Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Galih Pranata

Guru Masa Kini Membawa Filsafat Klasik Stoikisme ke dalam Kelas Sejarah

Guru Menulis | Tuesday, 29 Mar 2022, 16:36 WIB

Oleh : Galih Pranata (Pengajar Sejarah di SMA Al Islam 1 Surakarta)

Ilustrasi Epicetus dalam pembelajaran sejarah di SMA Al Islam 1 Surakarta (sumber: Galih Pranata)

Entah bagaimana sejarah mulai dicatat hari ini. Pendidikan dewasa ini memasuki fase-fase sulit dengan adaptasi-adaptasi pembelajaran menggunakan paradigma baru di masa pandemi.

Sebisa mungkin, menjadi seorang guru, saya berupaya menawarkan pelbagai solusi untuk dihadirkan sebagai alternatif pembelajaran yang paling efektif untuk dapat mendidik siswa dengan baik.

Masalah pandemi Covid-19 belum rampung sepenuhnya, sehingga kebijakan hybrid learning —pembelajaran daring dan luring, menjadi kebiasaan baru yang harus ditempuh guru, siswa, dan semua pemangku kepentingan di sekolah.

Sekembalinya siswa dari pembelajarannya di rumah, agaknya ada yang hilang dari kebiasaan mereka. Ya, pembelajaran daring mungkin bisa saja berhasil mendorong siswa untuk belajar, tapi tidak dengan ajaran moral yang merupakan tugas guru sebagai pendidik.

Seakan siswa kehilangan kepekaannya dengan lingkungan belajarnya, sebagaimana tidak pernah terjadi sebelum masa pandemi. Rasa kepedulian siswa dan kepekaannya seakan meluntur, marwah pembelajarnya perlahan menghilang entah kemana.

Melongok ke lorong panjang sekolah, dari kejauhan terlihat beberapa siswa berjalan, hendak berpapasan dengan gurunya, namun (mungkin) karena tidak diajar, siswa seolah tak mengenalnya dan melintas begitu saja.

Saya telah melakukan diskusi ringan dengan guru-guru senior yang telah lama mengenyam asam garam sebagai pendidik. Mereka pun menyadari akan adanya perubahan mentalitas dan moralitas dalam diri siswa.

Adanya urgensi tentang pemulihan sikap respect siswa mengingatkan saya pada cara-cara klasik filsuf yang sohor di zaman Yunani Kuno. Epicetus pernah mengungkap tentang Dikotomi Kendali dalam Stoicism-nya (Stoikisme) sejak abad ke-3 SM.

Keluhuran pemikiran Epicetus menyandarkan pandangannya tentang Momento Mori (mengingat kematian) dalam filsafat Stoikisme. Dengan mengingat mati, Epicetus menegaskan bahwa kehidupan manusia harus dimanfaatkan sebaik mungkin dengan perilaku yang baik dan bajik.

Mati dalam kebaikan adalah pencapaian penting yang harus disadari oleh seseorang, sebagai bekalnya di kehidupan selanjutnya.

Terngiang akan filosofi Epicetus, saya mencoba mendudukkan para siswa dengan suasana yang berbeda. Pelajaran sejarah kala itu tak diselenggarakan di kelas. Saya mengajak siswa ke perpustakaan untuk memberikan suasana baru dalam belajar mereka.

Di sela pembelajaran, saya berbicara dengan nada sedikit serius, menunjukkan bahwa pembelajaran memasuki segmen baru, sebuah transmisi pesan yang urgent untuk didengar para siswa.

Saya menunjukkan filosofi Stoikisme dan Epicetus sebagai filsuf yang gagasannya mengalir deras dalam pembelajaran kala itu.

Meneladani pemikiran Epicetus, siswa harus lebih tepat dalam berperilaku, mengendalikan diri mereka, melakukan tindakan-tindakan yang baik dalam kehidupan mereka, sebagai upaya mempersiapkan bekal bagi kehidupan mereka kelak.

Tidak begitu jauh bagi kehidupan mereka selanjutnya, saya memberi simulasi tentang kebaikan yang harus mereka tanamkan sejak detik ini, adalah kebaikan-kebaikan yang akan mereka tuai di hari depan.

Kebajikan yang harus ditanamkan siswa serta yang perlu mereka sadari adalah dengan pengendalian diri dan social-respect.

Pengendalian diperlukan sebagai bentuk meredam hal-hal yang bersifat ego atau keegoisan. Saya bertanya tentang hal yang mereka lalui semasa pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi:

"Coba sebutkan, apa saja yang kalian lakukan selama masa pandemi?"

Kebanyakan dari mereka menyebut kebiasaan yang terikat erat dengan kecenderungan aktifitas bersama gadget (gawai).

Egoisme siswa dan kecenderungannya terhadap gawai, membuat mereka semakin terlena. Yang dikhawatirkan agaknya terjadi, di mana mereka mulai kehilangan social-respect utamanya di lingkungan sekolah.

