Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image saman saefudin

Aroma Puasa, Pandemi, dan Sikap Jujur

Agama | 2022-03-22 16:05:28
Aktivitas pasar takjil saat ramadan. Sumber gambar: https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/001230800-1618316982-830-556.jpg

Bagaimana situasi batin emak-emak menjelang puasa saat ini? Mainlah ke pasar, gaes. Di sana kita akan mendengar kisah pilu para emak yang tengah berjuang keras mengelola keuangannya yang terbatas. Mungkin sudah dua tiga pekan ini harga-harga komoditas dapur tengah mendaki dengan pelan tapi pasti. Belum juga selesai dengan drama melonjak dan langkanya minyak goreng kemasan di pasaran, emak-emak harus kembali uji nyali dengan kenaikan harga cabai, bawang, sayuran, ayam, telur, gula pasir, dan kawan-kawannya. Mungkin suatu hari saat ke pasar, bisa saja Anda akan menjumpai emak-emak dengan tempelan koyo, atau mengenakan ikat kepala seperti pendekar Kapak Sakti 212, Wiro Sableng. Karena bukan lagi sang guru, Sinto, yang berjuluk gendheng (gila, red), tetapi dunia perdapuran juga sedang wuedan.

Selaluuu saja, harga-harga barang pasti naik menjelang puasa dan nanti pas mau lebaran”. Begitu celethukan emak-emak di pasar yang balik kanan saat hendak membeli minyak goreng.

Jadi, meski mengeluh sejadi-jadinya, para emak ini sebetulnya sudah mafhum dengan tren pasar setiap menjelang ramadan. Paling tidak, emak-emak tidak se-nelangsa menyaksikan serial drama minyak goreng.

Kalau cuaca mulai panas menyengat, terus harga-harga di pasar mulai naik, maka artinya bulan puasa segera tiba. Jadi, cuaca sama harga itu tanda-tanda alam bahwa kita akan memasuki bulan ramadan, fix no debat”. Kalau ini jelas komentar emak-emak muda yang masih hobi scroll beranda media sosialnya.

Ya entah benar atau tidak, petik saja hikmahnya. Paling tidak, cuaca dan harga komoditas dapur bagi emak-emak jauh lebih jujur. Coba sih rasakan sengatan matahari di siang hari akhir-akhir ini, panasnya memang serius pakai banget. Dan ini panas yang khas, mengingatkan orang akan perjuangan menahan lapar, dahaga, dan emosi di siang ramadan. Kata orang, inilah aroma menjelang puasa yang dirindukan.

Nek panase koyo ngene, berarti pancen wulan poso meh tekan (Kalau panasnya seperti ini, berarti tandanya bulan puasa segera tiba)”. Begitu celetukan simak penjual pecel langganannku di Kota Batik. Bagi dia dan orang-orang seusianya, cuaca yang menyengat akhir-akhir ini adalah tanda alam menyambut ramadan.

Mungkin bagi para emak-emak ini, isyarat alam selalu jujur. Nyatanya, meski bulan Maret semestinya masih musim hujan (begitu kata kalender cuaca BMKG), tetap saja kualitas panasnya menyengat sampai otak dan hati. Seolah menambah amunisi emosi.

Puasa dan Pandemi

Bagaimana menjalankan ibadah ramadan di tengah suasana yang belum bebas pandemi? Rumusnya bisa jadi sama. Pertama, baik laku puasa maupun penanganan pandemi menuntut kejujuran. Kita sering mendengar ungkapan jenaka tetapi bermakna terkait puasa dan kejujuran ini. “Kalau Anda berwudhu, lalu satu saja dari tiga kumuran anda telan, siapa yang tahu? Tidak ada yang tahu, kecuali Anda dan Allah”.

Maka ibadah puasa dianggap istimewa karena sifatnya yang amat personal. Ia menggambarkan bagaimana sebetulnya kualitas keintiman setiap hamba dengan Tuhannya.

