Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Rizqi Aditiya

RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual: Efektif atau Tidak?

Info Terkini | Monday, 29 Nov 2021, 22:02 WIB
Stop Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan

Kekerasan seksual adalah aktivitas seksual paksaan yang dilakukan seseorang tanpa persetujuan atau kerelaan dari orang yang menjadi korban tindakan tersebut. Kekerasan seksual hanya menguntungkan satu pihak saja, dan pihak lainnya dirugikan. Kekerasan seksual ini biasanya membawa kepuasan tersendiri bagi si pelaku. Kekerasan seksual merupakan tindakan tidak manusiawi yg bisa menyebabkan dampak yang fatal untuk si korban salah satunya merusak mental.

Di Indonesia sendiri, kaum perempuan rawan menjadi korban kekerasan seksual. Padahal perempuan juga berhak menikmati dan memperoleh perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan asasi di segala bidang. Banyak ragam persoalan sensitif yang menimpa kehidupan kaum perempuan, antaranya kejahatan kekerasan seksual dan pelecehan seksual. Begitu banyak kejahatan kekerasan yang terjadi dan menimpa kaum perempuan, baik dalam soal pembunuhan, perkosaan, penganiayaan selain apa yang sudah disebutkan di atas. Perempuan sangat rentan menjadi korban kejahatan di bidang kesusilaan

Kekerasan seksual yang sering terjadi pada seorang perempuan dikarenakan banyak orang yang beranggapan bahwa perempuan sebagai makhluk yang lemah dan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan/pelecehan seksual dapat diberikan melalui Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT dan KUHP yang menyangkut ’perkosaan’ Pasal 285 KUHP yang merupakan tindak kekerasan seksual yang sangat mengerikan dan merupakan tindakan pelanggaran hak-hak asasi yang paling kejam terhadap perempuan, juga oleh UU No. 13 Tahun 2006 khususnya dalam Pasal 5, Pasal 8, dan Pasal 9 yang merupakan hak dari seorang perempuan yang menjadi korban.

Kejahatan kesusilaan atau moral offences dan pelecehan seksual atau sexual harassment merupakan dua bentuk pelanggaran atas kesusilaan yang bukan saja merupakan masalah hukum nasional suatu negara melainkan sudah merupakan masalah hukum semua negara di dunia atau merupakan masalah global. Pelaku kejahatan kesusilaan dan pelecehan seksual bukan dominasi mereka yang berasal dari golongan ekonomi menengah atau rendah apalagi kurang atau tidak berpendidikan sama sekali, melainkan pelakunya sudah menembus semua strata sosial dari strata terendah sampai tertinggi.

Melihat maraknya kasus pelecahan seksual yang terjadi, maka dari itu pihak berwenang membuat rancangan undang-undang yang membahas tentang kasus pelecehan seksual beserta sanksi-sanksi yang akan didapatkan pada pelaku kejahatan seksual.

Pada tahun 2015, inisiatif untuk membentuk dan mengesahkan suatu Rancangan Undang-Undang untuk penghapusan kekerasan seksual pun muncul. Gagasan ini pun membuahkan suatu hasil, yaitu Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Akan tetapi, pengesahan undang-undang ini terus mengalami penundaan dikarenakan beberapa hal. RUU PKS sendiri dinilai merupakan seperangkat ketentuan hukum yang dapat menjamin hak-hak para korban, sehingga urgensi untuk mengesahkan ketentuan ini sangat tinggi. Indonesia juga mulai menggencarkan pembahasan untuk mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang selama ini pembahasannya mengalami kebuntuan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang selama ini masih merupakan warisan Kolonial Belanda membuat para legislator berinisiatif untuk mengesahkan RKUHP yang masih dalam tahapan pembahasan. Pada akhir 2017, muncul beberapa kontroversi yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam RKUHP terkait kejahatan asusila berpotensi menaruh para korban, khususnya perumpuan, dalam posisi yang tidak menguntungkan, bahkan berpotensi untuk mengkriminalisasi korban.

Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) merupakan suatu upaya pembaruan hukum dalam mengatasi berbagai persoalan terkait kekerasan seksual. Pembaharuan dalam bentuk hukum ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Melakukan pencegahan terhadap terjadinya peristiwa kekerasan seksual.

2. Mengembangkan dan melaksanakan mekanisme penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang melibatkan masyarakat dan berpihak pada korban, agar Korban dapat melampaui kekerasan yang ia alami dan menjadi seorang penyintas.

