Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Balqis Meira Salwa

Kreativitas Sutradara dan Pengarang dalam Transformasi Cerita

Sejarah | 2025-12-27 02:57:45
Foto menggambarkan sebuah dinding yang dipenuhi berbagai peralatan audio dan video bergaya vintage. Sumber gambar: https://pixabay.com.

Perbedaan Karakteristik Novel dan Film dalam Proses Ekranisasi

Ekranisasi merupakan transformasi hasil kerja. Proses ekranisasi dan perubahan ini dapat terjadi ketika teks sastra diubah ke dalam bentuk film, sedangkan di sisi lain teks sastra dan film adalah dua hal yang berbeda sehingga karakteristiknya pun tidak sama. Teks sastra merupakan hasil karya individu atau kolaborasi antar individu, sedangkan film merupakan hasil kerja tim atau kelompok. Teks sastra, dalam hal ini novel, tidak habis dibaca dalam sekali duduk. Sedangkan film hanya berdurasi kurang lebih 120 menit. Dari situ, perubahan dapat langsung terlihat yaitu pada durasi waktu. Durasi waktu tersebut dapat mempengaruhi perubahan-perubahan lain pada film yang mengadaptasi novel. Karena durasi waktu yang singkat, sutradara harus melakukan beberapa perubahan pada hal-hal tertentu. Dalam konteks ini ekranisasi bukanlah sekadar proses pemindahan cerita dari novel ke layar, melainkan sebuah tindakan kreatif yang sarat dengan pilihan dan kompromi. Perbedaan karakteristik antara teks sastra dan film menuntut sutradara untuk menafsirkan ulang, bukan hanya memangkas durasi, tetapi juga mengubah struktur, detail, dan bahkan nuansa cerita. Oleh karena itu, setiap adaptasi film harus dipahami sebagai karya baru yang berdiri di atas interpretasi, bukan sekadar cerminan teks asli

Novel dapat dibaca kapan saja dan dapat dihabiskan oleh kehendak pembaca, sementara film dibatasi waktunya. Film-film yang diadaptasi dari novel di Indonesia bermacam-macam, seperti Laskar Pelangi, Perahu Kertas dan lain sebagainya. Film-film yang diangkat dari judul novel yang sama tersebut tentunya memiliki beberapa perubahan di sana-sini dan tidak semua yang terdapat di novel dapat disajikan di film.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada proses ekranisasi dilakukan dengan beberapa alasan (Wahyuni dalam Nugroho, 2021:19 ). Pertama, film memiliki durasi waktu yang pendek sehingga beberapa unsur harus diubah atau dihilangkan. Kedua, untuk mendukung karakter yang ada dalam novel. Ketiga, untuk membuat film menjadi semakin menarik. Keempat, perubahan-perubahan tersebut masih relevan dengan cerita secara keseluruhan. Maka dari itu, perubahan dalam proses ekranisasi bukanlah sekadar kebutuhan teknis, melainkan keputusan kreatif yang menentukan kualitas adaptasi. Keterbatasan durasi, tuntutan penguatan karakter, dan upaya menciptakan daya tarik visual menuntut sutradara untuk menafsirkan ulang cerita agar tetap relevan dan komunikatif. Dengan demikian, setiap perubahan harus dipahami sebagai strategi artistik untuk menyesuaikan medium film, bukan sebagai bentuk pengkhianatan terhadap teks asli.

Perbedaan Proses Produksi Film dan Karya Sastra dalam Deekranisasi

Proses kreatif deekranisasi terdiri atas dua pokok utama yang perlu dikaji yaitu film dan novel. Sumber utama deekranisasi berpusat pada alih wahana yang pada dasarnya terjadi sebuah peralihan wahana dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Deekranisasi sastra merupakan salah satu bentuk alih wahana, yaitu pengubahan film ke novel. Dengan demikian Deekranisasi merupakan perubahan imaji visual menjadi imaji linguistik. Salah satu fenomena novelisasi (alih wahana film ke novel) yaitu Biola tak Berdawai. Hal tersebut terjadi karena kepopuleran film Biola tak Berdawai sutradara Sekar Ayu Asmara. Film tersebut memeroleh penghargaan kategori "Aktris Terbaik" di Asia-Pasific Film Festival Award tahun 2003 dan kategori "Penulis Skenario terpuji" di Festival Film Bandung tahun 2004. novel Biola Tak Berdawai karya Seno Gumira Adjidarma sudah dipesan 12.000 eksemplar sebelum novel diterbitkan. Selain demi memeroleh ketenaran yang sama dengan filmnya, novelisasi biasanya dilakukan sebagai bagian dari promosi film (Permatasari dalam Rahmah, dkk., 2021:231).

