Krisis Sampah di Tangerang Selatan
Tangsel | 2025-12-28 21:40:35Sampah yang menggunung di sejumlah titik Tangerang Selatan tidak lagi bisa dibaca sebagai persoalan teknis semata. Bau menyengat, tumpukan limbah di pinggir jalan, dan pengangkutan yang tersendat berhari-hari telah menjadikannya krisis publik. Ketika pemerintah mengimbau warga menahan sampah sementara, mahasiswa justru datang membawa plastik-plastik berisi limbah ke Kantor Wali Kota. Di titik inilah persoalan lingkungan berubah menjadi persoalan komunikasi politik.
Aksi mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) pada 26 Desember 2025, sebagaimana diberitakan Kompas.com, merupakan bentuk protes atas lambannya penanganan sampah di Tangerang Selatan. Sampah yang diambil dari wilayah Ciputat dijajarkan di gerbang Kantor Pemerintah Kota Tangerang Selatan, disertai tujuh tuntutan, mulai dari pengangkutan rutin hingga peningkatan transparansi kinerja Dinas Lingkungan Hidup. Aksi simbolik ini menandai bahwa persoalan sampah telah menyentuh batas kesabaran publik.
Dalam perspektif opini, aksi tersebut tidak dapat dipandang sekadar sebagai demonstrasi lingkungan. Ia adalah pesan politik yang disampaikan melalui simbol. Ketika saluran komunikasi formal dianggap tidak efektif, ruang publik akan menemukan bahasa alternatifnya sendiri. Sampah dibawa ke pusat kekuasaan sebagai penanda adanya jarak antara narasi pemerintah dan pengalaman warga sehari-hari.
Pemerintah Kota Tangerang Selatan kemudian menetapkan status tanggap darurat pengelolaan sampah selama 14 hari, terhitung sejak 23 Desember 2025 hingga 5 Januari 2026. Penetapan ini tertuang dalam Keputusan Wali Kota Tangerang Selatan Nomor 600.1.17.3/Kep.500-Huk/2025. Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Tangsel, TB Asep Nurdin, menyatakan bahwa kebijakan tersebut ditujukan untuk mempercepat penanganan krisis sampah. BPBD Tangsel juga membentuk sistem komando tanggap darurat dan satuan tugas khusus, sebagaimana dilaporkan Kompas.com.
Namun, kebijakan darurat tidak serta-merta menutup persoalan komunikasi. Dalam kerangka komunikasi politik, khususnya model sistem politik Almond dan Powell, aspirasi masyarakat berfungsi sebagai input dan kebijakan pemerintah sebagai output. Dalam kasus Tangerang Selatan, input berupa keluhan warga dan aksi mahasiswa baru menghasilkan output setelah tekanan publik menguat. Ini menunjukkan bahwa saluran komunikasi politik tidak bekerja optimal sejak awal, sehingga respons muncul ketika krisis sudah terlanjur membesar.
Persoalan lainnya terletak pada cara masalah dibingkai. Pemerintah cenderung mengomunikasikan krisis sampah sebagai kendala teknis dan situasional. Sebaliknya, warga dan mahasiswa memaknainya sebagai krisis tata kelola yang berdampak langsung pada kesehatan dan kualitas hidup. Perbedaan framing ini memperlebar jarak komunikasi dan melemahkan kepercayaan publik. Ketika pesan resmi tidak sejalan dengan realitas yang dirasakan masyarakat, komunikasi kehilangan daya persuasinya.
Aksi mahasiswa UMJ memperlihatkan peran kelompok non-negara sebagai aktor komunikasi politik. Mereka tidak hanya menyampaikan ketidakpuasan, tetapi juga membawa tuntutan yang terstruktur dan berbasis masalah konkret. Ini menandakan bahwa tekanan politik yang muncul bukan semata akibat kegagalan teknis pengelolaan sampah, melainkan kegagalan pemerintah membangun komunikasi yang dialogis, empatik, dan responsif.
Dalam ruang publik demokratis, demonstrasi semacam ini seharusnya dibaca sebagai indikator gangguan komunikasi, bukan sekadar gangguan ketertiban. Ketika komunikasi formal bersifat satu arah dan administratif, ruang publik alternatif seperti aksi simbolik akan mengambil alih fungsi dialog. Dalam konteks Tangerang Selatan, sampah tidak lagi sekadar limbah, melainkan simbol kritik terhadap cara kekuasaan berkomunikasi dengan warganya.
Krisis sampah Tangerang Selatan memberi pelajaran penting bahwa kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari pengelolaan pesan. Status tanggap darurat dan pembentukan satuan tugas memang penting, tetapi tanpa komunikasi yang jujur, transparan, dan meyakinkan, kebijakan berisiko kehilangan legitimasi. Sampah mungkin dapat diangkut, tetapi jika komunikasi politik tetap sunyi dan defensif, krisis kepercayaan akan terus menggunung.
Dalam kasus ini, sampah telah berbicara sebagai pesan politik. Tinggal bagaimana pemerintah memilih untuk benar-benar mendengarkannya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
