Tidak Sekadar Mengajar: Guru Masa Kini Membuat Pelajar Menjadi Penulis Buku
Guru Menulis | 2022-03-22 17:36:19Tidak sekadar mengajar bagi guru adalah nilai tambah. Apalagi guru masa kini yang dituntut untuk lebih kreatif, baik dalam pengajaran maupun pengembangan potensi peserta anak didik.
Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Dalam mencapai tujuan pendidikan nasional tentunya diperlukan upaya strategis dalam mengembangkan potensi yang ada pada peserta didik.
Disebutkan dalam pasal 3 tersebut tentang fungsi mengembangkan kemampuan, di mana setiap manusia memiliki potensinya masing-masing, dan negara memiliki tanggungjawab yang besar terhadap pengembangan kemampuan potensi melalui dunia pendidikan. Dunia pendidikan menjadi instrumen penting dalam meningkatkan taraf hidup sebuah bangsa yang beradab dan bermartabat demi kesejahteraan rakyat.
Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai amanah Undang-Undang, dan menghormati jasa para pendahulu bangsa yang telah membangun dasar negara di atas kepentingan golongan-golongan, maka peran pendidikan menjadi syarat mutlak dan utama. Dan, salah satu yang dilakukan penulis selain mengajar adalah dengan memfasilitasi mereka untuk mengembangkan karya tulis, terutama mengapresiasi mereka untuk berani membuat buku, baik dalam bentuk fiksi maupun non fiksi.
Budaya menulis buku seyogyanya bisa dilakukan siapa pun, termasuk pelajar. Dengan menjadi penulis buku, mereka akan tergerak untuk menjadi pembaca yang baik. Hal tersebut tentunya akan mendorong kekayaan literasi bangsa kita semakin meningkat. Dampak lain adalah dengan memaksimalkan potensi mereka sejak dini, maka juga akan berpengaruh besar terhadap pola pikir dan kemampuan mereka dalam pengembangan sumber daya manusia yang unggul dan berprestasi.
Terbukti buku pertama yang berjudul “Santri Menulis Santri Juara” yang diterbitkan pada tahun 2015, mampu memotivasi adik angkatnya di sekolah untuk senantiasa menulis, dan salah satu kelanjutannya adalah terbitnya buku “Lingkar Sajadah” tahun 2017. Hal tersebut menggambarkan bahwa pelajar juga memiliki kemampuan dalam mengembangkan karya tulis mereka, dan hal tersebut akan membuat rasa percaya diri mereka meningkat.
Untuk itu perlu dilakukan sebuah upaya dalam meyakinkan dunia pendidikan dan khalayak umum agar senantiasa mengembangkan potensi budaya menulis bagi pelajar, terutama menulis buku. Karena hal tersebut, bukanlah hal yang sukar untuk dilakukan, semua bisa melakukan, asalkan ada ke-mau-an.
Terbiasa Menulis
Dalam setiap ajaran baru, pasti akan bertemu dengan varian-varian baru permasalahan dari pelajar. Tapi jangan khawatir, permasalahan bisa jadi sumber inspirasi, karena dengan permasalahan yang diketemukan akan semakin tertantang untuk mencari solusinya. Rasa ingin tahu, perkembangan maupun perubahan adalah cita rasa yang harus dikembangkan oleh seorang pendidik.
Pada dasarnya ajaran untuk menulis sudah ada, dan hampir setiap pembelajaran dilakukan. Misalnya, ketika para pelajar diajarkan membuat tugas cerpen, puisi, esai, karangan bebas maupun tugas karya ilmiah. Tugas-tugas tersebut, jika dikumpulkan jadi satu dan dibuat menjadi buku, maka akan menjadi kenangan terindah bagi pelajar nantinya, dan tentunya pendidik akan mendapatkan kepuasan tersendiri tatkala melihat mereka berhasil membuat buku.
Mungkin seringkali pendidik menyarankan, menyuruh, dan bahkan mewajibkan para pelajar untuk senantiasa membaca dan membaca. Akan tetapi, bahan bacaan seringkali membuat mereka tidak sejalan dengan jalan pikiran mereka, entah apa karena buku bacaan tersebut tidak menarik atau buku bacaan tersebut membuat mereka pusing.
Wajar saja itu terjadi, karena mereka tidak tahu betapa sulitnya menyusun paragraf demi paragraf, atau mengarang sebuah kalimat di buku. Akan tetapi jika mereka sudah belajar membuat buku, maka mereka pun akan menghargai betapa pentingnya tulisan atau kata-kata yang berada di atas selembar kertas. Dengan membiasakan mereka menulis, maka otomatis mereka akan terbiasa untuk membaca.
