Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sabit Wiramadi

Optimalisasi Peran Zakat dan Pajak dalam Perspektif Islam

Ekonomi Syariah | 2025-12-19 15:22:07
Sumber: https://zakatsukses.org/zakat-dan-pajak-serupa-tapi-berbeda-bagaimana-dalam-pandangan-ekonomi-islam/

A. Peran Zakat

Secara etimologis, kata zakat berasal dari akar kata “Zakaa” yang memiliki makna berkembang dan bertambah. Dalam pengertian bahasa, zakat mencakup arti kesuburan, pertumbuhan, dan keberkahan (nama’), serta juga bermakna penyucian (thaharah), keberkahan (barakah), dan pembersihan jiwa serta harta (tazkiyah dan tathhir). Zakat juga mengandung makna sebagai bentuk ikatan sosial antara golongan kaya dan miskin (Arif et al., 2025). Zakat merupakan kewajiban syariat yang bersifat ilahiah, ditetapkan melalui Al-Qur’an dan hadis sebagai salah satu rukun Islam. Kewajiban ini tidak hanya berdimensi ritual, melainkan juga memiliki peran sosial-ekonomi yang sangat penting (Subhan, 2025).

Penjabaran ini menunjukkan bahwa zakat dalam perspektif kebahasaan bukan sekadar tindakan finansial berupa pemberian sebagian harta, melainkan sebuah proses spiritual dan sosial yang mendalam. Makna ṭaharah mengandung pengertian bahwa zakat berfungsi sebagai penyucian jiwa dari sifat-sifat tercela seperti kikir (bukhul), tamak (ṭamaʿ), dan cinta dunia yang berlebihan (ḥubb ad-dunya). Dalam konteks ini, zakat menjadi bagian dari proses tazkiyah al-nafs, yaitu pemurnian jiwa dari hal-hal yang dapat merusak integritas moral dan spiritual seorang Muslim.

Zakat bukanlah sekadar amal sunnah, melainkan kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap Muslim yang memenuhi syarat. Ketentuan hukum ini mengatur secara rinci jenis harta yang dikenai zakat, nisab, haul, serta tata cara pengeluarannya. Pengakuan zakat sebagai salah satu rukun Islam mempertegas betapa pentingnya ibadah ini dalam kehidupan seorang Muslim. Ia menjadi pilar yang menghubungkan aspek keimanan dan amal sosial, sehingga pelaksanaannya adalah refleksi dari ketaatan kepada Allah sekaligus tanggung jawab terhadap sesama manusia (Ulinnuha, 2025).

Zakat diperlakukan sebagai restricted fund, yaitu penerimaan yang tidak dapat ditarik kembali oleh pemberinya dan penggunaannya diarahkan untuk belanja negara, khususnya pada sektor perlindungan sosial yang sesuai dengan kategori para penerima zakat (mustahiq). Oleh karena itu, zakat dapat diposisikan sebagai salah satu bentuk penerimaan negara (Arif et al., 2025). Berdasarkan perspektif syari’ah Islam, zakat merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki potensi besar dalam meningkatkan taraf hidup umat Muslim. Hal ini disebabkan oleh adanya dua nilai utama dalam zakat, yakni nilai ibadah dan nilai sosial. Nilai ibadah menunjukkan bahwa zakat adalah bentuk hubungan vertikal antara manusia dan Allah (ḥabl min Allāh), yang berperan dalam memperkuat keimanan serta membersihkan hati dan jiwa seorang Muslim.

Sementara itu, nilai sosial dari zakat mencerminkan hubungan horizontal (ḥabl min an-Nās), dimana zakat menjadi sarana untuk membantu sesama, khususnya mereka yang berada dalam kondisi ekonomi kurang mampu. Oleh karena itu, zakat sangat berpotensi sebagai solusi dalam mengatasi persoalan kemiskinan. Zakat dalam perspektif hukum Islam adalah kewajiban ilahiah yang bersifat permanen, memiliki dasar kuat dalam Al-Qur’an dan hadis. QS. At-Taubah: 103 menegaskan kewajiban zakat sebagai instrumen spiritual sekaligus sosial (Subhan, 2025).

Historical precedents, khususnya era Khalifah kedua, 'Umar bin Khattab R.A, memberikan studi kasus yang menarik untuk memahami bagaimana prinsip-prinsip Islam dapat dioperasionalkan untuk mengatasi disparitas sosial ekonomi. Pada masa pemerintahan 'Umar bin Khattab, ekspansi wilayah Islam mencapai Persia, Mesir, dan Suriah, sehingga pendapatan negara meningkat drastis. Pendapatan ini tidak hanya bersumber dari rampasan perang (ghonīmah), tetapi juga dari pajak tanah (kharāj), pajak perdagangan (‘ushūr), jizyah kaum non muslim, dan zakat yang dikumpulkan secara terstruktur.

Untuk mengelola kelebihan pendapatan, 'Umar membentuk lembaga Baitul Māl pada 16 H yang berpusat di Madinah dengan cabang di ibu kota provinsi, pembentukan lembaga Baitul Māl dan al-Dīwān berlangsung sistematis dengan penunjukan figur kunci seperti Abdullah bin Ubaid al-Qārī dan Muayqab sebagai wakilnya untuk mengelola pemasukan negara yang terdiri atas zakat, kharāj, jizyah, fai’, dan ‘ushūr, serta pendapatan lain seperti sewa tanah, dari setiap sumber pendapatan diklasifikasikan, dikelola dan didistribusikan secara transparan kepada delapan golongan mustahik, memadukan prinsip keadilan dan keseimbangan syariah.

