Customer Service: Pekerjaan Yang Mentally Draining
Risalah | 2025-12-26 15:39:31
Hujan turun pada Minggu, 16 Oktober 2025. Jalanan penuh dengan genangan air dan kabut berhembusan entah berantah. Di tengah guyuran tersebut, berdirilah sebuah bangunan megah di antara jalanan wilayah itu, Luwes Karanganyar.
Kehidupan nampak mengalir dari bangunan ini, baik mereka yang sekadar berteduh maupun berbelanja. Lantai keramik seputih tulang menyambut tiap langkah pengunjung, dan terpampang berbagai susunan pakaian penuh harmoni sepanjang jalan masuk dalam atrium. Warna per warna, baju per baju, baris per baris, tersusun rapi hingga seolah menyembunyikan salah satu sudut.
Dari sudut tersembunyi tersebut, nampak seorang gadis berhijab hitam, menggunakan kaos berwarna hitam pula. Wajahnya nampak letih, tangannya mengotak-atik keyboard sembari menggenggam gulungan uang. Ia sendirian, disaat orang berlalu lalang untuk mengambil barang yang ingin dibeli, Ia disana memiliki dunianya sendiri.Ia merupakan kasir sebuah toko pakaian, Reisita namanya.
Gadis 17 tahun itu berkata bahwa sudah tiga bulan lamanya ia bekerja di Luwes Karanganyar, ia bekerja sesuai dengan arahan dari sekolahnya karena masih mengemban ilmu di SMK Muhammadiyah 2 Karanganyar.“Saya lebih senang bekerja sebagai kasir seperti ini, dulu saya bekerja bagian CS (Customer Service), baru dua hari sudah sakit,” katanya, tertawa kecil.
Ada ironi yang tersembunyi di balik meja Customer Service (CS) di tengah kegembiraan ritel modern yang dikemas dengan janji "pengalaman pelanggan terbaik." Salah satu pilar utama citra merek adalah senyuman pekerja CS, sebuah penampilan yang diwajibkan untuk mengatasi tugas yang sulit dalam menghadapi tuntutan para customer. Toko-toko yang mengutamakan layanan prima dan mengutamakan "pelanggan adalah raja" seringkali secara tidak sadar menganggap pekerja CS sebagai tameng psikologis yang harus menangani kegagalan tanpa menunjukkan kelemahan mereka.
Reisita memandangi seorang pelanggan yang terlihat sepantar dengan dirinya seraya berkata, "Customer Service itu tugasnya berat, apalagi jika posisinya sama-sama capek." Tatapan mata Reisita adalah cermin ketiadaan, memantulkan kembali kekosongan setelah mengingat kalimat-kalimat pedih pelanggan menyayat habis lapisan tipis kesabarannya. Di dalam dirinya, pada hari itu terasa seperti pecahan kaca yang ia sapu dengan senyum yang kian rapuh.
Bukan hanya Reisita yang merasakan bobot tanggung jawab ini. Keletihan ini ternyata adalah nyanyian sunyi yang diresapi oleh seluruh rekan seprofesi. Ia melanjutkan, bahwa ketenangan di meja CS adalah ilusi, karena banyak temannya juga mengalami luka dan konflik internal yang sama. Bagi mereka, menjadi pekerja Customer Service telah melampaui dari apa yang pernah dijanjikan. Mereka bertugas untuk menjadi orang yang paling rentan, benteng pertama yang dibutuhkan untuk tetap utuh menghadapi setiap gelombang ketidakpuasan hingga amarah customer.
Mereka memikul beban yang sangat besar, termasuk menjaga transaksi serta kepercayaan, reputasi, dan jangkauan bisnis, dan mereka harus tersenyum meskipun hati mereka merasa seperti pertahanan mereka retak karena tekanan terus menerus. Inilah nyanyian sedu para pekerja Customer Service yang para customer tak dengar.
"Tapi, semua itu menurut saya sudah terbayarkan dengan gaji yang diberikan," tepisnya, raut wajahnya yang memelas sesaat berganti dengan nada kepuasan.Ternyata, beban ganda yang dipikul Reisita di balik gemerlap ritel Luwes memiliki akar yang jauh di pinggiran.
Ia menceritakan bahwa dia bangun sebelum matahari terbit, tinggal di daerah perbatasan antara Karanganyar dan Tawangmangu, sebuah jarak yang membentang jauh dari hiruk pikuk tempatnya bekerja. Pulang-pergi, ia menggunakan bus umum untuk perjalanan yang melelahkan itu, sehingga setiap jam kerja bergantung pada pelayanan dan disiplin. Namun, perbedaan geografis ini tetap membuatnya bahagia: upah minimum regional (UMR) di tempatnya bekerja jauh lebih tinggi daripada UMR di wilayah domisilinya.
Perbedaan ini sangat penting.Meskipun gajinya mungkin dianggap standar di kota, bagi Reisita, Ia merasa tenang karena beban berat yang ia tanggung di meja CS sebanding dengan ketenangan di rumah. Kebutuhan utamanya sudah terpenuhi di wilayah tempat ia tinggal, jadi letihnya perjalanan dan konflik emosional sehari-hari terasa cukup untuk mempertahankan stabilitas keluarganya.
Di saat Reisita ingin melanjutkan perbincangannya, datang seorang ibu-ibu dengan dua set baju di genggamannya. Diletakannya set baju tersebut di atas meja kasir sambil menatap Reisita dengan lembut.
“Mbak, ini ya,”
“Nggih Bu, ini saja ya?” jawab Reisita, dengan senyum tipis, sembari tangannya mulai merapikan baju yang diletakan di atas mejanya.
Ia melanjutkan pekerjaannya kembali, dengan cekatan. Itulah rutinitas para pekerja untuk mencari nafkah.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