Dalam proses produksinya sendiri karya sastra dan film tentu berbeda. Karya sastra dalam produksinya hanya dikerjakan oleh individu. Sedangkan film diproduksi bersama melibatkan sejumlah besar orang, dan melakan waktu mulai dari beberapa bulan hingga untuk beberapa tahun menyelesaikannya, meski bisa lebih lama lagi jika muncul masalah produksi. Jika karya sastra mengekspresikan penghidupan suatu cerita dengan kata. Berbeda dengan film yang menggabungkan berbagai bidang yaitu musik, sinematografi, busana dan lain sebagainya. Untuk biaya produksi pun berbeda pengarang dalam mewujudkan imajinasinya tidaklah mengeluarkan biaya yang besar. Berbeda dengan film yang biaya produksinya mahal karena Produksi film berjalan dalam tiga tahap yaitu pra-produksi, produksi dan pasca-produksi (Rahmah, dkk., 2021:231). Perbedaan mendasar antara karya sastra dan film terletak pada kompleksitas proses penciptaannya. Film merupakan hasil kerja kolaboratif yang memadukan berbagai unsur seni dan teknologi, serta membutuhkan waktu dan biaya yang jauh lebih besar dibandingkan penulisan karya sastra. Hal ini menjadikan film bukan hanya sebuah adaptasi, tetapi sebuah produk industri kreatif yang menuntut koordinasi, perencanaan, dan sumber daya yang signifikan.

Ada beberapa alasan seorang pekerja film mentransformasikan sebuah film untuk dinovelkan yaitu diharapkan dapat memeroleh ketenaran yang sama dengan filmnya, novelisasi biasanya dilakukan sebagai bagian dari promosi film dan menceritakan hal-hal yang tidak bisa diceritakan kerena keterbatasan waktu/durasi. Sehingga transformasi film ke dalam karya sastra atau sebaliknya selalu menimbulkan perubahan, sebagai akibat dari perbedaan media dan hasil interpretasi pengarang dan sutradara perubahan tersebut dapat berupa penambahan maupun pengurangan jalannya cerita. Pengarang dapat memberikan detail-detail yang sesuai dengan imajinasinya namun tanpa keluar dari inti cerita. Pengarang juga dapat mengubah alur, tokoh, latar, dan dialog yang ada sehingga menjadikan cerita lebih menarik untuk dinikmati. Akan tetapi secara umum, publik yang telah menyaksikan film dan membaca novel hasil deekranisasi secara tidak langsung akan membandingkan dan mencocokakan kedua karya tersebut, lalu ketika terdapat unsur-unsur yang tidak cocok diantara keduanya, publik akan merasa tidak puas dan kecewa terhadap hasil transformasi tersebut (Rahmah, dkk., 2021:232).

Simpulan

Transformasi karya sastra dan film melalui ekranisasi dan deekranisasi menunjukkan bahwa perpindahan wahana bukanlah proses teknis semata, tetapi tindakan kreatif yang penuh interpretasi. Dalam ekranisasi, perbedaan karakteristik novel dan film—terutama durasi, bahasa, dan kebutuhan visual—menuntut sutradara melakukan pengurangan, penambahan, dan perubahan variasi sebagai strategi artistik. Karena itu, film adaptasi tidak identik dengan novel, tetapi hadir sebagai karya baru dengan logika sinematiknya sendiri.

Sebaliknya, deekranisasi memperlihatkan bagaimana imaji visual diterjemahkan menjadi imaji linguistik. Novel hasil adaptasi film berfungsi memperluas cerita, menambah detail, dan menghadirkan kedalaman yang tidak terakomodasi dalam durasi film. Proses ini juga menjadi strategi industri untuk memperpanjang daya hidup dan popularitas karya.

Perbedaan mendasar antara kedua medium—baik dalam estetika, produksi, maupun biaya—membuat setiap transformasi pasti memunculkan perubahan sesuai interpretasi kreatif penciptanya. Meskipun publik kerap membandingkan keduanya, keberhasilan adaptasi bergantung pada relevansi dan kemampuan mempertahankan esensi cerita.

Secara keseluruhan, ekranisasi dan deekranisasi menegaskan bahwa adaptasi adalah bentuk pembacaan ulang, bukan penyalinan. Keduanya membuka peluang lahirnya makna dan pengalaman estetik baru, serta menunjukkan bahwa sastra dan film merupakan medium yang saling memperkaya.

Daftar Pustaka

Nugroho, F. S. (2024). Ekranisasi Komik Naruto Karya Masashi Kishimoto ke Anime Naruto Karya Hayato Date (Doctoral dissertation, Universitas PGRI Madiun).

Permatasari, Annisa. 2018. “Alih Wahana Film Kartini Novel Kartini Karya Abidah El Khalieqy Annisa Permatasari Abstrak.” BAPALA 5(2): 1–10.

Rahmah, N. S., Setiadi, D., & Firdaus, A. (2021). Transformasi Film ke Novel Susah Sinyal Karya Ika Natassa dan Ernest Prakasa. Literasi: Jurnal Bahasa dan Sastra Indonesia serta Pembelajarannya, 5(2), 230-242.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image