3. Memberikan keadilan bagi korban kejahatan seksual, melalui pidana dan tindakan tegas bagi pelaku kekerasan seksual.

Kehadiran Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sejatinya untuk mengatasi kendala aturan yang belum menjangkau kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan tersebut. Selanjutnya, Badan Legislatif DPR RI mengubah nama RUU PKS ini menjadi RUU TPKS (Tindak Pidana kekerasan Seksual). Draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang dipresentasikan pada 30 Agustus 2021 dirumuskan dengan judul “RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.” Rumusan judul ini menunjukkan keselarasan dengan sistematika UU pidana khusus internal dalam keseluruhan bangunan RUU ini, sekaligus menegaskan bahwa “Kekerasan Seksual” merupakan “Tindak Pidana” (criminal act, strafbaarfeit, delik, perbuatan pidana.). Pilihan pidana khusus internal tidak akan menghilangkan pencegahan dan perlindungan korban kekerasan seksual.

Kekerasan seksual diartikan sebagai tindakan kekerasan, menyakiti, menghina, merendahkan tubuh atau fisik seseorang karena adanya keterpaksaan dan ketimpangan relasi gender atau yang lainnya serta tidak adanya kuasa bebas atas tubuhnya sendiri.

Terdapat beberapa fakta yang sudah terjadi seperti contohnya pada Kasus Agni, seorang mahasiswa UGM yang mengalami pelecehan seksual ketika menjalani KKN di Pulau Seram pada tahun 2017. Kasus yang menimpa agni baru dapat terselesaikan secara kekeluargaan setelah hampir 2 tahun setelah kejadian pemerkosaan. Jalan ini diambil karena dirasa lebih mampu memenuhi hak-hak Agni sebagai korban dan menghindari potensi kriminalisasi terhadap Agni.

Kasus selanjutnya ialah adanya kasus kekerasan oleh laki-laki terhadap perempuan yang berawal dari sepasang laki-laki dan perempuan yang telah tinggal serumah dengan nikah siri. Pengeluaran dan pemasukan pasangan ini mereka atur secara bersama-sama, dimana pemasukan perempuan secara ekonomi lebih banyak dari pada laki-lakinya. Adanya ketimpangan masukan ekonomi memicu terjadinya konflik yang berujung kekerasan terhadap perempuan.

Dilihat dari kasus yang telah terjadi, dapat dikatakan bahwa urgensi RUU ini untuk segera disahkan karena dapat kita lihat bahwasanya jumlah kasus kekerasan di Indonesia yang selalu mengalami peningkatan, dengan pihak perempuan yang banyak dirugikan karena seringkali menjadi korban. Indonesia memerlukan Undang-Undang yang khusus mengatur tentang kekerasan seksual. Sehingga Undang-undang tersebut nantinya dapat menekan angka kekerasan seksual, memberikan penegakan terhadap kasus kekerasan seksual yang sering kali tidak berperspektif terhadap korban serta sebagai upaya memperoleh keadilan bagi korban yang sampai saat ini belum terbuka lebar..

RUU ini menjadi penting dengan belum adanya undang-undang yang mampu memberikan perlindungan terhadap kekerasan seksual. Kekosongan yang hadir dari segala peraturan yang ada memerlukan undang-undang yang dapat melengkapi dengan sifatnya yang khusus mengatur dan membawahi segala bentuk kekerasan seksual. Sehingga keberadaan undang-undang yang mengatur secara khusus tentang kekerasan seksual menjadi sangat penting untuk memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi korban kekerasan seksual dalam jangkauan yang lebih sempurna . Lalu yang akan menjadi permasalahan nanti, apakah dengan pengesahan RUU ini akan menjadi efektif atau tidak?.

Berdasarkan pembahasan tersebut, dapat saya katakan sebagai berikut. Pertama Bahwasanya pengesahan RUU ini harus segera disahkan sebagaimana yag telah kita amati tadi bahwa maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia ini. Kedua RUU ini dapat diprediksi kurang efektif dikarenakan kesiapan dari aparat penegak hukum yang harus mendapat beban tugas yang tidak ringan ini.

Dengan demikian penulis dapat memberikan saran bahwa RUU ini wajib mengatur tentang kewajiban dan larangan bagi aparat penegak hukum yang menangani kasus kekerasan seksual, terutama kewajiban untuk memberikan kepastian terhadap korban agar mendapatkan pendampingan selama menjalani proses hukum dari pendamping yang memiliki pengetahuan dan keahlian tentang penanganan korban yang bersudut pandang HAM dan gender. Selain itu bagi aparat penegak hukum untuk dapat memahami dengan benar tugas dan kewajiban sebagaimana yang diatur dalam RUU TPKS ini sehingga proses penegakan hukum akan dapat berjalan secara efektif.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image