Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Taufiq Saptoto Rohadi

Guru Stroberi, Jadilah Anomali!

Guru Menulis | 2022-03-31 10:25:03
ANOMALI: Tantangan revolusi industri 4.0 adalah transformasi yang terus menerus. Guru Generasi Z harus menjadi anomali di tengah segala tantangan teknologi. foto: SD A Bukit Akasia

Oleh: Taufiq Saptoto Rohadi

Apakah tidak ganjil jika kualitas pendidikan Indonesia diklaim terbelakang sedangkan setiap tahun pelajar Indonesia membawa pulang medali emas olimpiade sains? Ketika survei Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mengumumkan hal ini pada 2016, media massa ramai-ramai menjadikannya berita utama. Para pejabat pembuka acara literasi mengulang-ngulang informasinya sampai hafal di luar kepala.

Pesimisme bertambah sewaktu Program for International Student Assessment (PISA) 2018 untuk kesekian kali menempatkan pelajar Indonesia di kisaran sepuluh besar dari bawah. Selalu di peringkat 70-an dalam event tiga tahunan yang mengukur kemampuan 600 ribu anak berusia 15 tahun dari 79 negara itu.

Lagi-lagi, informasi ini menjadi “lead” berbagai macam acara bertema literasi namun tidak kunjung memberi solusi. Hanya sedikit orang yang kritis perihal parameter survei. Rupanya, indikator yang dipakai dalam survei PISA adalah kemampuan membaca, matematika, dan ilmu pengetahuan.

Lebih dari satu dekade, kemampuan membaca pelajar Indonesia dinilai rendah dibanding penduduk dengan usia sama di negara-negara lain. Ini lebih aneh lagi. Sebab, di Indonesia anak-anak pra-SD sudah fasih membaca dan menulis.

Tentu saja hal itu merupakan “malpraktik” kurikulum. Namun, kenyataannya sangat banyak guru lembaga pra-SD, baik secara nyata ataupun sembunyi-sembunyi, mendesak kemampuan baca, tulis, dan berhitung kepada anak didiknya.

Bukankah seharusnya kita bisa mengklaim, pelajar Indonesia punya kemampuan membaca sangat baik karena mereka sudah terbiasa melakukannya sejak pra-SD?

Ditambah lagi, Pemerintah RI melalui kemdikbud.go.id, merilis persentase buta aksara penduduk Indonesia pada 2020 hanya 1,71%, atau 2.961.060 orang. Jadi, di mana letak masalahnya?

Kesalahan mendasar itu bermula dari makna membaca itu sendiri. Orang Indonesia, di atas kertas, 90 persen telah melek huruf. Tetapi, esensinya baru sebatas mengeja belum memahami. Ini alasannya mengapa sewaktu bertemu teks kompleks, banyak yang kesulitan mengambil intisari, apalagi mempresentasikannya kembali.

Dalam Taksonomi Bloom, tiga struktur terbawah kemampuan berpikir adalah menghafal, memahami, dan menerapkan. Survei PISA bersimpulan, kemampuan rata-rata pelajar Indonesia ada di kategori ini. Bahkan urutan terbawah dari ketiganya yakni menghafal. Masih jauh dari tiga keterampilan berpikir tingkat atas yakni menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasi.

Lalu siapa yang membuat para pelajar itu sibuk menghafal alih-alih memahami jika bukan para guru?

Guru masa kini tengah mengarungi era berjejal narasi moody, depresi, insecure, overthinking, dan sedikit-sedikit butuh healing. Guru generasi baru dan murid-murid yang mereka didik sekarang ini sama-sama generasi Z: adik-adik generasi Y alias Milenial.

Mereka dilabeli Generasi Stroberi. Lahir tahun 1996 sampai 2010 dari orangtua para pekerja keras yang lahir sebelum 1980: Generasi X. Bertumbuh dalam banyak kemudahan, fasilitas lebih baik, mereka bisa bereksplorasi dan menciptakan hal-hal baru yang menakjubkan. Mereka pencipta start up, mendominasi profesi kreatif, menciptakan karakteristik sendiri. Mereka eksotik, penuh warna, manis, seperti stroberi.

Pada sisi lain, stroberi adalah buah yang rapuh, mudah remuk, tidak kokoh. Begitu juga sisi lain generasi baru ini. Apakah semua guru generasi Z adalah “stoberi”? Tentu saja selalu ada anomali. Agar tidak ikut-ikutan gemar mendiagnosis diri sendiri sebagai penderita masalah kesehatan mental, supaya tidak cepat lelah menghadapi masalah, agar lebih peka soal etika, guru Generasi Stroberi harus menjadi anomali.