Dibalik Buku Santri Menulis Santri Juara
Menang bukanlah tujuan kami dalam mengikuti kompetisi. Sangat naif jika apa yang diperjuangkan hanya seputar kemenangan yang berbentuk materi. Tujuan kompetisi adalah untuk mengasah kemampuan, dan mencari sampai titik batas ketidakmampuan mereka. Santri tentunya memiliki ciri khas tersendiri dalam menemukan batas tersebut. Ada yang berbeda ketika menangani mereka. Segalanya terasa mudah dan indah. Energi yang terbuang menjadi cahaya-cahaya dalam kegelapan.
Pada dasarnya semua santri sama. Namun, selama mendampingi mereka dalam mengikuti kompetisi acapkali santri yang juara memiliki keistimewaan dalam menjalankan proses kompetisi. Keistimewaan mereka terlihat ketika mereka benar-benar menerapkan 5 (lima) karakter Pesantren Tebuireng.
Pertama, ikhlas. Dalam hal ini santri benar-benar menjalankan proses dengan ikhlas. Ikhlas melakukan segala sesuatu karena Allah SWT.
Dalam proses pendampingan, mereka yang juara biasanya memiliki kebiasaan seperti puasa senin-kamis, atau puasa Daud. Terkadang mereka juga punya kebiasaan bangun malam, untuk sholat tahajud dan berdoa, yang kemudian mereka melanjutkan untuk belajar.
Kedua, jujur. Jujur berarti menyatakan sesuatu dengan sungguh-sungguh dan apa adanya. Dalam hal menulis, santri diajak untuk berbuat jujur dalam menuliskan suatu karya tulis. Tulisan yang dibuat harus orisinil dan bukan plagiat. Penulisan referensi harus jelas, siapa penulisnya, tahun berapa ditulis, judulnya apa, dan lain sebagainya.
Kekuatan jujur disini bisa terlihat ketika kompetisi tersebut berada dalam tahapan presentasi. Ketika presentasi akan terlihat letak kejujuran mereka dalam menulis, dan juri biasanya mengetahui apakah karya tulis itu jujur atau tidak. Dengan kejujuranlah, mereka akan memiliki kepercayaan diri yang lebih dan bisa menaklukkan para juri di kompetisi yang mereka ikuti.
Ketiga, tanggung jawab. Berani menulis, berarti harus berani mempertanggungjawabkan apa yang telah ditulis. Tanggung jawab merupakan kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang di sengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggung jawab sebagai pelajar adalah belajar, “belajar tidak harus menerima apa yang didapat, melainkan belajar harus mencari batas-batas ketidakmampuan”.
Pelajar yang demikian akan mendapatkan nilai lebih nantinya, tidak hanya di sekolahan melainkan nanti akan berguna di masyarakat.
Mereka para pelajar yang juga sekaligus santri, dalam hal tanggung jawab bagi saya mereka sangat luar biasa. Mereka belajar menulis di sela-sela kesibukan mereka sebagai pelajar juga sebagai santri. Mereka meluangkan waktu untuk menulis dan tentunya waktu bermain mereka akan berkurang.
Keempat, bekerja keras. Mereka berusaha secara terus menerus tanpa mengenal lelah. Ada beberapa santri yang juara tersebut, pernah beberapakali mengikuti kompetisi namun belum mendapatkan mendapatkan hasil yang maksimal.
Tipologi pekerja keras dari mereka sangat terasa ketika mereka pantang menyerah dan aktif dalam mengikuti kompetisi menulis. Seringkali informasi lomba mereka dapatkan sendiri baik secara langsung melalui panitia ataupun melalui internet. Mereka mencari lomba sendiri, kemudian mengkonsultasikan dengan pembina dan senantiasa mereka proaktif dalam kegiatan pembinaan.
Kelima, tasamuh/ toleransi. Tasamuh atau toleransi ini tercermin ketika mereka saling membantu dalam proses pendaftaran lomba dan tahapan pelengkapan administrasi lomba.
Biasanya ada beberapa santri yang tidak bisa secara maksimal dalam melengkapi administrasi lomba dikarenakan waktu dan banyaknya kegiatan mereka baik sebagai pelajar maupun santri. Disini dibutuhkan toleransi, dan biasanya ada salah satu yang membantu, misalkan ketika mentranfer biaya pendaftaran ke panitia melalui bank atau membantu fotokopi berkas dan ngeprint data. Sikap toleransi ini yang kemudian menjadikan proses pembelajaran dalam mengikuti kompetisi menulis terasa istimewa bagi saya.
