Politik Tanpa Umpan Balik
Politik | 2025-12-31 00:38:25Negara yang gagal merespons umpan balik publik sedang menghadapi persoalan yang lebih serius daripada sekadar miskomunikasi melainkan disfungsi sistem politik itu sendiri. Dalam berbagai isu nasional, mulai dari penanganan bencana, tekanan ekonomi, kekerasan aparat, hingga penyempitan ruang sipil, pola komunikasi pemerintah cenderung seragam. Pernyataan resmi hadir, klarifikasi disampaikan, namun kritik publik jarang benar-benar diolah menjadi koreksi kebijakan. Negara berbicara, tetapi tidak sepenuhnya mendengar.Dalam perspektif komunikasi politik, situasi ini menandai terputusnya mekanisme umpan balik antara pemerintah dan masyarakat. Karl W. Deutsch memandang sistem politik sebagai sistem komunikasi yang bergantung pada kemampuan menyerap informasi dari lingkungannya. Umpan balik publik bukan sekadar ekspresi ketidakpuasan, melainkan data penting untuk pembelajaran dan penyesuaian kebijakan. Ketika umpan balik itu diabaikan atau diperlakukan sebagai gangguan legitimasi, sistem politik kehilangan kapasitas korektifnya.
Umpan Balik yang Terabaikan
Berbagai kritik yang muncul di ruang publik bukanlah peristiwa insidental. Ia hadir berulang dalam isu yang berbeda, tetapi dengan pola respons yang relatif sama. Dalam kasus bencana, publik mempertanyakan kecepatan dan sensitivitas respons negara. Dalam isu ekonomi, masyarakat mengkritik kebijakan yang dianggap jauh dari realitas sosial. Sementara dalam kasus kekerasan aparat, yang muncul sering kali bukan akuntabilitas substantif, melainkan pembelaan institusional.Dalam kerangka Deutsch, kondisi ini menunjukkan kegagalan negara memproses sinyal korektif. Kritik publik seharusnya berfungsi sebagai input yang mendorong penyesuaian kebijakan. Namun, ketika kritik direduksi menjadi sekadar opini liar atau disikapi secara defensif, proses komunikasi politik berhenti pada satu arah. Negara tetap memproduksi pesan, tetapi gagal menjadikannya dialog.
Perlawanan Simbolik Warga Negara
Ketika saluran formal komunikasi tidak memberikan respons yang memadai, masyarakat tidak serta-merta diam. Mereka justru menciptakan bahasa politik alternatif melalui simbol, satire, dan humor. Fenomena meme terhadap pejabat publik, olok-olok terhadap pernyataan pejabat yang tidak sensitif, hingga munculnya tagar seperti #IndonesiaGelap atau #KaburAjaDulu merupakan bentuk perlawanan simbolik warga negara.Perlawanan ini tidak dapat dibaca sebagai sekadar budaya bercanda di media sosial. Ia adalah ekspresi politik yang menunjukkan kegagalan komunikasi negara. Dalam kondisi ketika kritik rasional tidak memperoleh respons, simbol menjadi medium untuk menyampaikan ketidakpercayaan. Meme dan satire bekerja sebagai bahasa tandingan yang meruntuhkan wibawa simbolik kekuasaan. Negara tidak lagi diposisikan sebagai otoritas yang didengar, melainkan objek kritik kolektif.Dari sudut pandang komunikasi politik, perlawanan simbolik ini adalah tanda bahwa umpan balik telah bergeser dari jalur institusional ke jalur kultural. Masyarakat tetap berkomunikasi, tetapi di luar mekanisme yang disediakan negara. Ini menandakan bahwa sistem politik gagal mengelola komunikasi dua arah secara sehat.
Disfungsi Sistem Politik
Bahaya terbesar dari politik tanpa umpan balik bukan hanya menurunnya kepercayaan publik, tetapi normalisasi ketidakresponsifan negara. Ketika kritik tidak lagi direspons sebagai masukan, melainkan dianggap ancaman, negara kehilangan kemampuan belajarnya. Deutsch menyebut kondisi ini sebagai kegagalan learning process, saat sistem politik berhenti menyesuaikan diri dengan realitas sosial.Dalam jangka panjang, disfungsi ini menggerogoti fondasi demokrasi. Komunikasi politik berubah menjadi monolog kekuasaan, sementara masyarakat mencari saluran lain untuk menyampaikan kekecewaan. Jika kondisi ini terus dibiarkan, jarak antara negara dan warga bukan hanya melebar secara emosional, tetapi juga secara struktural.Politik yang sehat mensyaratkan lebih dari sekadar kemampuan berbicara. Ia menuntut kemauan untuk mendengar dan keberanian untuk mengoreksi diri. Tanpa umpan balik yang diolah secara serius, negara tidak hanya kehilangan legitimasi, tetapi juga kehilangan arah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
