Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Andreansyah Putra Nasution

Ketika Persoalan Sosial Menuntut Kehadiran Hukum

Eduaksi | 2025-12-25 14:12:45
It's crucial for every employee to know their rights and understand the regulations that govern their workplace.Attorneys.Media by Pinterest

Persoalan sosial kerap berkembang lebih cepat daripada kemampuan hukum untuk meresponsnya. Ketimpangan ekonomi, konflik ruang hidup, kriminalisasi warga kecil, hingga ketidakadilan layanan publik terus muncul dalam berbagai bentuk. Situasi ini menunjukkan bahwa hukum tidak cukup hanya hadir sebagai seperangkat aturan tertulis, melainkan harus mampu menjawab realitas sosial yang dihadapi masyarakat sehari-hari.

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa ketimpangan sosial masih menjadi tantangan serius, meskipun pertumbuhan ekonomi relatif stabil. Di sisi lain, laporan berbagai lembaga pemantau kebijakan publik mencatat bahwa banyak konflik sosial bermula dari kebijakan yang tidak sepenuhnya mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat terdampak. Fakta ini mempertegas bahwa persoalan sosial tidak berdiri sendiri; ia selalu memiliki dimensi hukum yang menentukan arah penyelesaiannya.

Salah satu contoh yang kerap muncul adalah konflik antara warga dan proyek pembangunan di wilayah tempat tinggal mereka. Dalam sejumlah kasus, masyarakat mengeluhkan minimnya partisipasi publik sejak tahap perencanaan. Ketika penolakan disampaikan, sebagian warga justru berhadapan dengan proses hukum yang rumit. Alih-alih menjadi sarana perlindungan, hukum dirasakan sebagai mekanisme yang menekan, terutama bagi mereka yang memiliki keterbatasan akses informasi dan pendampingan hukum.

Contoh lain dapat dilihat dalam persoalan kriminalisasi terhadap warga yang memperjuangkan hak sosialnya. Tidak sedikit kasus di mana tindakan protes atau upaya mempertahankan ruang hidup justru berujung pada proses pidana. Fenomena ini menunjukkan adanya jarak antara semangat keadilan sosial dan praktik penegakan hukum di lapangan. Hukum yang seharusnya melindungi justru kerap hadir dalam bentuk yang kaku dan prosedural.

Di titik inilah persoalan sosial menuntut kehadiran hukum yang lebih substantif. Hukum tidak boleh berhenti pada kepatuhan formal terhadap prosedur, tetapi harus memastikan bahwa keadilan benar-benar dirasakan. Prinsip persamaan di hadapan hukum akan kehilangan maknanya jika akses terhadap keadilan masih timpang. Ketika masyarakat kecil harus berjuang keras untuk didengar, sementara kepentingan besar relatif mudah memperoleh legitimasi hukum, kepercayaan publik pun perlahan terkikis.

Pendekatan hukum yang terlalu formalistik juga berisiko memperparah persoalan sosial. Aturan yang disusun tanpa memahami konteks sosial sering kali melahirkan konflik baru. Oleh karena itu, dibutuhkan hukum yang responsif—hukum yang mampu membaca realitas, membuka ruang dialog, dan mengedepankan pencegahan konflik dibandingkan represivitas. Dalam konteks ini, hukum seharusnya berfungsi sebagai jembatan antara kepastian aturan dan rasa keadilan masyarakat.

Peran negara menjadi sangat krusial. Negara tidak cukup berperan sebagai pembuat regulasi, tetapi juga sebagai penjamin keadilan sosial. Setiap kebijakan publik yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat perlu diuji tidak hanya dari aspek legalitas, tetapi juga dari sisi keadilan dan keberterimaan sosial. Ketika kebijakan gagal melindungi kelompok rentan, maka persoalan yang muncul bukan semata kegagalan sosial, melainkan juga kegagalan hukum.

Namun, tanggung jawab ini tidak sepenuhnya berada di pundak negara. Media, akademisi, dan masyarakat sipil memiliki peran penting dalam memastikan persoalan sosial tidak luput dari perhatian hukum. Media berperan mengangkat suara yang kerap terpinggirkan, akademisi menyediakan analisis kritis, sementara masyarakat sipil menjaga agar hukum tetap berpijak pada nilai keadilan.

Berbagai studi menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap hukum meningkat ketika hukum mampu menyelesaikan persoalan nyata yang mereka hadapi. Artinya, wibawa hukum tidak dibangun melalui kekerasan sanksi, melainkan melalui relevansi dan keberpihakan pada keadilan. Hukum yang kuat adalah hukum yang hadir ketika masyarakat membutuhkannya, bukan hanya ketika aturan dilanggar.

Pada akhirnya, persoalan sosial selalu menjadi ujian bagi hukum. Ketika hukum mampu hadir secara adil, manusiawi, dan responsif, ia akan menjadi fondasi yang memperkuat kehidupan bersama. Sebaliknya, jika hukum terus berjarak dengan realitas sosial, konflik dan ketidakpercayaan akan terus berulang.

Karena itu, membicarakan persoalan sosial sejatinya adalah membicarakan masa depan hukum itu sendiri. Kehadiran hukum yang berpihak pada keadilan sosial bukan sekadar pilihan kebijakan, melainkan keharusan moral dan konstitusional. Tanpa itu, hukum berisiko kehilangan maknanya sebagai pelindung, dan masyarakat akan terus mencari keadilan di luar sistem yang seharusnya menjamin mereka.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image