Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Evaluasi Mid-Ramadhan, Puasa Itu Bergerak Dalam Diam

Agama | Friday, 15 Apr 2022, 06:54 WIB

Waktu terasa berjalan begitu cepat. Kini kita tengah berada hampir di separo perjalanan ibadah puasa Ramadhan. Seperti yang pernah saya ungkapkan dalam artikel sebelumnya, jika diibaratkan, ibadah puasa yang kita laksanakan ini seperti lomba lari marathon.

Dari sekian banyak peserta yang mengikuti lomba tersebut tidak semuanya bisa mencapai garis finish apalagi semua peserta menjadi pemenangnya. Di tengah-tengah berlangsungnya perlombaan banyak orang yang tak mampu meneruskan perlombaan.

Ada juga orang-orang yang begitu santai dan gontai berjalan, kehilangan semangat untuk meneruskan perjalanan. Kalaulah mereka tidak malu dengan aksesoris olah raga yang mereka pakai serta semangat yang menggebu-gebu ketika pada start, mereka tidak akan melanjutkan mengikuti perlombaan.

Pun demikian dengan ibadah puasa yang tengah kita lakukan. Tak sedikit orang yang mulai santai dan gontai di tengah perjalanan. Ada orang yang mulai turun semangat ibadahnya, ada pula orang yang sudah membayangkan datangnya lebaran. Namun yang dibayangkannya bukanlah keindahan hari kemenangan, tapi perasaan susah dan bingung dengan biaya untuk mempersiapkan berbagai aksesoris lebaran.

Ada pula orang-orang yang konsisten, istikamah dengan niat lillahi ta’ala seperti ketika start Ramadhan. Mereka berusaha melaksanakan berbagai ibadah seperti yang direncanakan sebelum memasuki bulan Ramadhan.

Hatinya diliputi perasaan khawatir Ramadhan pada tahun ini merupakan Ramadhan terakhir baginya. Namun demikian, harapan pun ditanamkan di hatinya. Mereka berharap Ramadhan kali ini merupakan Ramadhan terbaik yang maqbul dan mabrur di hadapan Allah.

Dalam perjalanan yang sudah separo jauhnya ini, sudah selayaknya kita melakukan evaluasi mid-Ramadhan atas pelaksanaan ibadah yang kita laksanakan. Apakah kita masih semangat melaksanakan segala ibadah pada bulan Ramadhan seperti pada awal-awal Ramadhan tiba?

Masihkah ada rasa bahagia dengan kedatangan bulan suci ini? Masihkah kita konsisten dengan program-program ibadah yang kita buat sebelum memasuki bulan Ramadhan?

Pada evaluasi mid-Ramadhan ini selayaknya pula kita banyak merenungkan atas perbuatan kita pada masa dua minggu ke belakang. Perbuatan apa yang telah dilakukan dengan baik? Perbuatan baik apa yang tidak jadi dilakukan karena sikap malas? Perbuatan baik apa yang sengaja ditinggalkan dengan dalih sunat hukumnya yang kalau tak dikerjakanpun tidak akan berakibat dosa?

Mari kita jawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan hati yang tulus dan simpan jawabannya secara rahasia dalam hati nurani seraya bertekad memperbaikinya sejak hari ini sampai berakhirnya Ramadhan. Kita tak perlu malu dengan komentar orang lain, karena jawabannya sendiri kita simpan dalam hati. Jawaban dan tekad untuk memperbaikinya hanya hati kita dan Allah yang mengetahuinya.

Penyimpanan jawaban secara rahasia dalam hati tak jauh bebeda dengan ibadah puasa yang kita lakukan. Ibadah ini merupakan perbuatan rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya. Oleh karena itu, jika salah satu makna puasa itu imsak yang berarti menahan, maka selayaknya orang yang berpuasa tidak perlu memperlihatkan segala amalnya di hadapan manusia.Orang yang berpuasa harus menahan diri dari sikap ria atas segala perbuatan baik yang dilakukannya.

Pada evaluasi mid-Ramadhan ini selayaknya pula kita mengevaluasi sikap imsak kita selama melaksanakan ibadah puasa. Apakah kita sudah mampu menahan lisan, mata, pendengaran, dan seluruh anggota badan kita dari perbuatan maksiat?

Ibadah puasa yang kita lakukan ini pada satu sisi harus imsak, menahan atau diam, namun pada sisi lainnya harus bergerak. Oleh karena itu, ibadah puasa ini bisa dikatakan ibadah yang dilakukan secara bergerak dalam diam. Maknanya orang tengah melaksanakan ibadah puasa tetap melakukan berbagai aktivitas kesehariannya.

