Broken Home Berpengaruh Signifikan terhadap Kesehatan Mental Anak
Curhat | 2025-12-28 20:09:34Bagi seorang anak, rumah seharusnya menjadi tempat paling aman di dunia. Tempat pulang ketika lelah, tempat berbagi cerita tanpa takut dimarahi, dan tempat di mana ia merasa dicintai tanpa syarat. Di dalam keluarga, anak belajar tentang rasa percaya, kehangatan, dan arti kebersamaan. Namun kenyataannya, tidak semua anak tumbuh dalam keluarga yang utuh dan harmonis. Banyak anak yang harus menjalani hidup dalam kondisi broken home, di mana orang tua berpisah, sering bertengkar, atau tidak lagi hadir secara emosional. Kondisi ini bukan hanya memengaruhi kehidupan orang dewasa, tetapi juga meninggalkan dampak besar terhadap kesehatan mental anak.
Broken home bukan sekadar soal perceraian. Ada anak yang orang tuanya masih tinggal serumah, tetapi suasana rumah dipenuhi pertengkaran, sikap saling diam, atau ketegangan berkepanjangan. Bagi anak, situasi seperti ini sama menyakitkannya dengan perpisahan. Anak hidup dalam ketidakpastian emosional, tidak tahu kapan suasana rumah akan berubah menjadi konflik. Dalam kondisi seperti ini, anak sering merasa tidak aman, cemas, dan bingung, tetapi tidak tahu harus bercerita kepada siapa.
Dalam psikologi anak, keluarga merupakan fondasi utama kesehatan mental. Ketika fondasi ini goyah, anak menjadi lebih rentan mengalami gangguan emosional seperti kecemasan, stres, dan depresi. Anak belum memiliki kemampuan emosional yang matang untuk memahami konflik orang dewasa. Akibatnya, banyak anak yang secara tidak sadar menyalahkan diri sendiri. Mereka berpikir bahwa perpisahan orang tua terjadi karena mereka nakal, tidak pintar, atau tidak cukup baik sebagai anak.
Salah satu contoh nyata dapat dilihat dari kasus seorang anak usia sekolah dasar yang mengalami perubahan perilaku drastis setelah orang tuanya bercerai. Sebelum perceraian, anak tersebut dikenal ceria dan aktif di kelas. Namun setelah kedua orang tuanya berpisah, ia menjadi pendiam, sering melamun, dan prestasi belajarnya menurun. Guru mengira anak tersebut malas belajar, padahal setelah ditelusuri, ia sering tidak bisa tidur karena mendengar pertengkaran orang tuanya sebelum perceraian. Anak ini merasa takut kehilangan salah satu orang tuanya dan selalu khawatir tidak akan dicintai lagi. Kasus seperti ini menunjukkan bahwa luka mental anak sering kali tidak terlihat, tetapi dampaknya nyata.
Kecemasan merupakan dampak paling umum yang dialami anak broken home. Anak bisa merasa takut ditinggalkan, takut tidak diperhatikan, atau takut suasana rumah kembali kacau. Rasa cemas ini tidak selalu muncul dalam bentuk tangisan. Banyak anak justru memendam perasaan dan menunjukkan gejala fisik seperti sakit perut, sakit kepala, atau sulit tidur. Ada pula anak yang menjadi terlalu penurut karena takut memicu konflik, sehingga kebutuhan emosionalnya sendiri terabaikan.
Selain kecemasan, depresi juga menjadi risiko serius. Anak broken home bisa merasa hidupnya kosong dan tidak berarti. Sebuah kasus lain menunjukkan seorang remaja SMP yang orang tuanya berpisah dan masing-masing sibuk dengan kehidupan baru. Remaja tersebut merasa diabaikan dan mulai kehilangan semangat belajar. Ia sering merasa sedih tanpa alasan jelas, menarik diri dari pergaulan, dan menganggap dirinya tidak penting bagi siapa pun. Dalam kasus ini, depresi muncul bukan karena perpisahan itu sendiri, tetapi karena kurangnya kehadiran emosional orang tua setelah perceraian.
