Bahasa Pria dan Perempuan: Cermin Relasi Sosial
Sastra | 2025-12-25 08:55:01
Bahasa sering dipahami sebatas alat komunikasi. Padahal, dalam praktik sosial, bahasa juga berfungsi sebagai cermin identitas, hubungan kekuasaan, serta nilai-nilai budaya yang hidup di tengah masyarakat. Salah satu permasalahan menarik dalam kajian kebahasaan adalah perbedaan penggunaan bahasa antara pria dan perempuan. Perbedaan ini bukan semata-mata persoalan biologi, melainkan hasil konstruksi sosial yang terbentuk melalui peran gender, budaya, dan kebiasaan komunikasi.
Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan sering diasosiasikan dengan cara bertutur yang lebih santun, hati-hati, dan ekspresif. Sebaliknya, laki-laki sering menampilkan gaya bahasa yang lugas, langsung, dan minim penghalusan. Fenomena ini bukan suatu kebetulan. Kajian sosiolinguistik menunjukkan bahwa perempuan cenderung menggunakan bahasa standar dan strategi kesantunan sebagai upaya menjaga keharmonisan hubungan sosial. Bahasa menjadi sarana membangun kedekatan dan empati.
Penggunaan ungkapan seperti mungkin, sepertinya, atau pertanyaan tambahan di akhir kalimat kerap disalahartikan sebagai tanda keraguan. Padahal, strategi tersebut merupakan bentuk kehati-hatian dan upaya menciptakan ruang dialog yang setara. Laki-laki, di sisi lain, lebih meningkatkan efektivitas kinerja pesan. Bahasa digunakan untuk menegaskan pendapat, menyampaikan informasi, dan menunjukkan kontrol dalam percakapan. Tidak jarang, hal ini tampak dalam bentuk dominasi berbicara atau interupsi.
Motif sosial menjadi faktor penting dibalik perbedaan tersebut. Perempuan sejak lama disosialisasikan untuk menjaga hubungan, merawat emosi, dan membangun solidaritas. Bahasa pun berkembang sebagai alat untuk memperkuat ikatan sosial. Laki-laki sebaliknya diarahkan pada nilai ketegasan, rasionalitas, dan pengendalian diri. Dalam konteks tertentu, bahasa menjadi simbol otoritas dan posisi sosial.
Temuan ini sejalan dengan penelitian Said Iskandar Zulkarnain dan Naria Fitriani (2019) yang menunjukkan perbedaan nyata antara laki-laki dan perempuan dalam pilihan topik, intonasi, struktur kalimat, hingga penggunaan kata vulgar. Penelitian tersebut menegaskan bahwa perbedaan bahasa merupakan pola sosial yang terstruktur, bukan sekadar preferensi individu.
Gambaran konkret perbedaan bahasa pria dan perempuan juga dapat ditemukan dalam karya sastra dan film. Film Ayat-Ayat Cinta 2, misalnya, menampilkan gaya berbahasa kontras antara tokoh Hulusi dan Fahri. Hulusi berbicara dengan pelafalan lembut, emosional, dan komunikatif. Ia sering mengajukan pertanyaan dan mengungkapkan perasaan secara terbuka untuk membangun kedekatan. Sebaliknya, Fahri menggunakan bahasa yang singkat, tenang, dan informatif. Emosi lebih banyak disimpan dan ditunjukkan melalui sikap, bukan kata-kata.
Namun demikian, perkembangan sosial modern menunjukkan adanya perubahan yang signifikan. Perempuan kini semakin percaya diri dan tegas dalam menyampaikan gagasan, baik di ruang domestik maupun ruang publik. Media sosial, dunia pendidikan, dan dunia kerja menjadi arena penting bagi transformasi bahasa perempuan. Bahasa tidak lagi sepenuhnya terikat pada stereotip kelembutan, tetapi juga menjadi medium kekuatan dan keberanian bersuara.
Pada akhirnya, memahami perbedaan bahasa pria dan perempuan bukan untuk mempertajam sekat antargender, melainkan untuk membangun komunikasi yang lebih adil dan berkeadaban. Bahasa mencerminkan cara manusia memandang diri dan sesamanya. Dengan kesadaran ini, komunikasi antargender dapat berlangsung lebih efektif, saling menghargai, dan terbebas dari prasangka.
Oleh: Arya Ardyansyah dan Firda Fitriani Nurfadhilah
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
