Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Didi Rosadi

PIKUKUH PERCERAIAN DI MASYARAKAT BADUY

Guru Menulis | Friday, 08 Apr 2022, 23:12 WIB
Foto : Presentasi kelompok observer

Berbicara tentang Baduy banyak sekali tema yang bisa diangkat sebagai kajian keilmuan pada bidang studi antropologi, humaniora, sosiologi, ilmu pemerintahan dan berbagai keilmuan yang relevan. Membuka google cendikia atau google schuler di mesin pencarian dengan memakai kata kunci Baduy, maka akan muncul ribuan hasil penelitian para akademisi, baik dalam bentuk makalah, skripsi, tesis, disertasi maupun jurnal. Mengupas tema masyarakat Baduy dengan keunikannya seolah seperti menimba air di lautan lepas yang tidak pernah ada habisnya, tergantung dari kejelian kita menangkap berbagai fenomena yang terjadi.

Dari tugas yang dikerjakan mahasiswa, saya mencoba mendeskripsi satu tema tentang Selayang Pandang Pikukuh Perceraian di Masyarakat Baduy. Perkawinan secara umum di pahami sebagai ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan dengan status suami istri untuk membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa (UU No. 1/74). Sementara perkawinan adat menurut Hazairin merupakan rentetan perbuatan magis dengan tujuan untuk menjamin ketenangan, kebahagiaan dan kesuburan. Dalam perkawinan tentu saja pondasi pertama yang harus dibangun adalah “rasa cinta”, sehingga antara pria dan wanita ingin menyatukan diri dalam rumah tangga. Dalam perjalanan rumah tangga kadang ada saja badai menghantam, menguji kekuatan yang sudah di sepakati bersama, dan tidak sedikit rumah tangga berakhir di jurang pemisah atas nama perceraian.

Perkawinan bagi masyarakat Baduy merupakan “rukun hirup” (rukun kehidupan) sehingga harus dilakukan. Masyarakat Baduy Luar yang menggunakan hukum adat menandakan bahwa semua prilaku terikat dengan adat leluhur yang berlaku termasuk perkawinan dan perceraian di dalamnya. Dalam masyarakat Baduy Dalam perkawinan hanya putus dengan kematian salah satu pasangan, dengan alasan apapun perceraian tidak bisa dibenarkan. Sampai saat ini, dari data yang diperoleh hasil wawancara dan observasi ada sekitar lima kali kasus perceraian di Baduy Dalam. Sanksi diberikan kepada mereka yang melanggar dengan di keluarkan dari Baduy Dalam dan tidak terikat lagi hukum adat, hubungan dengan keluarga hanya untuk silaturahmi dan tidak menetap. Apabila si pelanggar ingin masuk kembali ke Baduy Dalam harus melewati ritual penembusan dosa, dengan tinggal di rumah tahanan dan melakukan pemandian suci oleh jaro dan mendapat ijin dari Puun.

Sementara pada masyarakat Baduy Luar Pikukuh warisan nenek moyang sudah bergeser mengikuti ritme jaman, dari data yang di dapat 20 % kasus perceraian terjadi di lima tahun terakhir. Kasus perceraian di Baduy Luar diakibatkan beberapa alasan, antara lain : ngaduwaken salaki atawa pamajikan (menduakan suami atau istri), teu bisa boga budak (tidak bisa punya anak), haliwu atau pasea (pertengkaran), dan beda keyakinan.

Masih adanya sistem perjodohan yang dilakukan oleh orang tua juga memberikan sumbangsih terhadap terjadinya kasus perceraian pada masyarakat Baduy, rumah tangga pada kasus ini kadang tidak dilandasi oleh rasa cinta dan kasih sayang. Masa senggang (iddah) untuk masyarakat Baduy Luar yang bercerai selama 40 hari baru bisa menikah lagi, sementara apabila ingin rujuk kembali harus melakukan nikah lagi seperti pernikahan pertama, tidak bisa rujuk hanya menggunakan ucapan saja, kalaupun perceraian baru satu atau dua minggu.

Masyarakat Baduy Luar merupakan masyarakat Baduy yang lebih terbuka dengan perkembangan jaman, dan para wisatawan yang berkunjung. Pakaian yang digunakan berwarna hitam, sebagai penanda bahwa mereka sudah tidak suci lagi dari berbagai pikukuh yang diwariskan para leluhur. Masyarakat Baduy Luar melakukan perkawinan dengan menggunakan hukum adat dan hukum Islam bagi mereka yang sudah berpindah keyakinan memeluk agama Islam.

Kehidupan masyarakat Baduy Dalam dengan memakai sanksi tegas terhadap pelanggar aturan sebagai cerminan untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembagian kekuasaan dalam trias politika yang di pakai di negara kita hanya melahirkan perselingkuhan antar kekuasaan. Aturan yang dibuat seakan hanya pelengkap administrasi untuk memperlihatkan bahwa kita sebagai negara hukum dengan tingkat budaya yang lebih tinggi.

Observer : Fitriyani, Siti Patimah, Ega Adestia dan M. Aldi Ramadhan

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image