“Sungguh, ibadah puasa itu untuk-Ku. Akulah yang langsung akan memberikan imbalannya”. Begitu bunyi sebuah hadits qudsi yang populer.

Nah, lalau isyarat cuaca hingga harga-harga komoditas dapur saja bisa jujur, lalu selama satu bulan ramadan juga kita dilatih kejujuran, maka alangkah eloknya jika kebijakan penanganan Covid-19 juga dilandasi oleh sikap jujur para pemangku kebijakan.

Jangan ada main mata dengan kelompok berkepentingan manapun, tempatkan semua masyarakat ataupun lembaga sebagai obyek yang sama di mata hukum, tak peduli status dan latar belakangnya. Dari kejujuran inilah akan lahir keadilan serta keteladanan, sehingga rakyat akan dengan sukarela menjalankan aturan. Bukankah bangsa ini disebut-sebut telah lama mengidap krisis keteladanan?

Kedua, esensi dari ibadah puasa adalah kendali diri, orang-orang yang telah menjalankan puasa diharapkan meningkat kualitas pengendalian dirinya. Apa yang dikendalikan? Tentu saja nafsu, personal desire, keinginan yang cenderung tak terbendung (unstopable). Kalau manusia sudah mampu menjadi raja atas nafsunya, maka semakin dekatlah ia dengan taqwa. Kenapa nafsu dan keinginan harus dikontrol, tidak lain karena tabiat manusia yang tamak. Kata Nabi Saw, kalau manusia diberi segunung emas, ia akan meminta gunung kedua, ketiga dan seterusnya. Dan yang bisa mengakhiri itu hanyalah kematian. Kita kadang heran, ada pejabat aset kekayaannya mungkin puluhan miliar, tetapi tiba-tiba tertangkap tagan KPK karena menerima gratifikasi seratus juta. Apa namanya kalau bukan tamak?!

Pengendalian, bukankah strategi ini pula yang dibutuhkan untuk menghambat laju Covid-19. Coronavirus Disease 2019 dengan berbagai variannya diyakini tidak mungkin akan musnah, maka yang bisa dilakukan adalah mengendalikannya. Konsep pegendalian ini bisa diterjemahkan dalam upaya pencegahan, yakni melalui pendisiplinan protokol kesehatan, maupun melalui vaksinasi, sehingga daya bunuh virus ini semakin terkontrol. Caranya dengan membuat antivirus dari genom virusnya, lalu ia disuntikkan ke tubuh manusia. Asumsinya, kalaupun manusia yang telah divaksin ini terpapar Covid-19, tingkat keparahannya lebih ringan alias masih terkendali.

Jadi, orang yang berpuasa dituntut mampu mengendalikan dirinya dari keinginannya yang mungkin liar. Maka dari puasa kita belajar memisahkan mana itu kebutuhan, dan mana yang hanya keinginan. Belajar skala prioritas. Kualitas sikap ini juga semestinya dimiliki umat Islam saat menangani pandemi. Selama ramadan, umat semestinya memiliki kemampuan lebih untuk mengendalikan potensi penyebaran Covid-19, utamanya melalui protokol kesehatan dan vaksinasi. Dari puasa kta telah belajar skala prioritas, maka keinginan-keinginan yang tak urgen yang bisa mengundang potensi penularan Covid-19 sebaiknya ditahan. Saat mengenakan masker, kita sedang mengontrol ego pribadi demi kepentingan orang kebanyakan, saat itulah kita sedang ikhtiar mengendalikan laju Covid. Saat mengikuti vaksinasi, kita juga tengah berikhtiar mengendalikan risiko dan ancaman. Seperti kaidah ushul fiqih, “Menghindari keburukan itu didahulukan dari meraih kebaikan”.

Dengan sikap jujur serta kapasitas pengendalian diri yang baik, pada akhirnya kita sebagai umat muslim juga mendambakan sebuah kualitas hidup yang sehat. Tidak hanya sehat karena tak terpapar Covid-19, tetapi lebih dari itu adalah karena kemampuan mengendalikan makanan, pikiran, dan hati. []

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image