Jika dibandingkan dengan anak dari keluarga harmonis, perbedaannya cukup mencolok. Anak dari keluarga harmonis cenderung memiliki tempat aman untuk mengekspresikan perasaan. Ketika mereka sedih, marah, atau kecewa, orang tua hadir untuk mendengarkan. Lingkungan emosional yang stabil ini membantu anak mengembangkan kemampuan mengelola emosi dengan sehat. Anak belajar bahwa masalah bisa dibicarakan dan diselesaikan tanpa harus menyimpan luka batin.
Sebaliknya, anak dari keluarga broken home sering merasa harus menghadapi semuanya sendiri. Mereka jarang memiliki ruang aman untuk bercerita. Hal ini membuat anak tumbuh dengan perasaan terisolasi secara emosional. Sebuah contoh nyata terlihat pada seorang anak SMA yang sering terlihat agresif di sekolah. Setelah mendapatkan pendampingan konselor, diketahui bahwa ia tumbuh di rumah dengan konflik berkepanjangan. Setiap kali pulang ke rumah, ia merasa tertekan dan tidak dihargai. Agresivitas di sekolah ternyata menjadi cara ia meluapkan emosi yang selama ini dipendam.
Broken home juga memengaruhi cara anak memandang dirinya sendiri. Banyak anak merasa tidak berharga, merasa gagal sebagai anak, atau merasa menjadi penyebab masalah keluarga. Konsep diri yang negatif ini sangat berbahaya bagi perkembangan mental jangka panjang. Anak dari keluarga harmonis umumnya mendapatkan validasi emosional yang cukup, seperti pujian, dukungan, dan rasa dihargai. Hal ini membuat mereka tumbuh dengan rasa percaya diri yang lebih stabil.
Dari sisi akademik, anak broken home juga lebih berisiko mengalami penurunan prestasi. Beban mental yang dibawa dari rumah membuat anak sulit berkonsentrasi di sekolah. Ada kasus seorang siswa yang sebelumnya berprestasi, tetapi setelah orang tuanya sering bertengkar, nilainya menurun drastis. Setiap kali ujian, pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang kondisi rumah. Ini menunjukkan bahwa kesehatan mental sangat memengaruhi kemampuan belajar anak.
Meski demikian, tidak semua anak broken home berakhir dengan masalah serius. Banyak anak yang mampu bertahan dan bahkan berkembang dengan baik, terutama jika mendapatkan dukungan yang tepat. Kehadiran satu orang tua yang konsisten, kakek-nenek yang peduli, guru yang perhatian, atau konselor sekolah dapat menjadi penopang penting. Dukungan ini membantu anak memahami bahwa mereka tidak sendirian dan bahwa kondisi keluarga bukanlah kesalahan mereka.
Peran orang tua tetap sangat krusial, meskipun keluarga tidak lagi utuh. Anak tidak membutuhkan orang tua yang sempurna, tetapi orang tua yang hadir secara emosional. Menjaga komunikasi yang sehat, tidak melibatkan anak dalam konflik, dan tetap menunjukkan kasih sayang dapat mengurangi dampak negatif broken home terhadap mental anak.
Sekolah dan lingkungan sekitar juga memiliki tanggung jawab besar. Guru yang peka terhadap perubahan perilaku anak dapat menjadi pihak pertama yang membantu. Layanan konseling di sekolah memberikan ruang aman bagi anak untuk mengekspresikan perasaan tanpa rasa takut. Ketika anak merasa dipahami dan didukung, luka emosional akibat broken home dapat perlahan sembuh.
Kesimpulannya, broken home berpengaruh signifikan terhadap kesehatan mental anak. Anak dari keluarga broken home lebih rentan mengalami kecemasan, depresi, gangguan perilaku, dan kesulitan akademik dibandingkan anak dari keluarga harmonis. Namun, dengan dukungan emosional yang tepat dan lingkungan yang peduli, anak tetap memiliki peluang besar untuk tumbuh sehat secara mental. Anak tidak membutuhkan keluarga yang sempurna, tetapi kehadiran, empati, dan kasih sayang yang nyata dalam hidup mereka.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