Sumber pendapatan negara dikelompokkan menjadi: zakat/‘ushūr, khums/sedekah, kharāj/jizyah/fai’, dan pendapatan lain-lain (mis. sewa tanah), yang kemudian disalurkan sesuai keperluan sosial-militer dan pembangunan. Struktur ini mencerminkan prinsip maslahah mursalah dalam ekonomi Islam. Dalam rangka efisiensi fiskal, 'Umar menerapkan kebijakan kharāj pada tanah taklukan dengan tarif terukur, jizyah untuk non-muslim, serta zakat profesi dan ‘ushūr bagi petani.

Oleh karena itu, evaluasi yang ketat terhadap instrumen fiskal yang diterapkan selama kepemimpinan 'Umar bin Khattab, terutama metode inovatifnya dalam pengelolaan Zakat, memiliki janji besar untuk mengekstrak prinsip-prinsip berharga yang dapat diadaptasi dan diintegrasikan ke dalam sistem ekonomi Islam kontemporer, yang pada akhirnya berkontribusi pada distribusi kekayaan yang lebih adil dan peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi. Era 'Umar bin Khattab sering dijadikan role model karena kemajuannya dalam pemerintahan dan keadilan sosial, terutama terkait dengan distribusi kekayaan (Hasan & Makki., 2025).

B. Peran Pajak

Secara etimologis, kata pajak berasal dari bahasa Sansekerta “pajaka” yang berarti kewajiban atau beban yang harus dibayar oleh rakyat kepada penguasa. Dalam bahasa Indonesia, pajak diartikan sebagai pungutan wajib dari rakyat kepada negara berdasarkan undang-undang yang berlaku, tanpa imbalan langsung, untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan kepentingan umum. Makna ini menunjukkan bahwa pajak merupakan instrumen keuangan yang mengikat secara hukum dan menjadi sumber utama penerimaan negara.

Dari sudut pandang bahasa, pajak mengandung unsur kewajiban, pungutan, dan pengaturan oleh negara. Kata “kewajiban” menandakan bahwa pajak bukanlah pilihan, melainkan suatu keharusan yang harus dipenuhi oleh setiap warga negara yang memenuhi ketentuan tertentu. Sedangkan “pungutan” menandakan pengambilan sebagian kekayaan atau pendapatan masyarakat untuk dialokasikan dalam pembiayaan fungsi negara dan pelayanan publik. Terakhir, pengaturan oleh negara menjadi faktor penting yang membedakan pajak dari sumbangan sukarela atau iuran lain, karena pajak dipungut berdasarkan aturan formal dan sistem hukum yang jelas (Ulinnuha, 2025). Pajak merupakan pilar fiskal paling penting dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional dan menjadi sumber utama penerimaan negara diluar pendapatan non pajak (Umat, 2025).

Pajak di sisi lain lahir sebagai kewajiban kenegaraan modern. Ia berfungsi untuk membiayai pembangunan, menyediakan layanan publik, dan memastikan keberlangsungan negara. Dua perbedaan asal-usul ini menunjukkan perbedaan fundamental antara zakat dan pajak. Dalam konteks Indonesia, muncul wacana mengenai persamaan dan kemiripan antara zakat dan pajak. Wacana ini berkembang karena keduanya sama-sama dianggap sebagai instrumen untuk mendukung kemaslahatan masyarakat. Namun, penyamaan tersebut menimbulkan perdebatan, karena menyentuh ranah hukum Islam sekaligus kebijakan publik. Sebagian kalangan memandang keduanya dapat saling menggantikan, sementara sebagian lain menolaknya secara tegas (Subhan, 2025).

C. Sinergi Zakat dan Pajak

Zakat dalam perspektif hukum Islam adalah kewajiban ilahiah yang bersifat permanen, memiliki dasar kuat dalam Al-Qur’an dan hadis. QS. At-Taubah: 103 menegaskan kewajiban zakat sebagai instrumen spiritual sekaligus sosial. Zakat adalah ibadah maliyah yang menempati posisi fundamental setara dengan shalat, sehingga tidak dapat disamakan dengan kewajiban duniawi lain.

Pajak, sebaliknya, adalah instrumen negara yang muncul dari kebutuhan administratif dan fiskal, tanpa legitimasi transendental. Wahbah al-Zuhaili memperkuat argumentasi ini dengan menyatakan bahwa zakat bersifat tetap karena berasal dari nash syar‘i, sementara pajak hanya bersandar pada regulasi negara. Dengan demikian, penyamaan pajak dengan zakat secara normatif bertentangan dengan prinsip syariah. Perbedaan asal hukum keduanya menjadi batas yang jelas, bahwa zakat tidak boleh direduksi menjadi pajak, meski keduanya memiliki kesamaan fungsi sosial (Subhan, 2025).

Referensi

 

  1. Subhan, Mohammad. "Zakat dan Pajak dalam Perspektif Hukum Islam: Analisis Normatif-Praktis serta Dampak Ekonomi pada Keluarga Muslim." HOKI: Journal of Islamic Family Law 3.1 (2025): 48-57.
  2. Arif, Muhammad Roykhannul, et al. "Zakat dan Pajak Sebagai Instrumen Sistem Keuangan Negara." Jurnal Study Islam 1.02 (2025): 217-225.
  3. Hasan, Zaenol, and Mustaqim Makki. "Kebijakan Fiskal dan Distribusi Kekayaan pada Era Khalifah'Umar bin Khattab: Analisis Historis terhadap Optimalisasi Zakat dalam Perspektif Ekonomi Islam Kontemporer." Ulumuna: Jurnal Studi Keislaman 11.1 (2025): 78-90.
  4. Ulinnuha, Ahsin Haris. "Peran Sinergis Antara Zakat Dan Pajak Sebagai Instrumen Utama Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat Di Indonesia." Jurnal Kajian Islam dan Sosial Keagamaan 2.4 (2025): 773-780.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image