Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Gilang Candra Permana

Strategi Tiongkok dalam Ekspansi di Laut Cina Selatan

Politik | 2025-12-20 16:37:30
Laut Cina Selatan. (Foto/Shutterstock)

Laut Cina Selatan merupakan jalur maritim vital yang mengangkut sepertiga perdagangan global dan mayoritas impor energi Tiongkok, menjadikannya titik temu kepentingan geopolitik yang sangat strategis. Tiongkok menerapkan strategi ekspansi multidimensi untuk mengamankan wilayah ini, mulai dari klaim historis "Sembilan Garis Putus-Putus", pembangunan pulau buatan dengan fasilitas militer, hingga instrumen ekonomi melalui Belt and Road Initiative. Pendekatan ini bertujuan memperkuat pengaruh Tiongkok di Asia Tenggara sekaligus mengamankan kepentingan ekonomi dan keamanan nasionalnya secara jangka panjang.

Namun, langkah ekspansif Tiongkok ini memicu ketegangan regional dan dilema keamanan bagi negara-negara pesisir seperti Filipina, Vietnam, dan Indonesia. Meskipun Mahkamah Arbitrase Internasional telah menolak dasar hukum klaim Tiongkok pada tahun 2016, konfrontasi di lapangan terus berlanjut dan melibatkan kekuatan eksternal seperti Amerika Serikat. Dinamika ini menunjukkan adanya benturan antara ambisi hegemonik dengan upaya mempertahankan tatanan internasional berbasis hukum, yang pada akhirnya sangat memengaruhi stabilitas keamanan dan ekonomi di kawasan Asia-Pasifik.

Fondasi Klaim dan Dasar Historis: Konsep Nine-Dash Line

Strategi klaim historis Tiongkok di Laut Cina Selatan berpusat pada konsep "Sembilan Garis Putus-Putus" (Nine-Dash Line), yang mengklaim kedaulatan atas hampir seluruh wilayah perairan tersebut berdasarkan rekam jejak sejarah sejak zaman dinasti. Melalui klaim ini, Tiongkok menetapkan empat kategori yurisdiksi maritim yang mencakup kedaulatan pulau, garis pangkal lurus, hingga zona ekonomi eksklusif yang membatasi akses negara lain. Ambisi ini didorong oleh tiga motivasi utama: ekonomi untuk mengamankan cadangan energi dan jalur perdagangan, geopolitik guna memperkuat dominasi di Asia Tenggara serta visi "Satu China", dan keamanan sebagai benteng pertahanan maritim terhadap pengaruh kekuatan Barat di kawasan tersebut.

Strategi Infrastruktur Fisik: Pembangunan Pulau Buatan dan Militerisasi

Landasan terbang buatan Tiongkok di samping bangunan di pulau buatan di Mischief Reef di Laut China Selatan. (AP Photo/Aaron Favila)

Tiongkok memperkuat dominasinya di Laut Cina Selatan melalui pembangunan masif pulau buatan di tujuh terumbu karang utama Kepulauan Spratly, seperti Mischief Reef dan Fiery Cross Reef. Sejak dimulai secara intensif pada 2013, wilayah reklamasi ini telah dilengkapi dengan infrastruktur militer canggih, mulai dari landasan udara, sistem radar, hingga fasilitas perang elektronik dan intelijen (ISR) terbaru. Pembangunan ini bertujuan untuk memastikan kehadiran militer permanen serta memproyeksikan kekuatan tempur dan pengawasan yang ketat di seluruh kawasan sengketa tersebut.

Namun, ekspansi fisik ini membawa dampak ekologis yang sangat mengkhawatirkan bagi keanekaragaman hayati maritim global. Laporan tahun 2025 menunjukkan bahwa Tiongkok bertanggung jawab atas kerusakan sekitar 65% dari total terumbu karang yang hancur di Laut Cina Selatan akibat aktivitas pengerukan dan penimbunan. Penguburan ribuan hektar terumbu karang ini mengakibatkan kerusakan habitat laut yang permanen, mengancam kesehatan ekosistem jangka panjang yang sangat vital bagi kawasan Asia-Pasifik.