Selain 5 (lima) karakter Pesantren Tebuireng diatas, ada kebiasaan dari mereka ketika sebelum mengikuti kompetisi, seperti meminta doa kepada orang tua agar senantiasa dalam mengikuti kompetisi berjalan lancar dan sukses. Selain itu, juga persiapan yang matang serta tidak lupa istirahat yang cukup agar energi ketika presentasi bisa berjalan secara maksimal.
Budaya menulis dan berkompetisi dalam rana pemikiran dapat mengasah kemampuan para santri untuk menjadi insan intelektual yang progresif dan dinamis. Tentunya dalam kerangka nilai-nilai ke-Islaman yang diajarkan dengan sentuhan yang manusiawi.
Jalan Sajadah
Sajadah biasanya digunakan oleh orang Islam untuk dijadikan alas tatkala beribadah. Sajadah berbentuk persegi panjang, dan diarahkan ke kiblat. Dan, kata “sajadah” adalah inspirasi awal munculnya buku Lingkar Sajadah, sebuah karya dari santri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.
Pada mulanya buku ini terbit adalah, disaat kondisi tahun 2016 yang telah lalui tanpa adanya piala yang dihadirkan penulis untuk sekolah. Meskipun piala bukanlah tujuan utama, namun ada rasa berbeda ketika bisa mengantarkan mereka (para siswa) ke jenjang yang lebih tinggi. Rasa yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Karena itu, penulis semakin terdorong untuk mencari titik tersembunyi atas ketiadaan di tahun 2016.
Kemudian, diakhir tahun 2016, saya mencoba membuat virus-virus “akan menerbitkan buku lagi” disela-sela pembelajaran di kelas. Hal ini tidak terlepas dari pandangan dan pengamatan yang ternyata beberapa pelajar kerap membawa novel di dalam kelas. Bahkan novel yang mereka miliki tidak hanya berasal dari pinjaman di perpustakaan sekolah, namun mereka juga memiliki novel dengan cara membeli di toko buku atau membeli via online.
Novel setebal 300 sampai 500 halaman mereka baca di sela-sela istirahat dalam pembelajaran. Mungkin bagi mereka ini cara berbeda menikmati proses belajar di sekolah, atau hanya sekedar keluar dari rasa suntuk.
Banyak faktor yang tentunya membuat mereka begitu menikmati novel, mungkin alurnya yang menarik, mungkin jalan ceritanya yang lucu dan romantis, atau bahkan mungkin karena faktor penulisnya.
Kemudian saya mencoba mencari anak-anak yang telah memiliki karya tulis yang berbentuk fiksi. Proses pencarian diawali dengan memberikan informasi bahwa saya akan mencoba membukukan karya tulis mereka. Dan dari delapan kelas, ternyata tidak mudah menemukan anak yang sudah memiliki karya tulis.
Sepertinya ide ini akan gagal, karena sudah satu bulan masih belum ada respon dari mereka.
Sampai suatu saat, ada anak kelas XI yang datang ke meja saya dan menyodorkan karyanya dalam bentuk file. Ada dua naskah, pertama Berhijrah dan yang kedua Tandon Barokah (pernah diikutkan dalam lomba cerpen). Naskah tersebut diserahkan pada hari kamis, tanggal 08 Desember 2016. Dari dua naskah tersebut, file “Tandon Barokah” yang berisi 41 halaman menjadi daya tarik tersendiri untuk saya pelajari.
Saya baca naskahnya, satu persatu, halaman perhalaman. Tulisannya membawa saya ke ruang terdalam sebagai seorang santri dengan perjuangannya yang mengharu pilu. Tanpa sadar pun, air mata menetes ketika membaca naskah tersebut.
Kemudian, saya tutup file tersebut hari itu.
Hari esoknya, saya mencoba membuka lagi naskah tersebut, dan bukan sebagai pembaca, namun sebagai editor. Tanpa emosional dan tanpa mengetahui siapa penulisnya, ini hanya tentang kata-kata dan aliran dialektika yang perlu sentuhan magic. Tentunya 41 halaman masih kurang untuk menutupi kelengkapan novel ini. Jadi saya lanjutkan lagi pencarian karya selanjutnya.
Naskah yang awalnya berjudul “Tandon Barokah” ini, akhirnya membentuk judul utama. Judul utama yang keluar dari bingkai malam, dan rumitnya dunia. Judul yang dibuat tanpa merubah esensi naskah aslinya. Judul yang berakhir dengan kata “Lingkar Sajadah”.
Menunggu Riska Bela
Buku “Lingkar Sajadah” merupakan antologi novelet. Antologi yang berarti kumpulan cerita, sedangkan novelet merupakan novel yang isinya tidak terlalu panjang, dan juga tidak terlalu pendek. Tentunya naskah “Tandon Barokah” yang ditulis Faiz Faiqoh belum cukup mengisi ruang-ruang kosong dalam buku ini, terlalu pendek untuk ukuran sebuah buku.