Dalam melakukan berbagai aktivitas, raganya tetap menahan diri dari berbagai asupan makan, minum, dan segala hal yang dapat membatalkan puasa secara ragawi. Demikian pula dengan jiwanya senantiasa menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat membatalkan puasa secara ruhani seperti ghibah, melakukan gossip, beburuk sangka, hasud, dan lain-lain.

Secara manusiawi, bergerak dalam diam, beraktivitas tanpa asupan makan dan minum, dalam waktu-waktu tertentu akan menjadikan raga lemah tak bertenaga. Namun demikian, orang-orang yang berpuasa tidak akan tinggal diam, mereka akan memohon kepada Allah agar memberikan kekuatan untuk tetap beraktivitas seraya melaksanakan ibadah puasa. Dalam hal ini sudah seharusnya orang yang berpuasa tidak meninggalkan aktivitas zikir atau berdoa.

Mari kita melakukan evaluasi atas aktivitas zikir kita. Zikir yang paling sederhana saja seperti doa ketika berbuka puasa. Selama empat belas hari melaksanakan ibadah puasa ini, berapa kali kita meninggalkan berdoa sebelum berbuka? Apakah selama empat belas hari ini kita selalu melaksanakan shalat berjamaah dan shalat tarawih? Sudah berapa kali khatam atau berapa juz tadarus Al Qur’an kita sampai hari ini?

Dua evaluasi ini penting dilakukan sebelum kita melanjutkan kepada fase-fase Ramadhan berikutnya, yakni sepertiga atau sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Seperti diketahui fase sepuluh akhir dari bulan Ramadahan merupakan fase penentuan “kelulusan” orang dalam melaksanakan ibadah puasa.

Pada fase ini, pada umumnya perhatian orang-orang sudah tertuju kepada persiapan menghadapi lebaran. Persiapan menghadapi “pesta” lebaran yang hanya sehari sering mengalahkan keutamaan ibadah pada malam-malam sepuluh akhir dari bulan Ramadahan.

Mari kita mengevalusai diri seraya kembali memperbaharui niat ibadah puasa Ramadhan. Kita harus menjadikannya sebagai bulan totalitas ibadah untuk meraih ampunan Allah yang salah satu momen ampunan-Nya akan ditebarkan pada malam-malam sepuluh akhir dari bulan Ramadhan.

Diantara malam-malam tersebut Allah akan menurunkan malam kemuliaan, lailatul qadar yang di dalamnya sarat rahmat dan ampunan. Ironis sekali jika kita berharap akan rahmat dan ampunan seraya meninggalkan ibadah pada malam-malam yang sangat dianjurkan Allah dan Rasul-Nya.

Evaluasi berikutnya yang harus kita lakukan adalah evaluasi terhadap dasar dan tujuan kita dalam melaksanakan ibadah puasa. Secara umum, dasar dari seluruh ibadah itu harus lillahi ta’ala, karena Allah semata seperti sering kita ucapkan dalam niat ketika melaksanakan suatu ibadah. Tanpa lillahi ta’ala ibadah kita hanya akan berakhir dengan nilai hampa nan sia-sia.

Sementara takwa menjadi tujuan atau muara akhir dari ibadah puasa yang kita lakukan. Untuk bisa berlabuh di muara akhir ibadah puasa, ibadah dan akhlak selama bulan Ramadhan ini harus benar-benar ditanam, disiangi, dan dipupuk dengan benar.

Orang-orang yang bertakwa sendiri merupakan kelompok ulul albab, orang-orang yang berakal, orang-orang cerdas. Seperti disebutkan dalam Q. S. Ali Imran : 191 kriteria ulul albab adalah mereka yang selalu berzikir, berpikir atau menafakuri keagungan Allah seraya hatinya diliputi persaan takut akan azab Allah.

Aktivitas berzikir, berpikir, dan perasaan takut akan azab Allah ini melahirkan berbagai akhlak mulia dalam jiwanya seperti sabar, jujur, kesiapan diri menghadapi berbagai problema kehidupan, pantang putus asa, senang menolong, dan senang berbagi dengan orang lain.

Insya Allah dua pekan ke depan kita masih akan menjalani ibadah puasa ini. Sebelum melangkah memasukinya, marilah kita mengevaluasi diri sejauh mana sifat-sifat dari orang bertakwa tersebut melekat pada jiwa. Jika sudah ada selayaknya kita mempertahankannya dengan baik. Jika belum ada sudah seharusnya kita berjuang keras mewujudkannya agar gelar muttaqin benar-benar melekat pada jiwa pasca kita melewati Ramadhan.

Ilustrasi : tadarus (sumber gambar : Republika Online)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image