Strategi Ekonomi: Belt and Road Initiative dan Maritime Silk Road

Tiongkok meluncurkan strategi ekonomi Maritime Silk Road (MSR) sebagai bagian dari Belt and Road Initiative (BRI) untuk membangun jaringan infrastruktur maritim yang menghubungkan Asia, Afrika, hingga Eropa. Melalui investasi besar-besaran pada pelabuhan strategis dan zona ekonomi, Tiongkok tidak hanya membuka akses pasar global bagi perusahaannya, tetapi juga menciptakan ketergantungan ekonomi yang memberikan leverage politik kuat terhadap negara-negara mitra. Strategi ini memungkinkan Beijing mengubah lanskap ekonomi kawasan dengan menciptakan sistem perdagangan internasional yang berpusat pada kepentingannya.

Selain dimensi ekonomi, MSR berfungsi sebagai instrumen geopolitik dan keamanan untuk menandingi dominasi Barat, terutama strategi Indo-Pasifik Amerika Serikat. Infrastruktur pelabuhan yang dibangun seringkali memiliki fungsi ganda yang dapat mendukung operasi militer serta memperkuat kehadiran maritim Tiongkok di jalur pelayaran vital. Dengan membangun kemandirian jalur perdagangan yang luas, Tiongkok berupaya memitigasi risiko blokade dari negara-negara Barat sekaligus mengukuhkan posisinya sebagai kekuatan hegemonik baru di kawasan Indo-Pasifik.

Strategi Diplomatik: Diplomasi Soft Power dan Constructive Engagement

Tiongkok menjalankan strategi diplomasi soft power yang canggih untuk mengubah persepsi negara-negara Asia Tenggara dari ancaman menjadi mitra konstruktif. Melalui kerja sama ekonomi, pertukaran budaya, dan dialog multilateral, Beijing berupaya menyelaraskan kepentingan negara-negara ASEAN dengan visinya. Sebagai respons, ASEAN menerapkan kebijakan constructive engagement berdasarkan "ASEAN Way" untuk mengikat Tiongkok dalam norma regional, yang salah satu hasilnya adalah kesepakatan Declaration of Conduct (DoC) pada tahun 2002.

Namun, efektivitas diplomasi ini terhambat oleh taktik Tiongkok yang cenderung memecah belah solidaritas ASEAN dengan membujuk negara-negara anggota tertentu agar menghindari pembahasan isu Laut Cina Selatan di forum regional. Meskipun demikian, proses negosiasi Code of Conduct (CoC) dilaporkan mengalami kemajuan pesat dan ditargetkan rampung pada tahun 2026 di bawah kepemimpinan Filipina. CoC diharapkan menjadi kerangka kerja legal untuk mengatur perilaku para pihak dan mencegah eskalasi konflik, walaupun instrumen ini bukan merupakan solusi akhir atas sengketa kedaulatan wilayah tersebut.

Respons Negara-Negara Terhadap Strategi Tiongkok

Area Laut Cina Selatan yang diklaim oleh Tiongkok. (Youtube)

Negara-negara Asia Tenggara merespons ekspansi Tiongkok melalui jalur hukum dan diplomatik, dengan Filipina sebagai aktor paling vokal. Pada tahun 2016, Mahkamah Arbitrase Permanen (PCA) memenangkan gugatan Filipina dan menyatakan bahwa klaim "hak historis" Tiongkok dalam Nine-Dash Line tidak memiliki dasar hukum menurut UNCLOS 1982. Putusan tersebut menegaskan bahwa fitur maritim di Kepulauan Spratly hanyalah bebatuan yang tidak memberikan hak zona ekonomi, serta menyatakan Tiongkok telah melanggar hak kedaulatan Filipina dan merusak lingkungan laut melalui pembangunan pulau buatan.