Penekanan terhadap pengendalian diri dimulai dari pembatasan gadget saat pembelajaran, di mana gawai dibatasi untuk mengurangi ketergantungan. Selebihnya, refleksi disampaikan kepada siswa dengan narasi:

"Cobalah mencari kegiatan di luar yang menyenangkan dengan tanpa gadget, olahraga atau sekadar berjumpa dengan sekitar rumahmu, matikan hp-mu, dan keluarlah mencari kebahagiaan tanpa gawai!"

"Mata kita perlu nutrisi bukan malah terus-menerus dihantam radiasi," ujar saya kepada segenap siswa. Narasi yang tidak mengancam, lebih kepada refleksi agar bisa tertanam.

Selain menimbulkan lunturnya social-respect karena kecenderungan yang ditimbulkan, seperti mengeksklusifkan diri dari dunia nyata, siswa juga perlu kesadaran akan kesehatan matanya. Edukasi tentang bahayanya radiasi terhadap mata kita.

Siswa diberikan pengertian dengan pendekatan Intensif lewat diskusi di dalam pembelajaran sembari diselingi dengan candaan ringan agar pembahasan lebih mengalun meski sedikit serius.

Pembelajaran sejarah di perpustakaan SMA Al Islam 1 Surakarta (sumber: Perpustakaan SMA Al Islam 1 Surakarta)

Pengendalian diri siswa terhadap gawainya secara implisit juga bertujuan untuk menghindarkan pengaruh dan kecenderungan negatif pada anak usia remaja. Generasi post-mileniars yang disebut Csobanka (2016) sebagai generasi Z, adalah mereka yang terlibat dengan rasa ingin tahu untuk mencoba hal-hal baru.

Self-control (kendali diri) menjadi penting agar siswa dapat membentuk dirinya sebagai pribadi yang positif yang kerap terlibat dalam perilaku baik, serta membentengi diri dari perilaku negatif.

Selebihnya, social-respect mulai dibangun dengan menanamkan kepekaan sosial dengan masyarakat dan lingkungan sekolah. Siswa perlu untuk menghormati para guru dan menghargai siswa lain, dimulai dari menyapa hingga bercengkrama.

Begitu juga dengan rasa memiliki yang harus ditanamkan sebagai bentuk pengendalian diri terhadap lingkungan. Siswa perlu menjaga lingkungannya dengan membersihkan dan tidak menyebabkan lingkungan menjadi kotor, apalagi merusak sarana dan prasarana sekolah.

"Kebaikan tidak selamanya mengenai hubungan kita dengan orang lain, tetapi juga diri kita dengan lingkungan sekitar. Pembiasaan ini yang akan jadi energi positif dan kebaikan bagi kita di kemudian hari," ujar saya dalam merefleksikan Stoikisme pada pembelajaran.

Sambil mentransmisi nilai-nilai, saya mengisahkan tentang hidup Epicetus yang berasal dari seorang budak yang dihinakan.

Epicetus muncul sebagai pribadi yang positif lagi bijak karena kebaikan yang selalu ia tanamkan dalam hidupnya. Tak heran, namanya dikenal sebagai filsuf yang pemikirannya masih relevan sampai hari ini.

Sebagaimana Epicetus dengan pendekatan personalnya, ia kerap mengajarkan filosofinya kepada orang di dekatnya, merangkulnya sebagai pembelajar, dan memberikan kisah yang merefleksi.

Selepas belajarnya, pendekatan siswa secara personal juga menjadi kunci untuk dapat menanamkan nilai-nilai reflektif agar dapat dicerna siswa dengan baik, dan diimplementasikan siswa dalam kehidupan sehari-hari.

Tepat beberapa hari berikutnya, melihat seorang siswa yang tempo lalu saya rangkul dan sampaikan pendekatan filosofis, ia telah melakukan yang seharusnya, filosofi Epicetus mulai bekerja!

Siswa mulai menyapa guru, bercengkrama dengan kawan-kawannya, dan peduli terhadap lingkungan sekolahnya. Inilah pembelajaran sejarah, belajar dari Epicetus untuk menjadi seseorang yang bijaksana.

Akhirnya, sebagai guru, saya juga perlu belajar untuk merefleksi diri dari Stoikisme, sampai tertanam selalu dalam tekad diri sebagaimana yang Epicetus ajarkan tentang 'mencintai takdir':

"Mendidik siswa selama pandemi bukanlah sesuatu yang mudah, tapi mencintai pekerjaan dan nasib yang telah dijalani (sebagai guru) adalah kendali menuju kebaikan, kebermanfaatan dan kebahagiaan diri."

**

Daftar Pustaka: Csobanka, Zsuzsa Emese (2016). The Z Generation. Acta Technologica Dubnicae. 6(2), pp.63-76

#GuruMasaKini

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image