Masih dalam proses pencarian naskah. Suatu saat di kelas X6, ada yang berkata jika ada satu anak yang bisa menulis.
Karena saya juga mengajar di kelas tersebut, maka saya coba temuin dia. Biasanya anak yang suka menulis karakternya akan sedikit berbeda dengan anak yang lainnya, kadang pendiam, malu-malu, atau malah over.
Namun teman-temannya di kelas selalu menyebut kalau dia punya tulisan, dan suka menulis.
Namanya Riska Bela, dia duduk di bangku tengah, baris ketiga dari depan di kelas. Saya mencoba menghampiri, dan memastikan kebenaran perihal yang dimaksud teman-temannya di kelas.
Benar saja, karyanya ada, namun dalam bentuk tulisan di buku tulis, dan bukan dalam bentuk file. Maka saya pun menyuruh dia untuk mengetik naskahnya dalam bentuk file di komputer.
“Saya tunggu ya, tulisannya. Saya kasih waktu dua minggu untuk memindahkan tulisan di buku tulis ke komputer?” Saranku ke dia.
“Baik pak?” Jawabnya.
Setiap masuk ke kelas dia, saya selalu menanyakan apakah sudah selesai. Dan hampir satu bulan ternyata masih belum selesai.
Mungkin ini yang namanya sabar. Harus menunggu.
Setelah satu bulan berjalan akhirnya tulisan dia selesai. Meskipun begitu lama, namun karya tulis yang dibuat dari buku tulis pasti hasilnya akan sangat berbeda.
Hal ini mirip dengan seorang kawan sastrawan dari Bali. Ketika dia mau menulis novelnya, dia pasti menulis di lembaran kertas. Tumpukan lembaran yang setiap hari dia bawa di saku kemejanya.
Kawan dari Bali tersebut, pernah menyuruh saya untuk mengetikkan karyanya yang sudah ditulis di lembaran kertas dipindah ke komputer. Dan benar saja, ketika saya mengetik naskahnya, saya dibuat larut dengan jalan ceritanya yang begitu masuk ke dalam relung jiwa.
Begitu pun dengan naskah yang dibuat Riska Bela. Awal membaca nampak alur ceritanya biasa, hanya berputar tentang anak tomboi yang masuk ke pesantren. Namun begitu masuk ke dalam cerita, jalan ceritanya sulit untuk ditebak. Dan, inilah karya menurut saya. (isi cerita karya Riska Bela bisa dilihat pada buku Lingkar Sajadah)
Bukan Hanya Jagoan Olimpiade
Naskah hampir berjumlah 100 halaman. Namun terasa masih ada yang kurang, mungkin butuh satu lagi. Tapi siapa? Hampir setiap pertemuan di kelas saya umumkan jika akan menerbitkan buku, mungkin mereka tidak percaya, atau mungkin mereka kesulitan menulis. Entahlah yang terpenting saya coba lagi.
Kemudian setelah menyampaikan materi didalam salah satu kelas, dan saya memberikan tugas sambil berkeliling dan mengamati apakah mereka sedang mengerjakan tugas atau sedang tidur.
Tidur memang sudah menjadi pemandangan biasa tatkala mengajar di sekolahan yang notabene juga pesantren. Karena aktivitas mereka yang sangat padat sebagai seorang pelajar sekaligus santri.
Dalam satu kesempatan saya duduk ditempat salah satu siswa, dan saya temukan majalah pesantren di atas meja. Kemudian saya pinjam dan saja baca majalah tersebut.
Sontak saya kaget membaca dibagian halaman akhir. Ternyata anak yang selama ini juara olimpiade biologi juga bisa menulis cerpen. Judulnya “Okaerinasai!” cerita pendek yang dipadukan dengan unsur bahasa Jepang.
Namanya Mumtaz, dia anak ALC (kelas khusus) yang sempat dua kali berturut-turut lolos lomba Olimpiade Sains Nasional (OSN) Biologi sampai ke tingkat Propinsi. Dia anak cerdas, dan bagi saya dia mirip Messi pemain Barcelona. Seorang jenius yang belum tentu Anda temukan dalam setiap dekade.
Salah satu yang menurut saya dia hebat adalah dia bisa konsisten belajar pada waktu dini hari. Dan informasi ini saya dapatkan dari teman-temannya di pondok. Dia terbiasa membaca buku tebal seperti buku biologi karangan Campbell.
Esoknya saya coba temuin dia, dan saya tawarkan agar naskahnya mau untuk diikutkan dalam rancangan buku Lingkar Sajadah. Dengan senang hati, anak ini pun memberikan karyanya untuk diikutkan, meskipun sedikit malu-malu.
