Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image M. Rafi Ashidiq

Senjakala Mal Kota Besar

Gaya Hidup | 2025-12-30 00:05:09
sumber foto: kompas megapolitan

Sepertinya belum lama ini mal masih menjadi kiblat utama bagi masyarakat kota untuk menghabiskan waktu luangnya. Namun sekarang, kita justru lebih sering mendapati pemandangan eskalator yang membeku dan lorong-lorong sepi dengan deretan toko yang tutup permanen. Fenomena senjakala mal kota besar ini menjadi bukti nyata bahwa pusat perbelanjaan mulai kehilangan taringnya. Ia bukan sekadar masalah bisnis yang merugi, melainkan cerminan dari kegagalan gedung-gedung beton ini dalam mengikuti pergeseran gaya hidup dan kebutuhan ruang publik kita hari ini.

Realitas ini nampak jelas jika kita menelusuri kawasan Tangerang Selatan. Pamulang Square, misalnya, yang dulu berdiri sebagai pusat keramaian paling ikonik bagi warga sekitar, kini tampak mulai kehilangan daya pikatnya di tengah kepungan kafe-kafe modern dan ruang terbuka baru yang lebih "bernafas". Pemandangan serupa juga merambat ke pusat belanja lama seperti Plaza Ciputat. Gedung-gedung ini seolah menjadi raksasa yang kelelahan; mereka tetap berdiri kokoh di pinggir jalan protokol yang macet, namun gagal meyakinkan pengendara yang lewat untuk singgah dan masuk ke dalamnya.

Penurunan ini sebenarnya sejalan dengan data pertumbuhan ekonomi digital. Merujuk pada laporan e-Conomy SEA, nilai transaksi e-commerce di Indonesia diproyeksikan terus tumbuh hingga menembus angka USD 160 miliar pada tahun 2025. Angka fantastis ini berbanding terbalik dengan tingkat kunjungan ke mal-mal tipe "Trade Center" yang terus merosot. Kita harus mulai menyadari bahwa masyarakat, terutama generasi muda, kini lebih mencari "pengalaman" dan "koneksi" daripada sekadar transaksi belanja yang sudah terakomodasi di layar ponsel.

Membiarkan mal-mal tua ini mati perlahan hanya akan menyisakan "gedung hantu" di tengah kota. Daripada dibiarkan terbengkalai, sudah saatnya pemerintah dan pemilik lahan melakukan repurposing lahan. Mengubah mal sepi menjadi ruang kreatif mahasiswa, perpustakaan publik yang modern, atau pusat komunitas adalah cara paling masuk akal untuk menghidupkan kembali nyawa di balik tembok beton yang mulai kusam tersebut.

penulis : Muhammad Rafi Ashidiq - mahasiswa UIN Syarif Hidayatullaj Jakarta

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image