Selamatkan Jiwa Anak: Upaya Mengurangi Fenomena Fatherless
Info Terkini | 2025-12-25 11:37:12Fenomena Fatherless di Indonesia menjadi salah satu isu sosial yang mengkhawatirkan. Fatherless adalah situasi dimana anak tidak mendapatkan pengasuhan, kehadiran, maupun peran ayah meskipun secara fisik masih ada atau tidak ada karena kematian dan perceraian. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, 15,9 juta anak atau setara dengan 20,1 persen anak di Indonesia berpotensi tumbuh tanpa pengasuhan ayah atau fatherless.
Sejatinya, peran seorang ayah sangat dibutuhkan ketika anak merasa kesulitan maka orang pertama yang akan dicari adalah sosok ayah. Namun banyak anak yang tinggal bersama dengan ayah, tetapi tidak merasakan peran yang utuh. Serta treatment “ayah tugas nya sebagai pencari nafkah, sedangkan ibu tugasnya mendidik dan membentuk karakter” semakin lama menjadi jarak emosional antara ayah dan anak.
Keterlibatan Ayah dapat Meningkatkan Prestasi Anak
Jika dilihat dari sisi pendidikan, adanya peran ayah dapat memberikan pengaruh terhadap tingkat prestasi anak. Berbagai penelitian menunjukkan peran orang tua terutama ayah memiliki pengaruh signifikan terhadap motivasi dan prestasi belajar.
Jika anak tidak mendapatkan bimbingan belajar, fasilitas belajar, dan motivasi belajar, maka anak akan selalu merasa tidak memiliki tempat berlindung dan mengeluhkan semua permasalahan yang sedang dialami. Dampak ini mungkin tidak dirasakan secara langsung, namun pengaruh yang dirasakan akan terus berkepanjangan.
Realitas di Indonesia Mengenai Fatherless
Fenomena fatherless di Indonesia sangat banyak ditemukan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, 15,9 juta anak atau setara dengan 20,1 persen anak di Indonesia berpotensi tumbuh tanpa pengasuhan ayah atau fatherless. Permasalahan ini biasanya disebabkan karena terdapat beberapa ayah yang harus jauh dari anak karena tuntutan pekerjaan. Tetapi ada juga anak yang selalu dekat dengan ayah, tetapi tidak merasakan peran yang utuh. Selain itu, budaya patriarki di Indonesia yang beranggapan bahwa pengasuh anak adalah tanggung jawab seorang ibu, dan ayah bertanggung jawab untuk menafkahi.
Solusi yang Tidak Menyentuh Akar Masalah
Pemerintah memang menindak cepat kondisi ini. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) meluncurkan Gerakan Ayah Mengambil Rapor Anak ke Sekolah. Surat edaran ini menjelaskan tujuan dari gerakan tersebut, yaitu untuk memperkuat peran ayah dalam pengasuhan dan pendidikan anak sejak dini, serta upaya mengurangi tingkat fatherless di Indonesia. Masalahnya apakah solusi ini dapat mengurangi tingakat fatherless? Atau menambah ketidak percayaan diri pada anak?
Tidak dapat dipungkiri bagi sebagian anak yang masih memiliki sosok ayah secara fisik, solusi ini dapat membantu mengurangi fenomena fatherless. Karena, bagi mereka yang terbiasa mengambil rapor diwakilkan oleh ibu, dengan kebijakan ini diharuskan pengambilan rapor diwakilkan oleh ayah. Secara tidak langsung anak akan merasa diperhatikan dan dihargai. Kemudian dengan adanya kebijakan ini juga ayah dapat berinteraksi langsung dengan guru, serta mencari solusi yang baik dalam mendidik anak demi memperjuangkan masa depannya.
Namun bagaimana mereka yang sudah tidak memiliki sosok ayah? Dilansir dari TribunBanyumas.com, Heni (43), wali murid di SMPN 7 Surakarta. Heni menyatakan bahwa kebijakan ini dapat membuat anak sedih dan khawatir ketika yang mengambil rapor itu ibunya, karena anak akan befikir ketika guru atau teman-temannya melihat bahwa dia tidak memiliki ayah. Tidak dapat dipungkiri, ketika anak harus menyaksikan temannya yang datang dengan ayah, tetapi dia tidak bisa merasakan untuk berada diposisi tersebut. Rasa kehilangan dan kerinduannya terhadap ayah akan muncul, serta anak akan merasa dirinya tidak sesuai atau setara dengan teman-temannya, yang dapat menimbulkan rasa kurang percaya diri pada anak.
Mencari Jalan Keluar yang Sebenarnya
Kebijakan ayah mengambil rapor pada dasarnya adalah upaya untuk menegaskan bahwa pendidikan anak bukan tanggung jawab seorang ibu saja, tetapi tanggung jawab bersama. Namun, di sisi lain kebijakan tersebut tidak dapat diterapkan secara jelas karena kondisi keluarga setiap anak berbeda-beda. Tidak semua anak memiliki figur ayah yang hadir secara fisik maupun peran, seperti pada anak yang mengalami fatherless. Apabila kebijakan ini tidak disertai dengan dukungan yang baik, ketentuan ini dapat menimbulkan tekanan emosional, dan munculnya perasaan tidak adil.
Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya menerapkan kebijakan ayah mengambil rapor dengan fleksibel tanpa harus mengeluarkan surat edaran resmi.Begitu pun dengan pihak sekolah perlu memberikan ruang bagi wali atau ibu tunggal untuk mewakili kehadiran ayah ntanpa memberikan stigma negtif. Selain itu, pihak sekolah perlu meningkatkan pendampingan khusus bagi anak yang memiliki latar belakang keluarga tertentu. Dengan ini, tujuan utama untuk meningkatkan keterlibatan ayah dengan anak tetap tercapai, sekaligus dengan menjaga keadilan dan kepedulian terhadap kondisi sosial anak.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
