RUU TPKS , Jalan Berliku Hingga 7 Tahun Masih Abu-abu
Politik | 2023-05-29 15:16:47Mari kita lihat ke belakang, Perjalanan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) memang telah melewati proses yang berlarut tanpa adanya kejelasan tentang pengesahan. Awalnya pada tahun 2012, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menginisiasi pembentukan Rancangan Undang-undang tentang Penghapusan Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Selanjutnya, pada tahun 2014 Komnas Perempuan bersama LBH Apik Jakarta, serta Forum Pengada Layanan (FPL) menyusun draf RUU PKS. Draf tersebut diselesaikan dan diserahkan kepada pemerintah serta Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tahun 2016. Tepat 4 tahun semenjak RUU tersebut diinisiasi. RUU PKS berhasil masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR RI pada tahun 2016. Namun RUU ini baru dibahas pertama kali oleh Badan Legislatif DPR RI pada Oktober 2017. Semenjak pembahasan tersebut jalan terjal yang dilalui semakin terlihat.
Bahkan hingga akhir masa jabatan DPR RI periode 2014-2019, RUU ini tak kunjung diselesaikan. Bahkan RUU ini sempat dikeluarkan Dari Prolegnas Prioritas DPR RI pada tahun 2020 hingga akhirnya RUU ini kembali dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas DPR RI tahun 2021. Hari ini, sudah 7 tahun semenjak draf RUU PKS pertama kali diserahkan kepada DPR RI dan sampai saat ini masih belum ada kejelasan tentang Pengesahan RUU PKS. Bagai terombang ambing dilautan badai tanpa ada kejelasan kapan akan sampai ke daratan.
Presiden Jokowi sering sekali menginstruksikan untuk mempercepat proses pembahasan RUU TPKS di DPR RI. Ia menyerukan pentingnya perlindungan hak korban kekerasan seksual secara hukum. Bahkan presiden turut menyoroti terjalnya jalan yang ditempuh RUU TPKS untuk disahkan menjadi produk hukum. Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Hukum dan HAM bekerja sama dengan Menteri Pembedayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk membentuk gugus tugas khusus untuk mengawal pembahasan RUU TPKS.
MENINGKATNYA KEKERASAN SEKSUAL DI TENGAH MASYARAKAT
Mirisnya, disamping RUU TPKS yang tidak ada kemajuan. Kekerasan seksual di tengah masyarakat terus meningkat. Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2021. 1 dari 11 perempuan mengalami kekerasan fisik ataupun seksual dari pasangan ataupun selain pasangan. Bahkan selama pandemi Covid-19 tahun 2022, angka kekerasan seksual di Ruang Publik meningkat drastis. Dari analisis data survei yang diikuti oleh lebih dari 4 ribu orang yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia, KRPA (Koalisi Ruang Publik Aman) menemukan, 4 dari 5 responden perempuan mengalami pelecehan seksual selama pandemi, dan 3 dari 10 laki-laki mengalami pelecehan seksual. Selain itu, 83% responden gender lainnya (non-binary, transpuan, transpria, dan identitas gender lainnya) menjadi korban. Pelecehan seksual terjadi secara offline maupun online. Pelecehan secara online paling sering terjadi lewat chat, media sosial, dan aplikasi kencan online. Bahkan menurut data Kementerian Pembedayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sudah ada 9.517 jumlah kasus kekerasan seksual hingga pertengahan 2023. Dimana mayoritas korbanya adalah perempuan yaitu sebanyak 8507 orang disusul dengan laki-laki sebanyak 1802 orang. Kekerasan seksual yang terus meningkat telah menjadi urgensi yang harus diperhatikan dan diselesaikan bersama. Sudah waktunya ada produk hukum yang melindungi hak para korban kekerasan seksual dan memberikan hukuman yang setimpal kepada pelaku kekerasan seksual.
DUKUNGAN DAN HAMBATAN
Berdasarkan data survei yang dilakukan oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) sebanyak 98% masyarakat Indonesia merasa RUU TPKS dibutuhkan dan harus segera disahkan karena draf RUU tersebut telah mewakili keresahan mereka tentang kejelasan perlindungan hukum korban kekerasan seksual. Walaupun dengan dukungan sebesar itu, pada nyatanya masih banyak pertentangan antara anggota DPR tentang RUU TPKS. Banyak dari anggota DPR yang berpendapat bahwa RUU TPKS masih bersifat liberal dan belum mengakomodasi nilai agama dan budaya yang merupakan jati diri bangsa. Naskah akademik dan drag yang ditulis oleh Komnas Perempuan belum menyertakan definisi kekerasan seksual dan cakupan luas tindak pidana. Ada yang memandang RUU TPKS mempromosikan seks bebas dan pro LGBT karena tidak mengkriminalkan pelaku perzinahan diluar nikah, perselingkuhan, dan hubungan sesama jenis. Komnas Perempuan sendiri membalikkan bahwa tuduhan tersebut hanya didasarkan pada politik identitas untuk menarik simpati masyarakat menjelang Pemilu. Komnas perempuan juga menilai hubungan seks tanpa kekerasan baik didalam maupun diluar nikah tidak masuk substansi RUU TPKS yang hanya mencakup kekerasan seksual. Sudah ada RKUHP yang sudah memasukkan aturan tentang hubungan perzinahan diluar pernikahan walaupun memang nasibnya sama kontroversialnya.
URGENSI PENGESAHAN RUU TPKS
Rape culture yang masih lekat membudaya dalam masyarakat sangat membahayakan. Budaya pemerkosaan karena memandang perempuan sebagai objek kepuasan seksual pribadi. Munculnya stigma bahwa pemerkosaan muncul karena kesalahan perempuan tersebut diikuti dengan stetement memilukan seperti perempuan tidak seharusnya memakai baju mininalis, tidak boleh berdandan, tidak boleh keluar malam, tidak boleh berada di tempat sepi, tidak boleh hanya berduaan dengan laki-laki, atau perempuan muslim yang tidak menurup auratnya. Semua statement itu seakan menegaskan bahwa perempuan tak mempunyai hak atas tubuh dan hidupnya. Rape culture mengakar dari budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai objek kepuasan dibawah laki laki yang ditempatkan sebagai penakluk dan penikmat objek seksual. Hal tersebut sungguh tidak adil dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Sehingga perlunya sebuah produk hukum yang sah untuk mengakomodasi kepentingan para korban dan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual. RUU TPKS ini juga penting untuk membangun daerah bebas kekerasan dalam institusi ekonomi, agama, pendidikan, budaya, dan pemerintahan. Kekerasan seksual harus segera dihilangkan dengan memberikan hukuman yang jelas bagi pelaku dan perlindungan maksimal bagi para korban. Jangan sampai terulang kembali korban pelecehan seksual menjadi tersangka karena stigma Rape culture yang masih melekat. Hentikan politisasi RUU TPKS hanya untuk keuntungan politisi senayan, mereka adalah wakil rakyat yang sudah seharusnya menyuarakan apa yang dibutuhkan tuan nya (rakyat). Sudah saatnya semua bekerja sama menuntaskan permasalahan ini untuk Indonesia yang lebih aman dan layak ditinggali. Karena setiap makhluk tuhan memiliki hak yang sama dalam mendapatkan perlindungan untuk menjalankan hidupnya sesuai dengan kehendaknya selama tidak melawan tatanan negara dan melakukan tindakan kriminal. Perempuan dan laki laki setara, sehingga budaya patriarki harus segera dimusnahkan dengan kesadaran bersama.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.