Pernyataan Sikap Yayasan Perak Menolak Disahkannya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual TPKS
Info Terkini | 2022-03-31 10:28:11RUU TPKS akan segera disahkan, namun ternyata ada dua celah yang menurut Yayasan Perak masih kurang di dalam RUU TPKS yang akan disahkan itu, yaitu:
Pertama tidak diaturnya perbuatan seksual, termasuk perzinahan yang dilakukan atas dasar suka sama suka (sexual consent) yang tidak mengandung kekerasan meskipun bertentangan dengan hukum agama dan norma hukum/nilai nilai hukum yang berlaku di masyarakat.
Yang kedua adalah tidak diaturnya penyimpangan seksual atau hubungan sesama jenis. Padahal banyak kasus penyimpangan seksual yang beriringan dengan terjadinya kekerasan/kejahatan seksual.
Oleh karena itulah, Yayasan Perak sebagai lembaga yang bergerak di bidang kajian Perempuan, Anak dan Keluarga ini bergerak melakukan aksi pada Rabu, 30 Maret 2022 yang diwakili oleh DR.Nurul Huriah, SKM, MKM dan Nina Marliyani, M.Psi terkait sikap Yayasan Perak terhadap RUU TPKS yang rencananya hanya akan diproses kilat dan rencananya akan disahkan pekan depan. Dalam aksi singkat ini, Yayasan Perak mengirimkan Surat Pernyataan Sikap Menolak Disahkannya RUU TPKS dan buku laporan survei kepada 9 Fraksi DPR RI (F-PKS, F-PDI, F-Demokrat, F-PAN, F-PPP, F-PKB, F-Gerindra, F-Golkar, dan Badan Legislasi DPR RI.
Pernyataan Sikap menolak disahkannya RUU TPKS yang ditandatangani oleh Ketua Yayasan Perak Nurwidiana, SKM., MPH selengkapnya kami sajikan di bawah ini.
Pernyataan Sikap Yayasan Perak Menolak Disahkannya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)
Rancangan Undang-Undang (RUU) yang memberikan perlindungan kepada warganegara dari ancaman kekerasan dan kejahatan seksual sangat dinantikan. Kejadian kekerasan/kejahatan seksual yang dialami oleh masyarakat dengan berbagai variasi umur dan jenis kelamin semakin merebak. Kondisi tersebut, bukan saja membawa dampak negatif pada fisik korban, tetapi juga pada aspek psikis. Lembaga Kajian Perempuan, Anak, dan Keluarga (PERAK), sebagai sebuah lembaga yang memiliki perhatian dan kepedulian terhadap kesejahteraan perempuan, tumbuh kembang anak, dan ketahanan keluarga, dalam sebuah survei yang dilakukannya di tahun 2021 pada 1.670 responden dengan sebaran di 32 provinsi, menemukan hampir 20% responden pernah mengalami perilaku terkait seksual yang menyebabkan penderitaan fisik dan non fisik dari orang lain. Selain itu, hampir 50% keluarga, tetangga atau koleganya pernah mengalami perlakuan seksual yang menyebabkan penderitaan fisik dan non fisik.
Pertama tidak diaturnya perbuatan seksual, termasuk perzinahan yang dilakukan atas dasar suka sama suka (sexual consent) yang tidak mengandung kekerasan meskipun bertentangan dengan hukum agama dan norma hukum/nilai nilai hukum yang berlaku di masyarakat.
Yang kedua adalah tidak diaturnya penyimpangan seksual atau hubungan sesama jenis. Padahal banyak kasus penyimpangan seksual yang beriringan dengan terjadinya kekerasan/kejahatan seksual.
DPR RI sebagai lembaga legislatif telah berinisiatif menyusun RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). RUU ini menurut Badan Legislasi DPR RI merupakan upaya pembaruan hukum yang disusun secara komprehensif sebagai upaya mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual. RUU tersebut kemudian menjadi RUU usul inisiatif DPR RI pada 18 Januari 2022. Kami sangat menghargai dan mengapresiasi usulan tersebut.
Namun demikian, menurut kami, ada dua celah yang belum terisi dalam RUU TPKS yang telah diinisiasi oleh Badan Legislasi DPR RI tersebut. Dua celah tersebut adalah sebagai berikut:
♦♦♦ Pertama, kami menilai bahwa RUU TPKS inisiatif DPR RI itu hanya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang mengandung unsur kekerasan. Sementara, untuk perbuatan seksual, termasuk perzinahan, yang dilakukan atas dasar suka sama suka (sexual consent) yang tidak mengandung kekerasan, meskipun bertentangan dengan hukum agama dan norma hukum/nilai-nilai hukum yang berlaku di masyarakat, tidak diatur.
❖ Kedua, penyimpangan seksual atau hubungan sesama jenis (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender/LGBT) tidak diatur dalam RUU TPKS. Padahal banyak kasus penyimpangan seksual yang beriringan dengan terjadinya kekerasan/kejahatan seksual.
Temuan pada survei Survei Persepsi Masyarakat terkait Seksualitas dan Tindak Pidana Seksual Tahun 2021 yang dilakukan oleh Lembaga Kajian PERAK menunjukkan 95,8% masyarakat memberikan persetujuan bahwa perzinaan, dengan atau tanpa kekerasan dianggap sebagai tindak pidana; 96,8% masyarakat memberikan persetujuan bahwa penyimpangan seksual dianggap sebagai tindak pidana; dan 98,4% memberikan persetujuan bahwa pelecehan seksual, perkosaan, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, penyiksaan seksual, perzinaan, serta penyimpangan seksual adalah tindak kejahatan seksual.
Oleh karena itu, kami menolak disahkannya RUU TPKS sebagai undang-undang tanpa melengkapi dua hal tersebut. Kami menilai, jika RUU TPKS disahkan tanpa dua hal tersebut maka akan mengakibatkan semakin maraknya perzinahan di luar perkawinan yang terjadi di masyarakat Indonesia dan perilaku penyimpangan seksual pun semakin tak terbendung. Padahal keduanya dilarang menurut hukum agama-agama yang berlaku di Indonesia. Selain itu, jika dua hal tersebut tidak dapat dicegah melalui undang-undang maka akan membuka peluang terjadinya Indonesia darurat dekadensi moral di masa depan.
Demikian Pernyataan sikap ini kami buat dengan sebenar-benarnya, dengan kesadaran penuh, dan penuh tanggung jawab sebagai bentuk perjuangan kami guna mewujudkan kesejahteraan perempuan Indonesia, tumbuh kembang anak Indonesia yang sehat lahir dan bathin, dan ketahanan keluarga Indonesia yang kuat.
Ketua Lembaga Kajian PERAK
Nurwidiana, SKM, MPH
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.