Anomali yang dimulai dengan mengerti bahwa kunci dari literasi adalah memahami. Guru yang sudah mahir memahami, dia bisa menerapkan apa yang dia baca. Pada level selanjutnya, dia mampu menganalisis, melakukan evaluasi, untuk kemudian berinovasi dalam berkreasi.

Mengejar Ketertinggalan

Guru Indonesia bukan tidak punya program untuk berusaha mengejar ketertinggalan literasi yang mencolok ini. Kenyataannya, kerap ada program Kemendikbud yang secara konsep baik. Namun, tiba pada pelaksanaan jadi terbolak-balik. Salah satunya, Gerakan Literasi Sekolah atau GLS.

Di luar aktivitas membuka buku lima belas menit sebelum bel pertama berbunyi, jarang guru mengerti bahwa kegiatan itu baru satu di antara tiga tahapan yang tujuan akhirnya membentuk kepribadian pembelajar seumur hidup.

Kebanyakan praktik GLS masih jalan di tempat. Terhenti pada pembiasaan, dan tidak melangkah ke mana-mana. Seperti yang sudah-sudah, program bagus diimplementasikan guru dengan prinsip ‘yang penting ada” atau “daripada tidak ada sama sekali.” Padahal, beberapa hal bisa jadi lebih bagus “tidak ada sama sekali” dibanding “sekadar basa-basi.”

GLS pada setiap tingkatan sekolah mestinya diterapkan dengan cara yang berbeda. Kunci literasi itu memahami, sedangkan tanda memahami itu, ketika seseorang mampu menceritakan kembali. Sebaik apa, sevalid apa dia mengintepretasi lalu menceritakan kembali informasi yang “dibaca”, setingkat itulah pemahamannya.

Dengan demikian, guru anomali di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) misalnya, mesti mengajari anak didiknya membaca bukan mengeja. Artinya, guru mendampingi anak didik untuk mengamati, mendengarkan, menyimak, melihat, mengalami sesuatu. Apa pun itu. Bahkan jika yang anak-anak lakukan adalah menangkap kupu-kupu. Sewaktu dia pulang sekolah lalu bercerita kepada ayah ibunya pengalaman menangkap kupu-kupu, dia sudah membaca sekaligus menulis dengan pemahaman yang benar.

Pada tingkat Sekolah Dasar (SD), guru anomali bisa menambahkan pendekatan interaksi anak didik dengan buku sederhana, orang di sekitar sekolah, dan media audio visual. Jika para siswa nyaman melakukannya, penuh semangat menceritakan pengalamannya, artinya, mereka sudah benar-benar membaca.

Begitu juga dengan apa yang bisa dilakukan guru di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) maupun Sekolah Menengah Atas (SMA). Prinsipnya sama, kompleksitasnya yang berbeda. Guru anomali bisa mendampingi anak didik untuk melakukan riset atau observasi yang menjadi tahapan pramenulis.

Inilah proses mereka membaca. Jika anak didik mampu menuliskan hasil riset, besar kemungkinan mereka memahami dengan baik apa yang mereka kerjakan. Mereka akan semakin banyak melibatkan referensi. Tidak cukup buku, mereka akan melakukan observasi lapangan, menemui narasumber, melakukan investigasi mendalam. Itu mirip dengan cara kerja wartawan. Ini alasannya, mengapa seorang wartawan sangat terlatih untuk menuliskan segala hal. Wartawan Bondrex adalah sebuah pengecualian.

Jadi, peran guru dalam GLS mesti menyeluruh. Bukan sebatas melakukan rutinitas membaca buku yang, kalau mau jujur, tidak juga menjadi rutinitas yang sesungguhnya. Objek yang harus dibaca bukan hanya teks buku, tetapi segala hal.

Jika guru mampu melakukan ini, maka literasi setiap pelajar Indonesia akan sangat berkembang. Sudut pandang mereka terhadap tulisan, kejadian, bahkan manusia, akan menajam. Itu hanya bisa dimulai oleh eksplorasi para guru anomali. Mereka yang mungkin termasuk Generasi Stroberi, tapi memilih untuk menjadi anomali.

(Penulis adalah guru Sekolah Dasar Alam Bukit Akasia, Sumedang)

#GuruMasaKini

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image