Penyakit Akibat Rokok Diusulkan Tidak Lagi Ditanggung BPJS Kesehatan, Kontroversi Baru?
Info Terkini | 2025-01-04 19:10:16Pemerintah Indonesia tengah menggulirkan wacana kebijakan yang mengundang kontroversi. Mulai tahun 2025, penyakit akibat konsumsi rokok diusulkan untuk tidak lagi ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Langkah berani di awal tahun ini memicu diskusi panas di berbagai kalangan, terutama di media sosial, karena dampaknya yang tidak hanya menyentuh perokok aktif, tetapi juga perokok pasif yang menjadi korban dari perilaku orang lain.
Wacana Kebijakan dan Latar Belakangnya
Kebijakan ini muncul sebagai respon atas tingginya beban keuangan BPJS Kesehatan pada tahun 2024. Berdasarkan data dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), lebih dari 11% total klaim BPJS Kesehatan berasal dari penyakit terkait rokok, seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), kanker paru, hingga penyakit jantung. Pengeluaran untuk penyakit ini bahkan mencapai Rp34 triliun setiap tahunnya, seperti yang dituturkan juga oleh Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti dalam tayangan Metro Pagi Primetime, Metro TV, Sabtu, 4 Januari 2024.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin turut menyebutkan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi prevalensi rokok dan menanamkan tanggung jawab individu terhadap pilihan gaya hidup. Meski demikian, kritik keras datang dari berbagai pihak yang menilai langkah ini terlalu berat sebelah.
Perokok Pasif: Warga yang Terlupakan?
Salah satu isu yang mencuat dalam perdebatan ini adalah nasib perokok pasif. Data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa lebih dari 8 juta perokok meninggal setiap tahun dan 1,2 juta lainnya meninggal akibat paparan asap rokok (perokok pasif). Di Indonesia, angka ini menjadi semakin relevan mengingat sangat tingginya prevalensi merokok di ruang publik dari laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) per-2024 yang mencapai ratusan miliar di Indonesia untuk orang dewasa. Data ini juga yang menjadikan Indonesia menjadi pengonsumsi rokok tertinggi di ASEAN pada tahun 2024.
“Jika penyakit akibat rokok tidak ditanggung, bagaimana dengan perokok pasif yang tidak punya pilihan untuk menghindari paparan? Pemerintah harus jelas, dong, kalau bikin kebijakan!” tanya seorang pengguna Instagram.
Kekhawatiran ini mencerminkan suara masyarakat yang merasa khawatir kebijakan tersebut akan berlaku tidak adil bagi mereka yang menjadi korban karena.
Pro dan Kontra di Kalangan Warganet
Komentar media sosial penuh dengan perdebatan tajam, khususnya setelah akun media sosial ternama menerbitkan postingan terkait kebijakan ini. Sebagian warganet menyatakan dukungan terhadap kebijakan ini, dengan alasan bahwa premi BPJS seharusnya tidak digunakan untuk menanggung penyakit akibat gaya hidup tidak sehat.
"Biar ada efek jeranya ke mereka, nggak buang-buang anggaran negara," tulis seorang pengguna Twitter.
Namun, tak sedikit yang mengecam kebijakan ini sebagai bentuk benih diskriminasi. "Jadi ladang duit ini, nanti didiagnosa karena rokok tapi nggak ditanggung BPJS. Cuan," ujar komentar lainnya.
Beberapa juga mempertanyakan bagaimana pemerintah akan membuat rincian kebijakan tepat dalam menangani kelompok rentan, seperti perokok pasif, yang tidak seharusnya menanggung beban tersebut.
Efektivitas dan Tantangan Implementasi
Meskipun tujuan kebijakan ini terlihat menjanjikan, efektivitasnya masih menjadi tanda tanya besar. Studi dari CISDI menegaskan bahwa pembatasan pembiayaan saja tidak cukup. Edukasi publik, penguatan regulasi seperti larangan iklan rokok, dan kenaikan cukai harus berjalan beriringan.
Di negara-negara seperti Singapura, pendekatan serupa berhasil menekan prevalensi rokok. Namun, hal ini didukung oleh layanan berhenti merokok yang mudah diakses dan edukasi kesehatan yang masif. Jika Indonesia ingin mengikuti jejak ini, kebijakan harus diiringi dengan solusi nyata untuk mengatasi dampak buruk bagi perokok pasif.
Langkah ke Depan
Kontroversi ini menunjukkan betapa pentingnya dialog yang inklusif dalam merumuskan kebijakan kesehatan. Pemerintah dalam bidang ini perlu memastikan bahwa setiap kelompok masyarakat, baik perokok aktif maupun pasif, mendapatkan perlakuan yang adil terkait segala kebijakan publik sehingga kebijakan harus rinci dan tidak berpotensi menimbulkan kontroversi. Kebijakan ini juga harus dilihat sebagai bagian dari langkah besar menuju kesehatan nasional yang lebih baik, bukan sekadar upaya penghematan biaya.
Apakah kebijakan ini akan membawa dampak positif atau justru memperburuk ketimpangan akses kesehatan? Hanya waktu yang bisa menjawab, tetapi satu hal yang pasti: kesehatan adalah hak semua orang, bukan sekadar privilese bagi segelintir pihak.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.