Meskipun Tiongkok menolak mentah-mentah putusan arbitrase tersebut, ketegangan di lapangan terus meningkat melalui konfrontasi fisik. Hingga April 2025, insiden tabrakan dan pengadangan oleh kapal Penjaga Pantai Tiongkok terhadap kapal-kapal Filipina seperti BRP Cabra terus berulang sebagai upaya Beijing memperkuat kontrol de facto. Sementara itu, Vietnam tetap memperkuat kehadiran fisiknya di Kepulauan Spratly, sedangkan Malaysia dan Brunei cenderung memilih jalur dialog bilateral dengan intensitas yang lebih rendah dalam mempertahankan klaim mereka.

Indonesia memegang peran strategis sebagai pemimpin ASEAN dengan memfasilitasi dialog dan menekankan kepatuhan terhadap UNCLOS 1982. Meski bukan penuntut wilayah di Kepulauan Spratly, Indonesia berkepentingan menjaga stabilitas di Laut Natuna Utara yang bersinggungan dengan klaim Tiongkok. Posisi Indonesia secara konsisten mendorong penyelesaian damai tanpa kekerasan, guna memastikan bahwa Laut Cina Selatan tetap menjadi kawasan yang stabil dan tunduk pada aturan hukum internasional yang berlaku.

Tantangan dan Kontradiksi dalam Strategi Tiongkok

Strategi ekspansi Tiongkok menghadapi tantangan besar akibat pertentangan antara klaim historis "Sembilan Garis Putus-Putus" dengan hukum internasional modern, terutama setelah putusan arbitrase 2016 menegaskan bahwa klaim tersebut tidak memiliki dasar hukum di bawah UNCLOS. Agresi militer dan pembangunan infrastruktur di wilayah sengketa justru memicu respons balik dari negara-negara pesisir yang kini memperkuat aliansi keamanan dengan kekuatan eksternal seperti Amerika Serikat, Australia, dan Jepang. Kehadiran militer AS yang intensif melalui operasi kebebasan navigasi menciptakan dinamika keamanan yang kompleks dan meningkatkan risiko pecahnya konflik bersenjata di kawasan tersebut.

Di sisi lain, penggunaan taktik koersif oleh penjaga pantai dan milisi laut Tiongkok, seperti penggunaan meriam air dan penabrakan kapal, telah menciptakan pola antagonisme yang merusak stabilitas regional demi memaksakan status quo baru. Selain itu, strategi ekonomi melalui Maritime Silk Road kini dibayangi oleh kekhawatiran akan "diplomasi jebakan utang" (debt-trap diplomacy). Hal ini dikhawatirkan dapat melumpuhkan kedaulatan negara-negara kecil, membuat mereka secara ekonomi bergantung pada Beijing sehingga terpaksa mengabaikan hak maritim mereka sendiri demi menjaga hubungan investasi dengan Tiongkok.

Kesimpulannya, Strategi ekspansi Tiongkok di Laut Cina Selatan merupakan konstruk kebijakan multidimensi yang secara ambisius menggabungkan klaim historis, pembangunan militer masif, serta instrumen ekonomi melalui Maritime Silk Road. Dengan tujuan menguasai jalur perdagangan dan sumber daya energi, Beijing memanfaatkan kombinasi hard, soft, dan smart power untuk mengamankan dominasi geopolitiknya. Namun, ambisi ini terbentur oleh tatanan hukum internasional, terutama putusan arbitrase 2016, serta resistensi dari negara-negara tetangga yang kian memperkuat kapabilitas militer dan aliansi eksternal guna menghadapi tekanan sepihak tersebut.

Keberhasilan stabilitas kawasan kini sangat bergantung pada negosiasi Code of Conduct (CoC) yang ditargetkan rampung pada 2026 sebagai upaya kolektif meredam eskalasi konflik. Fenomena ini menjadi ujian krusial bagi efektivitas hukum internasional berbasis aturan dalam menghadapi kepentingan besar suatu kekuatan global. Pada akhirnya, masa depan Laut Cina Selatan akan ditentukan oleh kemampuan komunitas internasional dalam menegakkan prinsip multilateralisme dan supremasi hukum guna mencegah tindakan unilateral yang dapat merusak tatanan keamanan dan ekonomi global di masa mendatang.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image