RUU TPKS BUKAN SOLUSI KEKERASAN SEKSUAL
Agama | 2021-12-14 22:25:38Setelah dihebohkan dengan kasus bunuh diri seorang mahasiswi yang dipaksa pacarnya melakukan aborsi, publik kembali dikejutkan dengan kasus perkosaan belasan santri di Bandung oleh seorang oknum guru. Pada waktu yang hampir bersamaan terdengar juga berita tentang perkosaan 9 orang santri di Tasikmalaya. Mirisnya perbuatan yang tak senonoh justru terjadi pada lembaga pendidikan yang seharusnya menjaga nilai- nilai akhlak dan moral.
Kekerasan seksual saat ini menjadi mimpi buruk bagi perempuan. Betapa tidak, hampir tak ada ruang aman bagi mereka untuk bebas dari kejahatan ini. Kejadian di atas tampaknya hanya sebongkah gunung es yang mencuat ke atas. Bisa jadi masih banyak kejadian yang tak terpublikasi di media.
Hal ini cukup membuat anggota DPR merasa prihatin. Mereka mendesak agar pelaku harus dihukum seberat-beratnya dan para korban diberikan konseling yang tentunya sangat dibutuhkan. Ketua komisi III, Sahroni menyambut baik draf Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang akhirnya akan segera dibawa ke Paripurna DPR yang nantinya akan dibahas bersama DPR dan pemerintah. Menurutnya, ketika sudah disahkan nanti, para institusi penegak hukum harus segera aktif mensosialisasikan dan membuat aturan turunan yang disesuaikan dengan lembaganya masing-masing. Namun, banyak Organisasi Islam masih meminta DPR agar tidak terburu-buru mengesahkan RUU tersebut,sebab, masih ada beberapa hal yang kontroversial.
Tidak berbeda dengan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021, ternyata, RUU TPKS ini juga bermuatan paradigma sexual consent. Dalam paradigma itu, yang dipersoalkan dalam kasus seksual hanyalah yang dilakukan dengan tanpa persetujuan para pelakunya. Jika dilakukan suka sama suka, maka tidak perlu dipersoalkan. Artinya Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 dan RUU TPKS setali tiga uang yaitu sama-sama berparadigma liberal dan menawarkan penyelesaian a la feminis. Lantas bagaimana mungkin kekerasan seksual akan selesai jika ujung dari RUU ini menyebabkan perzinahan semakin marak?
Menurut feminis, kekerasan yang terjadi pada perempuan akibat terjadi ketimpangan gender. Perempuan berada pada posisi yang marjinal atau terpinggirkan. Oleh karena itu, dalam logika feminis, agar perempuan bebas kekerasan seksual, maka perempuan harus berdaya berdaya secara ekonomi dan politik. Perempuan yang mandiri dalam karir atau punya penghasilan sendiri, maka dia punya bargain di hadapan laki-laki sehingga tidak gampang dilecehkan.
Namun apakah solusi feminis tersebut mampu menghilangkan kekerasan seksual terhadap perempuan ? Justru dengan dengan logika seperti itu, permasalahan kekerasan seksual tidak akan pernah selesai. Masalahnya pemberdayaan ekonomi perempuan justru membuat perempuan berbondong-bondong memasuki ruang publik. Kondisi lingkungan kerja di ruang publik yang kurang kondusif dan serba permisif , membuat perempuan malah rentan menjadi korban pelecehan seksual. Di sisi yang lain, peran publik perempuan yang tanpa batas, menimbulkan persoalan degradasi keluarga seperti perceraian dan rusaknya generasi.
Oleh karena itu, berbagai regulasi yang dibuat untuk menyelesaikan problem kekerasan seksual berujung kegagalan selama kapitalisme liberal menjadi acuan. Tak dapat dipungkiri, merebaknya berbagai tindakan kriminal termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan buah diterapkannya sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Kebebasan bertingkah laku tanpa batasan agama merupakan pokok pangkal berbagai persoalan. Dalam sistem sekuler, seorang guru, dosen bahkan seorang ustadz pun akan bisa tergelincir melakukan perbuatan dosa. Masalah iman dan ketaqwaan akan sulit memperolah penjagaan karena termasuk ruang privat yang tidak boleh diutak-atik. Pelaku memang akan ditindak namun hukuman yang diberikan tidak mempu membawa efek jera. Tak heran kejadian serupa akan terus terulang.
