Di Balik Asap Nikotin: Isi Hati Para Perokok
Edukasi | 2025-12-25 08:43:30
Dalam era Kesehatan yang semakin sadar, merokok sering kali menjadi topik perdebatan hangat. Banyak orang yang peduli dengan Kesehatan diri dan orang lain berusaha menasehati perokok untuk berhenti. Merokok masih menjadi salah satu kebiasaan buruk yang besar dari segi kesehatan dan sosial. Berdasarkan data hasil Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI), jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai 70 juta, dengan 7,4 persen di antaranya merupakan anak-anak dan remaja berusia 10–18 tahun.
Meskipun para perokok tahu akan bahaya yang mereka dapat, tetapi banyak yang masih melanjutkannya, seakan akan peringatan dan gambar efek dari merokok yang ada pada bungkus rokok hanya sebuah omong kosong yang tidak jelas asal usul nya.
Seringkali saat kita mencoba menasihati perokok, respon yang muncul cenderung defensife, jatuh ditelinga tuli, menutup diri. Apakah karena mereka sudah terbiasa? Atau karena nasehat yang diberikan cendurung sebuah tekanan. Mengapa demikian? Mari kita telaah lebih dalam, bukan sebagai hakim melainkan sebagai pengamat yang berempati.
1. Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup para perokok. Rokok bukan sekedar asap, melainkan teman setia yang membantu mengatasi stress. Banyak perokok yang mengaku asap yang keluar dari mulut seolah – olah mengeluarkan beban masalah, meski tanpa disadari, itu Adalah awal dari masalah kesehatan yang lebih besar. Rokok sudah menjadi rutinitas harian mereka, yang membuat semakin sulit untuk melepaskannya.
2. Masih Sehat
Kondisi Kesehatan yang masih baik membuat mereka merasa tidak perlu terburu – buru untuk berhenti dan merasa bahaya merokok tidak akan terjadi pada dirinya. Ditambah lagi nasihat yang diberikan terasa kurang memahami kondisi hidup perokok.
3. Faktor Lingkungan
Bukan hanya soal Kesehatan, tapi juga faktor lingkungan. Mayoritas perokok memiliki teman – teman yang merokok, hal ini yang membuat mereka semakin sulit untuk berhenti karena adanya ajakan untuk terus melakukan tindakan tersebut. Ditambah lagi jika mereka memiliki pengalaman masa kecil dimana mereka sering kali disuruh membeli rokok oleh ayahnya. Secara tidak langsung akan membentuk pola pikir anak kalau tindakan merokok adalah hal yang wajar.
Data kuesioner yang saya lakukan, 80% mengungkapkan bahwa nasihat berulang kali terasa seperti tekanan atau penghakiman. Bagi sebagian perokok itu bukan lagi saran, melainkan serangan terhadap identitas mereka. “kenapa harus aku yang disalahkan?” seperti itu pikiran mereka. Namun tidak semua bereaksi negatif, Sebagian merasa biasa saja. Yang menarik, perokok sebenarnya memiliki niat untuk berhenti, tapi saat dampak finansial mulai datang. Faktor ini sering kali jangka pendek, Ketika uang menipis mereka berhenti sebentar, tapi begitu ada uang lagi, kebiasaan Kembali.
Lalu, apa yang perlu dilakukan? Perokok berharap nasihat yang disampaikan diiringi dengan empati, bukan paksaan. Dukungan dari lingkungan, kemampuan mengatasi stress tanpa rokok, dan kemauan diri sendiri adalah kunci utama. Mereka ingin nasihat yang perlahan, tidak menyudutkan, dan memberikan ruang untuk berubah pelan – pelan. Bukan “Berhenti sekarang juga!”, melainkan “aku disini kalau kamu butuh bantuan.” Ini bukan tentang menyerah pada perokok, tapi memahami bahwa ketergantungan adalah masalah yang perlu pendekatan manusiawi.
Sebagai Masyarakat, kita perlu bergeser dari pendekatan menghakimi ke pendekatan mendukung. Kampanye anti rokok yang agresif mungkin efektif untuk Pendidikan, tapi untuk perubahan pribadi, empati lebih relevan. Ingat, perokok bukan musuh, mereka adalah bagian dari kita yang sedang terjebak dalam lingkaran ketergantungan. Dengan dukungan yang tepat, mereka bisa keluar dari sana.
Akhirnya, menasehati perokok bukanlah tugas mudah, tapi juga bukan mustahil. Dengan empati dan dukungan seperti ajakan untuk berolahraga atau tawarkan konseling untuk mengatasi stress bisa membantu mereka menuju hidup yang lebih sehat. Karena pada akhirnya, Kesehatan bukan hanya tentang individu, tapi juga tentang komunitas yang peduli.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