Tanda Tangan
Tiga naskah sudah ditangan. Judul utama sudah jadi. Subjudul mulai disusun. Hari demi hari dikerjakan, mulai awal tahun 2017 sampai dengan April 2017. Dan, ternyata mengolah karya fiksi lebih sukar, karena biasanya hanya butuh waktu dua minggu untuk untuk mengolah naskah ilmiah, namun naskah fiksi butuh tiga bulan untuk menyelesaikan. Ini pengalaman pertama bagi penulis.
Malam demi malam membenahi tanda petik, koma, titik, susunan kalimat, dan mengganti beberapa subjudul agar terlihat menarik bagi pembaca. Karena ini proyek “iseng”, jadi jangan berharap isi kepala nanti hasilnya akan berbentuk rupiah atau penghargaan. Iseng dalam artian editor tidak punya beban atas batas waktu dalam mengolah dan lain sebagainya.
Kerjakan dan kerjakan, tanpa target. Dan malam terasa sangat panjang dalam menyelesaikan karya ini. Terkadang saya juga harus istirahat atau saya ganti mengerjakan tugas-tugas lainnya seperti mengerjakan artikel atau mengedit buku yang menghasilkan rupiah. Ini harus dilakukan agar dapur rumah tetap terjaga asap apinya.
....
Setelah selesai mengedit semua naskah dari Lingkar Sajadah, kemudian tahap selanjutnya adalah lobi-lobi. Yang pasti lobi pertama ditujukan pada sekolah, dalam hal ini karena sekolah adalah tempat penulis buku Lingkar Sajadah bernaung.
Perlu lembaran persetujuan. Cukup satu lembar. Yang isinya judul, pengantar dan kolom tanda tangan Wakil Kepala Kesiswaaan dan Kepala Sekolah.
Ini bukanlah hal yang sulit, karena cukup satu jam saja lembar ini disetujui. Selanjutnya adalah menemui pimpinan Yayasan dalam hal ini adalah Mudir Pendidikan yang ada di kantor Yayasan Pesantren Tebuireng.
Diluar dugaan ternyata karya ini langsung diapresiasi dengan menambahkan kolom persetujuan dan beliau siap menandatangani untuk diberikan kepada Kiai Shalahuddin Wahid (Gus Sholah) selaku Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng.
Bebarapa hari kemudian, saya mendapatkan kabar dari Mudir Pendidikan, jika Kiai mengapresiasi naskah ini dan segera akan diterbitkan melalui Pustaka Tebuireng. Kabar tersebut langsung saya sampaikan ke anak-anak penulis Lingkar Sajadah.
Melihat ekspresi mereka usai mendengar kabar tentang kepastian diterbitkan buku Lingkar sajadah merupakan hal yang tidak ternilai sebagai pendidik. Hal ini yang membuat segala sesuatu menjadi mudah dan lancar, ekspresi mereka, ekspresi penuh harapan dan kebahagiaan.
Proses Santri Menulis
Bulan April 2017 naskah Lingkah Sajadah selesai ditangan editor. Kemudian tahap selanjutnya, proses acc sampai cetak buku hampir memakan waktu kurang lebih 5 (lima) bulan. Wajar proses ini menjadi agak lama, karena anggaran tidak ada, jadi perlu strategi khusus untuk diterbitkan dengan cara gratisan.
Hal ini sangat berbeda ketika buku “Santri Menulis Santri Juara” yang terbit di tahun 2015. Buku tersebut, dibuat dengan cara cepat. Tidak sampai tiga bulan proses editing dan cetak buku selesai, lengkap dengan ISBN dari penerbit.
Proses buku Santri Menulis Santri Juara dibuat secara cepat dikarenakan beberapa faktor. Pertama, buku Santri Menulis Santri Juara dapat dijadikan lampiran daftar riwayat hidup sebagai penulis ketika mendaftar ke perguruan tinggi, karena saat ini mereka sedang di kelas XII semester genap; Kedua, naskah sudah ada, sebab naskah diambil dari karya tulis ilmiah mereka yang sejatinya mereka peroleh dari berbagai lomba karya tulis yang telah mereka menangkan, baik itu kejuaraan provinsi maupun nasional; Ketiga, anggaran dana tersedia, karena diambilkan dari kesepakatan bersama antara para penulis dan editor untuk diambilkan dari sisa hasil hadiah dari salah satu kemenangan atas kejuaraan nasional.
Faktor tersebut yang membuat segalanya lebih mudah. Namun, jika melihat prosesnya mereka dalam mengikuti berbagai lomba, mulai mereka kelas XI atau sekitar tahun 2014 ini bukanlah hal yang mudah. Disela-sela waktu belajar mereka baik di sekolah maupun di pesantren, mereka semua ternyata anak-anak yang mampu melakukan banyak hal, dan berani mengambil resiko dalam mengikuti berbagai kompetisi menulis.
