Guru Masa Kini, Guru Adaptif dan Kreatif
Guru Menulis | 2022-03-30 21:36:51Tanpa belajar, kita akan terperangkap hidup di masa lalu. Begitu kata Prof. Rhenald Kasali, PhD.
Terperangkap hidup di masa lalu karena ketidakberdayaan dan keterbatasan sarana belajar itu sangat menyedihkan. Tetapi jauh lebih menyedihkan lagi ketika seseorang terperangkap di masa lalu karena memang tidak mau belajar walau sarana dan kesempatan itu ada.
Hal itu ibaratnya seorang yang sedang haus di tengah-tengah luapan air. Atau seperti tikus yang mati kelaparan dilumbung padi yang berlimpah makanan.
Bagi siapa pun, belajar sesungguhnya adalah sebuah keniscayaan.
Sebab, kehidupan itu terus mengalami proses. Sementara pengetahuan itu terus berdinamika. Apa yang telah kita pelajari sebelumnya, belum tentu sepenuhnya relevan dengan saat ini. Begitu halnya yang kita pelajari saat ini, belum tentu sepenuhnya relevan pada masa yang akan datang.
Artinya, memiliki sikap pembelajar dari waktu ke waktu itu mutlak adanya. Diharapkan dengan hal itu kita akan tetap relevan dengan kehidupan yang ada sekarang dan pengetahuan kita terus berkembang sesuai kebutuhan saat ini juga.
Perlu digarisbawahi, bahwa pembelajaran yang saya maksudkan di sini tentu berbeda antara belajar seorang anak dengan seorang yang dewasa.
Belajar anak-anak umumnya belajar dari ketidaktahuannya menjadi suatu pengetahuan dan pengalaman baru. Tetapi bagi orang dewasa pengetahuan dan pengalaman yang sudah pernah didapatkan sebelumnya hendaknya ada pemhabaruan lagi di sana.
Mengutip sebuah pernyataan pernah disampaikan oleh Alvin Toffler (seorang futurolog Amerika Serikat), “The illiterate of the 21st century will no be those who cannot learn, unlern, and relearn.”
Artinya, bahwa mereka yang buta huruf pada abad 21 sesungguhnya bukan mereka yang tidak bisa membaca dan menulis, tetapi mereka yang tidak dapat belajar, mereka yang tidak dapat melepaskan pelajaran yang sudah usang, dan mereka yang tidak mencoba belajar kembali.
Guru tentu tidak terkecuali dengan hal itu.
Guru harusnya belajar lagi. Sekali lagi belajar yang saya maksudkan bukan seperti belajar untuk anak-anak, yang ingin belajar pengetahuan dan pengalaman baru semata. Tetapi guru harus menyelaraskan kebutuhan belajar sesuai dengan relevansi pendidikan sebuah masyarakat atau bangsa yang kekinian.
Barangkali, tidak ada yang dapat menyangkal, bahwa guru itu bukan sosok yang tidak pernah belajar atau kurang belajar. Untuk menjadi guru saja, sudah barang tentu belajar sesuatu yang dibutuhkan untuk mengajar, utamanya yang berhubungan dengan disiplin ilmu masing-masing ketika masih duduk di bangku perguruan tinggi.
Tetapi kita tahu bersama bahwa zaman terus berubah, maka seorang guru pun harus mengalami “unlern” dan “relearn” seperti yang disampaikan oleh Alvin Toffler tersebut. Guru harus terus berbenah diri.
Kalau tidak demikian, maka guru tidak memiliki kekuatan untuk mengajar anak didiknya. Bisa-bisa apa yang diajarkannya semata mengajarkan masa lalunya saja dan tidak relevan dengan situasi yang sedang dan akan dihadapi oleh anak didik di masa yang akan datang.
Bukankah seorang guru sejatinya ikut berjalan bersama anak didiknya dan mengantarkannya ke depan pintu gerbang masa depan anak didiknya?
Permasalahannya, bagaimana seorang guru dapat mengantarkan anak didiknya ke masa depan kalau tidak mengetahui kira-kira seperti apa masa depan anak didik tersebut?
Dengan belajar lagi, seorang guru setidaknya memahami kebutuhan masa depan anak didiknya. Serta akan bisa memperkirakan seperti apa kehidupan di masa yang akan datang.
Nah, selain itu, kita menyaksikan sendiri bahwa dunia pendidikan itu memang terus mengalami perubahan. Misalnya saja, kurikulum tidak pernah berhenti berubah dan senantiasa berkembang. Cara pembelajarannya apalagi.
Saya jadi teringat kalau dulu saya masih pernah mengajar dengan kapur tulis, berikutnya menggunakan spidol dan OHP, disusul dengan pembelajaran yang didominasi dengan memanfaatkan presentasi melalui Power Point (PPT).
Sekarang, khususnya di masa pandemi Covid-19 ini, jauh lebih berkembang lagi. Ada banyak aplikasi yang digunakan untuk melakukan pembelajaran daring.
Pemaparan singkat tentang berbagai perubahan tersebut, menyimpulkan bahwa guru itu memang harus adaptif dan terbuka dengan berbagai gelombang perubahan. Bahkan harus berselancar di atas gelombang perubahan tersebut. Caranya, tentu dengan cara belajar lagi (relearn).
Begitu halnya dengan kreativitas seorang guru dituntut terus berkembang. Bisa kita bayangkan kalau guru di masa pandemi Covid-19 ini hanya mengajar dengan cara monolog dari awal hingga akhir, betapa membosankannya proses pembelajaran tersebut.
Tentu guru masa kini, baik itu yang berasal dari Generasi X maupun Generasi Y (milenial) yang notabene mendominasi keberadaan guru saat ini, tentu tidak kekurangan bahan pembelajaran yang berhubungan dengan teknologi yang kekinian. Ada banyak video pembelajaran yang dapat kita temukan di internet.
Bahkan di era pandemi Covid seperti sekarang ini, ada banyak instansi atau lembaga yang menyediakan pembelajaran atau webinar secara gratis untuk pengembangan diri para guru. Jadi, tinggal kemauan dan kemampuannya perlu digerakkan.
Kita para guru masa kini, hendaknya kita melakukan “unlearn” dan “relearn” melakukan pembelajaran yang kontekstual dan aplikatif. Tentu dengan sebuah semangat yang adaptif dan kreatif. Bukan begitu? (TS)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.