama. Jarang manusia yang mencapai usia melebihi 90 tahun. Kalaupun ada, kekuatan sudah tidak ada lagi. Tetapi Tuhan membuka kepada kita saat-saat pendek yang menentukan arah seluruh hidup kita ini.
Nilai ibadat pada malam yang semalam itu, sama dengan ibadat seribu bulan. Sebab edaran siang atau malam tidaklah diukur dengan panjang pendeknya hari, tetapi dinilai dengan bekas yang ditinggalkannya. Kadang seribu bulan telah dilampau, artinya 90 tahun, tetapi kosong tidak ada isinya, tidak ada yang penting di dalamnya. Kadang-kadang hanya satu malam sahaja, lima ayat dari surah Al-Alaq, atau Iqra turun, seribu nilainya. Sesudah itu turun lagi, turun lagi. Dalam masa 23 tahun, berjumlah 6.236 ayat. Berapa nilainya. Coba kira!
Fenomena berburu barang-barang baru, khususnya pakaian Lebaran, mencerminkan umat Muslim semakin jauh dari nilai-nilai ajaran Islam. Sebagian dari kita mungkin pernah mendengar kisah jika pada malam istimewa itu, semua makhluk tunduk dan bersujud kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Namun, cerita-cerita itu kini dianggap sebagai dongeng. Sebab, secara logika, tak masuk akal rasanya jika pada malam turunnya malam istimewa itu, hewan, tumbuh-tubuhan, dan semua mahkluk ciptaan Allah tunduk serentak bersujud.
Jangankan melihat matahari dan bulan sujud, melihat orang sujud pun dia jarang atau tidak pernah sama sekali. Dan dia sendiri pun jarang sujud atau tidak pernah, sentil Buya Hamka.
Tak salah memang jika berhias menyambut hari kemenangan. Namun, keinginan bersolek untuk tampil cantik dan tampan pada Lebaran terkadang melampaui batas. Contohnya begini. Meski sudah punya satu baju baru, karena terbawa nafsu dan diskon besar, banyak umat Islam yang memborong baju-baju baru. Padahal, tidak semua baju itu dipakai saat Hari Raya Idul Fitri.
KH Abdullah Gymnastiar alias Aa Gym mengatakan, keinginan lebih dekat dengan nafsu. Ingat teori mewah. Sandal jepit kalau punya 20 pasang itu mewah karena kakinya hanya sepasang, meski harganya Rp 10 ribu. Tapi helikopter Rp 10 miliar itu murah, kalau memang harga wajarnya segitu.
Sekarang, mumpung belum terlambat sudah semestinya kita putar haluan. Makmurkan masjid, kencangkan ikat pinggang, perbanyak ibadah, dan hindari pusat-pusat perbelanjaan. Lebaran tahun ini tak perlu lagi centil dan genit, sehingga jika Ramadhan tahun ini adalah Ramadhan terakhir, kita bisa merasakan legitnya Lailatul Qadar. Jangan sampai kita mati mubazir di (mungkin) Ramadhan terakhir.
Baca tulisan selengkapnya di sini.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.