Kemampuan mereka jika diperhatikan benar, maka ada rasa ke-mau-an yang tinggi dari mereka untuk mengasah skill karya tulis mereka di luar sekolah. Tentunya dengan rajin mengikuti berbagai lomba, dan tanpa rasa takut untuk bersaing dengan sekolah lain maupun dari perguruan tinggi.
Seperti ketika berkompetisi di Jakarta, ternyata para pesertanya tidak hanya para siswa, namun juga mahasiswa, dan ekspresi mereka tidak gentar dalam mempertanggungjawabkan karya tulis yang telah mereka buat dihadapan para juri. Dan, waktu perjalanan ketika ke Jakarta, mereka pun juga tak lupa meninggalkan ibadah, seperti melakukan puasa Daud, atau hari ini puasa, esok tidak, kemudian puasa lagi dan seterusnya. Mereka juga terkadang memainkan cincin yang berisi angka-angka untuk istiqomah dalam wirid.
Mungkin hal-hal tersebut yang membuat proses pembuatan buku Santri Menulis Santri Juara terasa lebih mudah. Begitulah sejatinya proses santri menulis, sebuah proses yang penuh dengan kerja keras dan do’a.
Pesan Gus Sholah
Ada beberapa hal yang sama antara buku “Santri Menulis Santri Juara” dan buku “Lingkar Sajadah”. Salah satunya adalah para penulisnya bisa langsung bertemu KH. Shalahuddin Wahid (Gus Sholah). Beliau merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng.
Hal ini tentunya membuat kebanggaan tersendiri bagi para penulisnya, karena bisa langsung cium tangan dan minta wejangan sekaligus do’a dari Kiai. Memang tidak mudah untuk bisa bertemu dengan beliau langsung, mungkin dengan cara berkarya seperti ini akan memudahkan dalam menjembatani mereka bertemu dengan Gus Sholah.
Menemani mereka bertemu Gus Sholah merupakan hal yang menarik bagi saya. Melihat ekspresi mereka yang campur aduk antara senang, gugup dan bangga. Andai mereka tahu bahwa pertemuan seperti ini merancangnya harus penuh kehati-hatian dan butuh waktu lama.
Kiai Shalahuddin Wahid merupakan tokoh nasional, yang pasti beliau pasti sangat sibuk. Banyak agenda yang dikerjakan tentunya. Namun keyakinan mempertemukan mereka dengan beliau selalu saya tanamkan pada diri sendiri bahwa ini bisa.
Langkah yang harus dilakukan, pertama dengan meminta ijin kepada pimpinan sekolah untuk menyampaikan niat baik ini. Dan kemudian melanjutkan ke pimpinan yang ada di yayasan. Hal ini harus saya lakukan, karena posisi saya di sekolah hanyalah guru biasa. Tentunya ini adalah cara menghormati pimpinan.
Namun apa langkah tersebut berhasil, tentu belum. Menunggu dua bulan pasca niat disampaikan adalah hal lumrah untuk dilakukan. Sembari menunggu, diperlukan persiapan yang matang, dan tidak hanya sowan saja, harus ada yang berkesan.
Pendidik mencoba berdiskusi dengan ketua OSIS dan MPK secara intensif, karena mereka telah mendapatkan amanah dari sekolah untuk mengadakan acara bedah buku. Diskusi yang dilakukan untuk memperkuat kegiatan bedah buku, dan muaranya adalah persiapan bertemu Kiai dalam rangka mengundang beliau untuk memberikan kata sambutan atau membuka acara, sekaligus mempertemukan penulis buku Lingkar Sajadah.
Namun, setelah dua bulan, ternyata belum ada kabar dari pimpinan terkait niat pertemuan kami dengan Kiai. Tentunya ini akan menjadi kabar tidak baik bagi anak-anak yang telah mempersiapkan semua.
Kemudian berbekal SMS, saya mencoba memberanikan diri untuk menghubungi Kiai Sholah. Dan, Alhamdulillah setengah jam kemudian Kiai membalas, sekaligus memberikan waktu kapan tepatnya kita bisa ke Dalem untuk bertemu beliau.
Pertemuan tersebut terjadi pada hari Ahad, tanggal 26 November 2017. Banyak hal yang kami sampaikan terkait rencana bedah buku, mulai dari proposal bedah buku untuk mengundang beliau, kemudian permohonan kata pengantar untuk buku Lingkar Sajadah yang akan diperbanyak untuk acara bedah buku, sampai dengan rancangan buku “Santri Menulis Santri Juara Jilid Kedua”.
