Game Online dan Normalisasi Kekerasan Generasi
Agama | 2025-12-31 06:31:33Berbagai kasus kekerasan yang melibatkan anak dan remaja kian sering mencuat ke permukaan, mulai dari perundungan, tindakan bunuh diri, teror bom di lingkungan sekolah, hingga pembunuhan. Dalam sejumlah kasus, pelaku mengaku terinspirasi dari game online yang sarat kekerasan. Terbaru, kasus ibu dibunuh anak kandungnya yang masih berusia 12 tahun dengan cara ditikam pisau hingga 26 tusukan. Salah satu faktor pemicunya karena ibunya menghapus game online yang sering dimainkannya. Anak ini juga kerap main game yang menggunakan pisau dan melihat serial anime ketika ada adegan memainkan pisau (Kompas.com; 28/12/2025)
Game online saat ini banyak mengandung unsur kekerasan yang disajikan secara terbuka, masif, dan nyaris tanpa batasan usia yang ketat. Anak-anak dapat mengaksesnya dengan sangat mudah melalui gawai pribadi, tanpa pendampingan dan pengawasan memadai. Paparan kekerasan yang terus-menerus ini perlahan membentuk cara berpikir dan merespons masalah. Emosi anak menjadi lebih mudah meledak, sensitif, agresif, bahkan tumpul terhadap rasa empati. Dalam jangka panjang, kondisi ini berdampak serius pada kesehatan mental, seperti kecemasan, gangguan emosi, kecanduan, hingga kecenderungan perilaku menyimpang. Alih-alih membentuk karakter yang sehat, game online yang sarat kekerasan justru berpotensi merusak kepribadian dan keseimbangan psikologis anak.
Mencermati Akar Masalah
Platform digital sejatinya tidak pernah netral. Tidak sedikit game online menyelipkan nilai dan ajaran yang bertentangan dengan pembentukan kepribadian anak yang sehat. Kekerasan, balas dendam, individualisme ekstrem, hingga normalisasi perilaku brutal kerap dijadikan bagian utama dari permainan. Semua itu dikemas sedemikian rupa agar tampak wajar, bahkan dianggap prestasi ketika berhasil melukai atau mengalahkan pihak lain. Sedangkan anak-anak yang masih mencari jati diri, sangat rentan menyerap pesan-pesan tersebut. Tanpa disadari, game menjadi media penanaman nilai.
Ruang digital hari ini telah berubah menjadi ladang bisnis bagi kapitalisme global. Demi mengejar keuntungan sebesar-besarnya, berbagai platform dan konten dirancang untuk menarik perhatian, menimbulkan ketergantungan, bahkan mengeksploitasi emosi pengguna, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap moral, kesehatan mental, dan masa depan generasi. Kerusakan nilai, rapuhnya kejiwaan, serta rusaknya tatanan kehidupan manusia kerap diabaikan, selama arus profit tetap mengalir.
Negara hingga kini belum menunjukkan kemampuan yang memadai dalam melindungi generasi dari ancaman kerusakan akibat maraknya game online yang sarat muatan kekerasan. Anak-anak dan remaja dapat dengan mudah mengakses berbagai permainan berbahaya tanpa sistem penyaringan, pengawasan, dan perlindungan yang kuat. Lemahnya regulasi dan penegakan aturan membuat paparan kekerasan berlangsung terus-menerus, sehingga kekerasan perlahan dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Akibatnya, kepekaan emosi melemah, empati menurun, dan kesehatan mental generasi muda semakin terancam, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Cara Islam Melindungi Generasi
Islam mewajibkan negara menjaga dan melindungi generasi dari segala bentuk kerusakan, baik fisik, mental, maupun moral. Kewajiban ini dijalankan melalui penerapan aturan yang bersumber dari syariat, sehingga negara berperan aktif menciptakan lingkungan yang aman, sehat, dan kondusif bagi tumbuhnya generasi beriman dan berakhlak.
Hegemoni ruang digital oleh kapitalisme global harus dilawan dengan kekuatan kedaulatan digital, agar ruang digital tidak semata menjadi ladang bisnis yang mengabaikan keselamatan generasi. Dengan kedaulatan digital, negara mampu mengatur, mengendalikan, dan mengarahkan pemanfaatan teknologi sesuai nilai yang melindungi generasi, bukan tunduk pada kepentingan korporasi.
Kerusakan generasi sejatinya bukan keniscayaan, melainkan dapat dicegah melalui penerapan tiga pilar utama, yakni ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan perlindungan negara. Ketakwaan individu menjadi fondasi awal yang membentuk kesadaran moral dan tanggung jawab personal untuk menjauhi kemaksiatan serta menjaga diri dari pengaruh buruk apapun. Namun, ketakwaan individu saja tidak cukup tanpa adanya kontrol masyarakat yang berfungsi melakukan amar makruf nahi mungkar, saling menasihati, serta menciptakan lingkungan sosial yang kondusif bagi tumbuhnya kebaikan.
Di sisi lain, peran negara menjadi penopang yang sangat menentukan. Negara wajib hadir sebagai pelindung generasi dengan membuat dan menegakkan kebijakan yang menutup celah kerusakan, sekaligus memastikan seluruh sistem berjalan selaras dengan tujuan menjaga akidah, akhlak, dan masa depan umat. Ketiga pilar ini hanya akan berjalan efektif apabila didukung oleh penerapan sistem politik, ekonomi, dan pendidikan, serta pengaturan pergaulan sosial dan budaya yang berlandaskan nilai-nilai Islam secara menyeluruh. Sebagaimana seruan Allah SWT :
“Wahai orang yang beriman, Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah)”. janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kalian,” (Surat Al-Baqarah :208)
Dengan demikian, upaya penyelamatan generasi tidak bersifat parsial atau reaktif, melainkan sistemik, komprehensif, dan berkesinambungan.
Wallahu a’lam Bisshawab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
