DEMO MAHASISWA MENULIS
Curhat | 2022-04-13 16:35:14Demonstrasi atau sering disingkat dengan demo, siapa pun pesertanya biasanya menampakkan tiga ciri utama: massal, tuntutan, dan ricuh. Dikatakan massal, karena melibatkan banyak orang sebagai peserta demo. Ada tuntutan, itu tujuan utama demo. Apa pun nama demonya. Ricuh, adalah suasana ketika para pendemo yang tidak sabaran karena tidak diizinkan memasuki arena, biasanya spontan merusak beragam sarana yang tampak di depannya.
"Mas, tampaknya demo mahasiswa kali ini mulai memanas, ya" ujar si Bakir membuka percakapan di WarungKopi Yu Ningnong.
"Begitu yang saya tonton di televisi. Malah ada yang digebuki terus dilucuti sehingga cuma bersempak,ya!" timpal Mas Nakurat.
"Ya, itu pegiat media dan akademisi yang jadi korban pengeroyokan saat ikut aksi di depan Gedung DPR RI. Apa tuntutan mereka bisa dipenuhikah?"
"Kita lihat nanti. Belum ada pernyataan dari wakil rakyat atau pejabat."
"Mas, kalau para mahasiswa atau siapa pun mereka yang berdemo, jika nggak menggeruduk secara massal, apa mungkin tidak akan dipenuhi?"
"Sebentar ... aku mau nambah kopi dulu."
"Demo" lanjut Mas Nakurat, "Banyak bentuknya. Di daerah saya, bentuk masyarakat mendemo penguasa setempat, dengan adegan teatrikal: 5 pria tampak berbalur lumpur berdiri di pinggiran jalan. Apa pesannya? Itu bentuk kritik agar jalanan di wilayahnya tidak lagi berlumpur.
"Di daerahku malah jalan provinsi yang berlubang-lubang ditanami pohon pisang. Merekajuga beternak lele dumbo. Itu demo juga ya Mas?"
"Nah, bentuk demo lain yang juga berdampak melalui tulisan. Para intelektual seperti mahasiswa yang memang cendekia mestinya mengubah strategi juga. Misal, topik yang akan dijadikan sebagai sasaran demo adalah minyak goreng. Ribuan mahasiswa dapat menulis dari ragam sisi."
"Lalu?"
"Boleh saya membuka catatan sejarah betapa sebuah tulisan yang ditulis satu orang, memiliki pengaruh yang dahsyat bagi sebuah negara?"
"Emang ada Mas?"
"Surat kabar De Express edisi 13 Juli 1913 memuat artikel Soewardi Soerjaningrat berjudul Als Ik Eens Nederlader. Artikel tersebut diniatkan untuk mendemo penjajah Belanda, yang hendak merayakan 100 tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis.
Hal yang membuat penulisnya -kelak kita kenal dengan nama Ki Hajar Dewantara- adalah karena untuk membiayai pesta pora perhelatan itu, para pejabat kolonial menarik uang “sumbangan” kepada seluruh warga Hindia Belanda. Bagaimana ceritanya kaum yang terbelenggu kedaulatannya disuruh menanggung pembiayaan pesta-pora bagi mereka yang menjajah? Inilah yang menjadi titik kritik Ki Hajar Dewantara lewat artikel kritisnya itu.
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu."
Kritik tersebut membuat marah pemerintah Belanda sehingga Ki Hajar Dewantara diasingkan ke Pulau Bangka.
"Wah, ini luar biasa ya Mas" si Bakir makin kagum. "Ini baru namanya unjuk rasa, yang mampu mengungkapkan segala rasa kaum tertindas yang terwakili dengan apik."
"Bang Bakir tahu unjuk rasa itu sama dengan demo?"
"Tahulah, pelecehan dikau Mas. Aku ini manusia Indonesia yang sangat mencintai bahasa Indonesia.
"Bagus. Tapi apa kata "demo" yang dipadankan dengan "unjuk rasa" dapat digunakan ketika Emak-emak yang akan demo cara membuat Seblak, dengan mengatakan bahwa mereka akan menggelar helat unjuk rasa membuat Seblak?"
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.