Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kareena Juniar

Korupsi di Tengah Bencana

Politik | 2025-12-28 22:37:46

Bencana seharusnya menjadi ruang paling steril dari kepentingan pribadi. Saat warga kehilangan rumah, mata pencaharian, dan rasa aman, negara dituntut hadir secara penuh melalui kebijakan yang cepat, empatik, dan bersih. Namun kasus dugaan korupsi dana bantuan bencana di Kabupaten Samosir justru memperlihatkan ironi paling telanjang: ketika penderitaan publik dijadikan celah untuk memperkaya diri.

Penetapan Kepala Dinas Sosial dan Pemerintahan Masyarakat Desa Kabupaten Samosir sebagai tersangka oleh Kejaksaan Negeri Samosir membuka tabir rapuhnya tata kelola bantuan bencana. Sebagaimana diberitakan KumparanNEWS pada 28 Desember 2025, dari total dana bantuan Kementerian Sosial sebesar Rp 1,5 miliar, sekitar Rp 516 juta diduga diselewengkan melalui perubahan mekanisme penyaluran dan pemotongan dana untuk kepentingan pribadi. Fakta ini menunjukkan bahwa situasi darurat justru kerap melonggarkan pengawasan dan membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan.

Kasus ini tidak bisa dibaca semata sebagai persoalan hukum individual. Dalam perspektif komunikasi politik, korupsi dana bantuan bencana merupakan krisis legitimasi negara. Aparatur pemerintah bukan hanya pengelola anggaran, tetapi juga penyampai pesan politik bahwa negara hadir dan berpihak pada warganya. Ketika bantuan diselewengkan, pesan yang sampai ke publik adalah sebaliknya: negara hadir secara administratif, tetapi absen secara moral.

Model sistem politik Almond dan Powell membantu memahami kegagalan ini. Aspirasi dan kebutuhan korban bencana merupakan input yang harus direspons negara melalui kebijakan dan distribusi bantuan sebagai output. Namun ketika output tersebut dimanipulasi dan dikorupsi, sistem politik kehilangan fungsinya. Bantuan yang seharusnya menjadi alat pemulihan justru berubah menjadi simbol kegagalan negara dalam menjalankan mandat dasarnya.

Lebih jauh, kasus Samosir memperlihatkan persoalan framing dalam komunikasi kebijakan. Bantuan bencana kerap dipresentasikan sebagai wujud empati dan kehadiran negara. Namun praktik korupsi di balik layar membongkar jurang antara narasi resmi dan realitas di lapangan. Bagi korban bencana, bantuan bukan angka dalam laporan atau konferensi pers, melainkan kebutuhan hidup yang mendesak. Ketika bantuan itu dipotong atau dialihkan, penderitaan warga menjadi berlapis.

Korupsi dalam konteks bencana memiliki dampak politik yang jauh lebih luas dibanding korupsi pada sektor lain. Ia merusak kepercayaan publik pada saat masyarakat berada dalam kondisi paling rentan. Negara tidak hanya gagal melindungi warganya dari bencana alam, tetapi juga gagal melindungi mereka dari penyalahgunaan kekuasaan. Dalam situasi seperti ini, kemarahan publik tidak berhenti pada individu pelaku, melainkan meluas menjadi ketidakpercayaan terhadap institusi.

Kasus ini juga menyingkap lemahnya komunikasi dan transparansi dalam pengelolaan bantuan bencana. Mekanisme penyaluran yang diubah tanpa pengawasan publik menunjukkan bahwa komunikasi kebijakan masih bersifat elitis dan tertutup. Publik, terutama korban bencana, sering kali tidak memiliki akses informasi yang memadai mengenai hak mereka, alur distribusi bantuan, dan mekanisme pengaduan. Ketertutupan inilah yang memperbesar peluang penyimpangan.

Penegakan hukum oleh Kejaksaan Negeri Samosir patut diapresiasi sebagai langkah penting dalam memulihkan kepercayaan publik. Namun, proses hukum saja tidak cukup. Negara perlu memastikan bahwa sistem pengelolaan bantuan bencana dirancang dengan pengawasan berlapis, pelibatan masyarakat, dan komunikasi publik yang terbuka. Tanpa reformasi tata kelola, kasus serupa berpotensi terulang di wilayah lain.

Dalam konteks yang lebih luas, korupsi dana bantuan bencana mencerminkan persoalan etika kekuasaan. Situasi darurat seharusnya memperkuat nilai solidaritas dan tanggung jawab publik, bukan justru melonggarkan integritas. Ketika bencana dijadikan peluang korupsi, yang runtuh bukan hanya anggaran negara, tetapi juga wibawa dan legitimasi pemerintah.

Kasus Samosir menjadi pengingat keras bahwa krisis tidak pernah berdiri sendiri. Di balik banjir dan kerusakan fisik, terdapat krisis tata kelola, krisis etika, dan krisis komunikasi politik. Jika negara ingin benar-benar hadir di tengah bencana, kehadiran itu harus dibuktikan bukan hanya melalui besaran anggaran, tetapi juga melalui kejujuran, transparansi, dan keberpihakan nyata pada korban.

Dalam situasi darurat, kejujuran adalah bentuk perlindungan paling dasar. Tanpanya, bantuan kehilangan makna, dan negara kehilangan kepercayaan publik yang paling berharga.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image