Dalam pertemuan tersebut Gus Sholah mengapresiasi para penulisnya dengan memberikan motivasi akan pentingnya dunia literasi. Salah satu pesan beliau kepada kami adalah “Menulis itu penting”.
Sebuah pesan yang membuat kami senantiasa menulis. Dan pesan tersebut kami simpan dan tranformasikan kepada semua pembaca buku ini. Begitu pentingnya menulis sebagai bagian dari perjalanan peradaban yang berpangku pada dunia ilmu pengetahuan. Dunia yang akan membawa perubahan umat manusia.
Cerita Tersembunyi
Cerita dibalik bedah buku menyajikan berbagai hal yang memacu adrenalin untuk melakukan sesuatu yang berbeda, progresif dan inovatif. Setelah selesai dengan editing dan administrasi yang prosedural, tentunya bedah buku menjadi syarat selanjutnya untuk mengembangkan literasi dalam arena dialektika dan publikasi.
Sebenarnya bedah buku bisa dilakukan secara sederhana. Melibatkan komunitas kecil antara 10 sampai 20 orang. Membangun komitmen dalam budaya literasi. Hal tersebut bisa dilakukan di dalam kelas atau di waktu ekstrakurikuler. Sederhana saja harapannya nanti.
Namun berbeda halnya yang pernah kami lakukan. Bedah buku yang pernah dilakukan melibatkan banyak stakeholder, mulai dari pimpinan di sekolah, OSIS dan MPK, penerbit, Ketua Yayasan, sampai mengundang lembaga pendidikan di daerah.
Tujuan utamanya adalah apresiasi kepada penulis muda, yang notabene adalah seorang pelajar. Penulis yang memiliki masa depan dan gejolak muda yang menggebu-gebu. Mimpi dibangun atas kesadaran pentingnya dalam berkarya.
Sebelum melaksanakan agenda bedah buku dibutuhkan maping yang jelas. Ini bisa dilakukan sendiri dengan mengetahui potensi yang ada di lembaga Anda masing-masing. Pemetaan atau maping ini tentunya harus berdasarkan konsep yang tangguh. Segalanya bisa terjadi ataupun gagal selamanya. Maping ada karena jalan masuk pengembangan literasi tidak bisa dilakukan seorang diri.
Yang terpenting untuk dilakukan adalah memasukkan prosedural kelembagaan dengan memakai lobi-lobi yang beretika. Caranya adalah : Pertama, buku yang telah dicetak berikan kepada kepala sekolah atau pimpinan tertinggi sebagai wujud hasil karya dari peserta didik. Kedua, mencoba untuk berdiskusi mengenai follow up dari buku tersebut, dan sampaikan biasanya setelah buku terbit, maka diadakan bedah buku, dan sampaikan manfaat bedah buku bagi penulis, lembaga dan pemngembangan ilmu pengetahuan. Ketiga, posting ke media sosial, dan lakukan juga publikasi internal dengan berbagai rekan kerja tentang buku tersebut. Keempat, beri kesempatan sekolah untuk memproses atau mengatur acara bedah buku.
Jika buku tersebut tidak dapat pintu masuk untuk acara bedah buku yang melibatkan banyak stakeholder, maka jalur alternatif bisa memakai hal yang sederhana. Yang terpenting niat baik sudah tersampaikan. Pasti ada jalan bagi siapapun yang mau berusaha.
Banyak pembelajaran yang penulis dapat dari kegiatan bedah buku. Pembelajaran yang senantiasa membawa penulis untuk selalu melakukan inovasi dan kreativitas dalam pembelajaran, karena sebagai penulis dan juga pendidik merupakan satu kesatuan dari sebuah lingkaran besar yaitu dunia pendidikan.
Membangun karakter bangsa melalui dunia literasi merupakan salah satu media membuka cakrawala pengetahuan anak didik kita. Dengan mengenalkan dunia literasi, maka pendidik akan terdorong juga untuk selalu membaca dan mencari hal-hal baru terkait perkembangan ilmu pengetahuan.
Landasan berpijaknya sangat sederhana, “jika pelajar bisa menulis buku, maka tentunya guru juga mampu menulis buku, dan harapannya lebih banyak pendidik di Indonesia menulis buku”. Harapan akan tetap menjadi harapan, tapi dengan harapan itulah manusia bisa bertahan hidup.
OXFORD 100118
Oxford, “Being a Santri? Why Not!”, begitulah pesan yang disampaikan Ainur Riza. Dia memang bukan penulis buku “Santri Menulis Santri Juara”, dan dia juga bukan penulis buku “Lingkar Sajadah”. Tapi bagi penulis dia sosok yang luar biasa, baik waktu di sekolah, di kampus, dan kini dia melanjutkan studi Pascasarjana di Oxford University.
