Dominasi Bahasa Pria dalam Komentar Media Sosial
Sastra | 2025-12-25 11:00:17
Media sosial sering dianggap sebagai ruang bebas untuk berekspresi dan bertukar pendapat. Namun, pada praktiknya, media sosial justru kerap menjadi tempat subur bagi reproduksi nilai-nilai patriarki, salah satunya melalui bahasa yang digunakan dalam kolom komentar. Hal ini dapat dilihat dari komentar pada sebuah unggahan yang berbunyi: “Udah cantik, sholehah masih aja diselingkuhi kelemahan laki-laki itu di wanita ”. Komentar tersebut terlihat sederhana, tetapi jika dikaji lebih dalam, mengandung bentuk dominasi bahasa pria dan stereotip gender yang merugikan perempuan.
Komentar ini menempatkan perempuan sebagai pusat penyebab perselingkuhan. Frasa “kelemahan laki-laki itu di wanita” seolah-olah membenarkan tindakan selingkuh sebagai sesuatu yang wajar dan alami bagi laki-laki. Bahasa ini secara tidak langsung membebaskan laki-laki dari tanggung jawab moral atas perbuatannya. Kesalahan laki-laki dinormalisasi, sementara perempuan justru diposisikan sebagai pemicu masalah.
Selain itu, perempuan dalam komentar tersebut dinilai dari standar yang sangat sempit, seperti cantik dan sholehah. Ketika perempuan sudah memenuhi standar itu tetapi tetap diselingkuhi, justru muncul narasi bahwa tetap ada “celah” yang membuat laki-laki berselingkuh. Hal ini menunjukkan bagaimana bahasa digunakan untuk terus menyalahkan perempuan, apa pun kondisinya. Perempuan tidak diberikan ruang untuk memiliki pengalaman dan perasaan sendiri sebagai pihak yang disakiti.
Bahasa dalam komentar tersebut juga memperkuat stereotip bahwa laki-laki tidak mampu mengendalikan diri. Alih-alih mengkritik perilaku selingkuh, bahasa yang digunakan justru melanggengkan anggapan bahwa hal tersebut adalah “kelemahan alami” laki-laki. Pandangan ini berbahaya karena tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga menurunkan standar tanggung jawab moral laki-laki dalam relasi.
Dari kasus ini dapat dilihat bahwa bahasa bukan sekadar rangkaian kata, melainkan alat ideologis. Melalui komentar seperti ini, media sosial menjadi ruang legitimasi dominasi laki-laki dan penguatan nilai patriarki. Perempuan direduksi, disalahkan, dan kehilangan agensinya, sementara laki-laki terus ditempatkan pada posisi dominan.
Sebagai mahasiswa dan pengguna aktif media sosial, penting bagi kita untuk lebih kritis terhadap bahasa yang kita baca dan gunakan. Dengan kesadaran bahasa, kita bisa mencegah media sosial terus menjadi arena ketimpangan gender dan mulai mendorong relasi yang lebih adil dan setara.
Oleh: Yuda Saputra dan Balqis Dhia Mawaddah
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