Jelas sekali bahwa penduduk mayoritas muslim di negeri ini membutuhkan solusi Islam. Ada 3 solusi yang penting untuk dilakukan untuk menyelesaikan darurat kekerasan seksual :
Pertama, Iman dan ketaqwaan individu. Seorang muslim menyadari hubungannya dengan Allah ketika akan melakukan perbuatan. Halal dan haram menjadi standar dalam berbuat. Ketaqwaan akan memunculkan rasa takut kepada Allah yang mencegahnya untuk berbuat dosa.
Kedua, kontrol sosial. Masyarakat muslim memiliki budaya amar ma’ruf nahi munkar. Di dalam sebuah hadits, Rasulullah menggambarkan masyarakat seperti sebuah kapal besar yang berisi para penumpang yang saling mengingatkan dan menjaga agar kapal tidak tenggelam.
Dari An Nu'man bin Baysir yang dia berkata, Nabi SAW bersabda,"Kemungkaran adalah bagaikan suatu kaum yang berundi dalam sebuah perahu. Nantinya, ada sebagian berada di bagian atas dan sebagiannya lagi di bagian bawah perahu tersebut. Yang berada di bagian bawah ketika ingin mengambil air, tentu dia harus melewati orang-orang di atasnya. Mereka berkata, "Andai kata kita membuat lubang saja sehingga tidak mengganggu orang yang berada di atas kita."Seandainya yang berada di bagian atas membiarkan orang-orang bawah menuruti kehendaknya, niscaya semuanya akan binasa. Namun, jika orang bagian atas melarang orang bagian bawah berbuat demikian, niscaya mereka selamat dan selamat pula semua penumpang kapal itu."(HR Imam Bukhari no. 2493).
Berdasarkan hadits tersebut seharusnya ketika di lingkungannya banyak terjadi perbuatan maksiyat, masyarakat sigap mengingatkan pelaku kemaksiyatan untuk kembali ke jalan yang benar. Masyarakat tidak boleh berlaku masa bodoh sehingga menyebabkan kejahatan terus merajalela. Sangat disayangkan, dalam kasus pencabulan sekian banyak santri ternyata kontrol sosial antara lembaga pendidikan, para santri, tenaga pendidik dan orang tua santri tidak terjadi sehingga kasus baru terungkap ke ruang publik setelah banyak korban berjatuhan.
Ketiga, peran negara. Di antara ketiga solusi tersebut, negaralah yang sebenarnya memiliki peran yang penting dan strategis untuk melindungi rakyatnya dari predator seksual.
Rasulullah Saw. Bersabda
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Negara akan melakukan fungsi kepengurusan umat secara sempurna melalui sistem pendidikan, sistem informasi komunikasi, sistem ekonomi, sistem pergaulan dan sistem hukum dan sanksi.
Dengan sistem pendidikan Islam, negara akan melahirkan sosok pendidik dan siswa yang bertaqwa dan berkepribadian Islam. Negara juga akan mengatur informasi dan tayangan untuk masyarakat bebas dari konten pornografi dan kekerasan. Dalam bidang pergaulan laki-laki dan perempuan, sejumlah aturan akan diberlakukan lewat undang-undang seperti kewajiban memakai jilbab dan kerudung bagi perempuan di ruang publik, larangan khalwat (bersepi-sepi perempuan dengan laki-laki tanpa disertai dengan mahram), larangan ikhthilat (campur baur laki-laki perempuan), larangan tabarruj (berhias berlebihan bagi perempuan di depan laki-laki non mahram), kewajiban menundukkan pandangan bagi laki-laki dan perempuan, larangan safar perempuan tanpa disertai mahrom, wajibnya perempuan ijin kepada suaminya jika keluar rumah dan lain-lain. Tak hanya itu, negara akan membuat kondusif iklim ekonomi sehingga perempuan tidak perlu bekerja di luar rumah dan tetap dengan tenang menjalankan tugas pertama dan utamanya yaitu sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Dan yang paling penting, negara menerapkan sistem sanksi yang tegas dan membuat jera. Para pelaku pelecehan seksual akan diganjar hukuman cambuk jika belum menikah dan rajam sampai mati jika sudah menikah. Adakah hukum yang adil selain hukum Islam ? Tentu saja semua pelaksanaan syariat Islam akan sempurna jika berada dalam naungan sistem Islam yaitu sistem Khilafah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.