Ainur Riza pernah menimba ilmu di Madrasah Aliyah Khairuddin Gondanglegi Malang. Dia juga ketua KIR (Karya Tulis Ilmiah) di sekolah pada masanya. Anaknya aktif dan rajin mengikuti berbagai lomba. Pernah suatu ketika dia juara lomba fotografi di kegiatan yang diselenggarakan oleh P-WEC (Petungsewu Wildlife Education Centre) Malang Jawa Timur. Kemudian dia melanjutkan kuliah di UIN Malang Jurusan Satra Inggris. Potensi yang dia miliki dan kemauannya yang keras membawa dia belajar ke negeri Elizabeth.
Dalam perencanaan bedah buku “Lingkar Sajadah” yang dilaksanakan pada hari Ahad, tanggal 21 Januari 2018, di SMA A. Wahid Hasyim, telah membawa buku lingkar sajadah terbang ke Oxford. Tentunya hal ini sangat penting, karena dapat memotivasi para penulisnya untuk mengikuti jejak dari perjuangan Ainur Riza yang telah mendapatkan beasiswa belajar disana.
Tentunya cara demikian adalah keberuntungan bagi momen tertentu. Momen yang tiada siapapun yang tahu, dan cara seperti inilah yang bisa dilakukan untuk menggugah kesadaran dalam mengoptimalisasikan potensi yang ada pada setiap anak didik. Dan pesan saya; “Buat kejutan pada setiap kerja keras mereka”.
Akhir Kata
Sebagai pendidik/guru tentunya menulis adalah hal yang biasa. Hampir setiap hari kegiatan seorang pendidik adalah menulis. Entah itu menulis soal, menulis RPP, menulis siswa yang bermasalah ataupun menulis dengan cara update status di media sosial yang dimilikinya.
Hal tersebut harus tertanam pada ruang kesadaran pada diri Anda bahwa Anda pun bisa menulis. Menulis bisa dimanapun. Kini, pembelajaran menulis dilakukan sejak anak-anak TK. Tuntutan jaman sekarang masuk SD harus sudah bisa membaca dan menulis.
Jadi tidak alasan, jika setiap pendidik tidak bisa menulis. Atas dasar tersebut, harusnya setiap pendidik bisa memotivasi peserta didik untuk senantiasa selalu menulis.
Namun akan berbeda maknanya tatkala menulis disandingkan dengan kata buku, atau menulis buku. Mungkin akan terasa berat, malas melihat halaman per halaman yang akan dikarang atau dibuat. Perlu energi khusus, perlu waktu dan terasa bertele-tele. Dan juga, hasilnya tidak dapat mendukung jumlah tabungan di Bank.
Tentunya hal tersebut sering kita temui, dan bahkan kita alami sendiri. Sampai sekarang penulis juga tidak tahu mengapa harus menulis buku. Akan tetapi penulis tahu, bahwa kegiatan ini penting untuk memberikan simpul-simpul kreatifitas. Bahkan menurut penulis, buku dapat merubah peradaban.
Problematika yang dihadapi seorang pendidik bukanlah hal yang sederhana. Selain bertanggungjawab terhadap peserta didik, pendidik juga harus bertanggungjawab terhadap profesinya yang tentunya sangat berhubungan dengan perkembangan dunia pendidikan di Indonesia.
Realitas yang terjadi, potensi-potensi yang dimiliki peserta didik seringkali tenggelam bersama arus intelektual para pendidik yang hanya mengejar jabatan, sertifikasi, rupiah tanpa memperhatikan sisi ilmu dan pengetahuan yang berada dalam setiap nafasnya yang sejatinya berada dalam dunia pendidikan. Potensi tersebut, tentunya tidak akan kita biarkan mati dengan sendirinya. Peran para pendidik sangat penting dalam mewujudkan generasi yang cerdas, unggul dan berakhlakul karimah.
Potensi yang dimiliki seorang pendidik sebagai penulis tentunya juga dimiliki ketika pendidik tersebut juga pernah menyelasaikan tugas akhir yang penuh dengan lembaran halaman-halaman, yang berupa skripsi, tesis maupun disertasi. Seorang pendidik tentunya memiliki pengalaman atas karya tulis, dan dengan pengalaman tersebut dapat menjadikan peserta didik bisa mendapatkan kesempatan dalam mencerna dalam membuat sebuah karya tulis yang baik.
Dimensi atas kesadaran tersebut seyogyanya dapat mendorong pendidik untuk mencoba menulis buku, dan mengimplimentasikan pada ruang dunia pendidikan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.