Alih Wahana Sapardi Djoko Damomo (Sastra Bandingan)
Sastra | 2025-11-09 08:55:06
Pengertian Alih Wahana
Alih wahana adalah proses mengubah satu bentuk karya seni menjadi bentuk kesenian lain. Kalau penerjemahan berarti pengalihan dari satu bahasa ke bahasa lain, maka alih wahana berarti pengalihan dari satu medium ke medium lain. Misalnya, karya fiksi bisa diubah menjadi tari, drama, atau film; sementara puisi dapat dialihkan menjadi lagu atau lukisan. Sebaliknya, karya film atau drama juga bisa dijadikan novel, dan lukisan dapat menginspirasi lahirnya puisi. Kajian mengenai alih wahana penting dilakukan karena dapat memperdalam pemahaman terhadap hakikat sastra. Melalui penelitian semacam ini, kita bisa melihat bagaimana unsur-unsur sastra beradaptasi ketika berpindah ke medium yang baru (Damono 2009:11).
Bagian ini menegaskan bahwa alih wahana adalah bentuk transformasi lintas seni. Sebuah karya tidak hanya bisa diterjemahkan dalam bahasa lain, tetapi juga “diterjemahkan” dalam bentuk estetika baru. Alih wahana bukan sekadar menyalin isi cerita, tetapi menafsirkan ulang makna dan nilai karya melalui medium lain misalnya dari teks menjadi visual atau audio. Proses ini penting karena menunjukkan bahwa sastra bersifat dinamis, ia dapat hidup di berbagai bentuk seni tanpa kehilangan ruhnya.
Keterbukaan Seni Tradisional terhadap Alih Wahana.
Sama seperti bentuk teater rakyat lain seperti Komidi Stambul, Mendu, atau Opera Melayu pada masa sebelum kemerdekaan, ketoprak adalah jenis pertunjukan yang sangat terbuka terhadap pengaruh luar. Ketoprak tidak membatasi diri pada cerita tertentu seperti kisah dari Timur Tengah, melainkan mengambil berbagai sumber dari dongeng, legenda, film, maupun drama luar negeri. Dalam praktiknya, ketoprak tidak membeda-bedakan asal cerita dan dengan bebas menyerap unsur dari luar untuk memperkaya pertunjukan (Damono 2009:11).
Jadi, ini menggambarkan bahwa bagaimana seni tradisional, khususnya ketoprak, telah lama menjadi contoh nyata dari praktik alih wahana. Ketoprak mengadaptasi berbagai bentuk cerita dari berbagai budaya, membuktikan bahwa alih wahana bukan hal baru dalam kesenian Indonesia. Sikap terbuka terhadap pengaruh luar justru memperkaya tradisi lokal, menunjukkan bahwa kesenian yang hidup adalah kesenian yang mampu berinteraksi dengan budaya lain tanpa kehilangan identitasnya.
Perubahan dalam Proses Alih Wahana dari Sastra ke Film
Ketika sebuah karya sastra diadaptasi menjadi film atau sinetron, perubahan bentuk tidak bisa dihindari. Novel yang berbentuk tulisan memungkinkan pembaca menikmati cerita kapan pun dan di mana pun. Sebaliknya, film atau pementasan dibatasi oleh waktu dan tempat. Selain itu, cara menikmati keduanya juga berbeda: membaca novel adalah aktivitas individual, sedangkan menonton film adalah pengalaman kolektif. Karena perbedaan inilah, proses alih wahana dari novel ke film menuntut penyesuaian dalam aspek latar, penokohan, dan penyajian visual (Damono 2009:121).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa setiap medium seni memiliki cara kerja dan pengalaman estetikanya sendiri. Ketika karya sastra dialihwahanakan menjadi film, ia harus disesuaikan agar dapat diterima oleh penonton, bukan pembaca. Hal ini membuat hasilnya tidak bisa sama dengan karya asalnya, karena film memiliki keterbatasan durasi dan bentuk visual. Namun, justru di sinilah nilai kreatifnya, bagaimana pembuat film menafsirkan ulang teks menjadi pengalaman visual yang baru tanpa menghilangkan makna inti karya sastra tersebut.
Bahasa Film sebagai Bentuk Alih Wahana
Dalam teori film, banyak istilah yang diadaptasi dari teori sastra karena film muncul jauh setelah sastra. Film memiliki bahasanya sendiri, yang tata bahasanya bisa dianalogikan dengan struktur karya fiksi. Jika dalam sastra ada urutan kata dan kalimat, dalam film ada urutan gambar atau shot. Setiap shot memiliki tata urutan yang menyusun makna keseluruhan. Bedanya, film diciptakan melalui kerja kolektif, sutradara, penulis skenario, editor, dan ahli di bidang suara, gerak, serta rupa bekerja sama untuk menciptakan karya yang utuh (Damono 2009:122).
Bahwa film dan sastra memiliki struktur naratif yang sejajar, meskipun berbeda medium. Film bisa disebut sebagai “bahasa visual” yang dibangun dari gambar dan suara, sementara sastra adalah bahasa tulisan. Karena itu, dalam alih wahana, penerjemahan dari teks ke film bukan sekadar memindahkan cerita, tetapi mengubah cara berkomunikasi makna. Perbedaan bentuk ini menegaskan bahwa setiap medium memiliki “gramatikanya” sendiri. Di sisi lain, kolaborasi banyak orang dalam produksi film juga memperlihatkan bahwa makna karya hasil alih wahana adalah hasil tafsir kolektif, bukan pribadi tunggal seperti pengarang dalam sastra.
Daftar Pustaka
Damono, Sapardi Djoko. 2009. Sastra Bandingan. Ciputat: Editum.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
