Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rizki Abdillah

Sebuah Catatan untuk Yang Sedang Hijrah

Agama | Thursday, 04 Jul 2024, 11:13 WIB

Suatu ketika, saat aku masih SMA, aku pergi bersama teman-temanku ke Bekasi. Kami menaiki KRL Jabodetabek. Ketika kami sampai di Stasiun Manggarai dan diharuskan transit, kami sedikit kebingungan karena saat itu Stasiun Manggarai sedang ramai dan dalam proyek perluasan dan peron transit pun berubah-ubah. Ditambah lagi, saat itu aku dan teman-temanku jarang menggunakan KRL, sehingga semakin menambah kebingungan kami.

Di tengah kebingungan itu, aku hanya fokus dengan ponselku, mendengarkan lagu kesukaan dengan headphone. Aku hanya mengikuti teman-temanku yang sama-sama kebingungan, namun aku tidak peduli. Ketika mereka mengeluhkan keadaan yang membuat kita sama-sama bingung itu, aku akhirnya memberanikan diri untuk bertanya kepada petugas KAI yang saat itu juga cukup kewalahan mengarahkan penumpang KAI.

“Pak, ke Bekasi peronnya di sebelah mana ya?”

Petugas KAI itu menjawab cukup tegas sambil mengetukkan jarinya ke headphone ku

“Makanya dengerin dek, jangan fokus HP! Noh, Bekasi di sebelah sana.” Sambil menunjuk ke arah peronnya.

Aku merasa sedikit kesal dengan cara petugas itu menjawab, tetapi aku tidak terlalu peduli dengan arahannya. Aku tetap fokus dengan ponselku, mencoba menyelaraskan langkah dengan teman-teman di depan dan sampingku. Hingga kita berhenti melangkah dan ada pengumuman dari stasiun, sedangkan aku masih fokus dengan ponselku.

Petugas itu menghampiriku kembali. Kali ini ia benar-benar melepas headphoneku sambil berkata tegas:

“Nih ada pengumuman nih, makanya dengerin! Jangan fokus sama yang lain dulu kalau di perjalanan! Nih simpen dulu!”

Aku merasa dinasihati di depan banyak orang dan itu membuatku kesal dan sedikit malu.

*****

Belakangan ini, peristiwa itu terulang dalam ingatanku. Kejadian demi kejadian di sekitarku menyadarkanku tentang suatu hikmah dari pengalaman itu.

Setiap kita pasti bertujuan ingin hidup baik, itu sudah bawaan dari hati - selama hati itu masih sehat / tidak tertutup. Hanya saja, kehendak nafsu kita sering kali menutupi kehendak hati kita. Yang padahal kehendak nafsu itu tidak sesuai dengan kehendak hati.

Aku hanya ingin pergi ke Bekasi, tetapi nafsuku ingin aku fokus pada ponsel dan mengabaikan pengumuman. Padahal, aku perlu mendengarkan pengumuman stasiun dengan baik. Jika petugas itu tidak menegurku, aku mungkin akan tersesat karena tidak mendengarkan pengumuman dengan baik.

Begitulah kita. Kita seringkali mendengar hikmah, nasihat, ceramah dan lain-lain yang sebenarnya mendatangkan petunjuk bagi hati kita. Namun, kita sendiri yang memilih apakah ingin mendengarkan atau mengacuhkan tanpa peduli. Kalaupun sudah mendengarkan, kita harus memilih lagi apakah akan berjalan dengan petunjuk itu atau tidak mengikutinya.

Dalam fase “Hijrah” kita menuju versi diri yang lebih baik, tidak jarang kita menemukan persoalan seperti ini. Ketika ada nasihat atau teguran, seringkali kita justru tersinggung atau bahkan menolak untuk mendengarkan. Hal ini manusiawi karena kita menganggap nasihat, teguran, atau bahkan kritik itu sebagai serangan kepada diri kita. Namun hal yang “manusiawi” itu tidak untuk dituruti terus-menerus. Karena penting bagi kita untuk berbenah diri supaya menjadi versi yang lebih baik dari sebelumnya.

Dalam fase hijrah, yang utama dilakukan terlebih dahulu adalah menghijrahkan pola pikir kita. Karena kemudian akal kita yang akan menuntun seluruh badan kita untuk berbuat kebaikan. Kalau akal kita masih terbawa nafsu semata, kita tidak akan pernah mau mendengar nasihat, teguran, dan kritikan itu karena menganggapnya sebagai serangan terhadap diri kita. Padahal hanya hawa nafsu kita saja yang tidak senada dengan kebaikan.

Sejatinya kebaikan mempunyai indikator sendiri, yaitu syariat Islam bagi kita yang muslim. Maka kebaikan tidak selalu harus sesuai dengan keinginan kita. Terkadang sesuatu yang tidak kita sukai justru yang terbaik untuk kita (Surah Al-Baqarah - 2 : 216).

Ketika kita sadar bahwa kita melakukan keburukan, selama kita menyadari bahwa hal itu tidak baik dan mau menyesalinya, meskipun ada kemungkinan untuk melakukannya lagi, itu jauh lebih baik daripada mencari alasan pembelaan untuk terus melakukan keburukan itu. Setidaknya dengan menyadari bahwa hal tersebut adalah keburukan, berarti itu pertanda hati kita belum tertutup, dan insyaallah akan ada jalan untuk kita bertaubat suatu saat.

Induk dari perbuatan buruk adalah hawa nafsu. Setan hanya memantik hawa nafsu itu. Ketika hawa nafsu itu berhasil menguasai pikiran kita, anggota tubuh kita akan melaksanakan keburukan itu. Selama hal ini masih kita sadari, hendaknya kita terus menjaga kesadaran akal sehat kita dan berintrospeksi, sebelum akhirnya hawa nafsu kita menutup hati kita sehingga kita tidak bisa merenung. Inilah yang terjadi pada orang-orang yang digambarkan buruk dalam Al-Qur’an, hatinya tertutup dan tidak ingin mendengar nasihat lagi, na’udzubillah min dzalik.

Mudah-mudahan kita semua selalu Allah tuntun untuk berbuat baik, Aamiin.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image