Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Wuri Syaputri

FOMO dan Bahasa Kecemasan Zaman Now

Culture | 2025-12-17 17:34:58
Ilustrasi gambar dibuat oleh AI

Di tengah dunia yang kian ramai oleh unggahan dan notifikasi, banyak orang merasa cemas tanpa tahu persis sebabnya. Kita membuka ponsel bukan karena perlu, melainkan takut tertinggal. Takut tidak ikut, takut tidak tahu, takut tidak hadir. Fenomena ini dikenal sebagai fear of missing out atau FOMO rasa takut ketinggalan yang pelan-pelan menjadi kecemasan kolektif masyarakat modern.

Istilah FOMO pertama kali dirumuskan secara akademik oleh Andrew Przybylski dan rekan-rekannya pada 2013. Mereka mendefinisikannya sebagai kecemasan yang muncul ketika seseorang merasa orang lain sedang menjalani pengalaman bermakna tanpa dirinya, disertai dorongan untuk terus terhubung secara daring (Przybylski et al., 2013). Sejak itu, FOMO kerap dibahas dalam psikologi sebagai pemicu stres, kecanduan gawai, dan penurunan kepuasan hidup.

Namun, jarang disadari bahwa FOMO tidak hanya tumbuh dari dalam diri, melainkan juga dari cara kita berbahasa. Media sosial bukan hanya ruang pamer visual, tetapi ruang bahasa: caption, komentar, dan hashtag yang kita pakai setiap hari ikut membentuk rasa cemas tersebut.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa individu dengan tingkat FOMO tinggi cenderung lebih sering memantau media sosial dan mengalami kepuasan hidup yang lebih rendah. Abel, Buff, dan Burr (2016) menemukan bahwa FOMO berkorelasi dengan penggunaan media sosial yang berlebihan dan meningkatnya perasaan kesepian. Dalam penelitian lain, Dhir dan koleganya (2018) menunjukkan bahwa FOMO berkontribusi pada social media fatigue, yakni kelelahan mental akibat terlalu banyak terlibat secara emosional di dunia digital.

Pertanyaannya: mengapa melihat unggahan orang lain bisa begitu melelahkan? Jawabannya sebagian terletak pada bahasa yang digunakan untuk membingkai pengalaman. Linguist Michele Zappavigna (2011) memperkenalkan konsep ambient affiliation, yaitu cara bahasa di media sosial membangun rasa kebersamaan melalui ujaran singkat yang bisa dicari dan dibagikan seperti hashtag, mention, atau penilaian singkat. Bahasa tidak hanya menyampaikan cerita, tetapi mengajak orang lain ikut merasakan.

Dalam praktik sehari-hari, ambient affiliation terlihat pada caption seperti “akhirnya kesampaian”, “best night ever”, atau “jangan sampai ketinggalan”. Bahasa semacam ini memberi nilai lebih pada sebuah momen. Secara tidak langsung, ia menyampaikan pesan: momen ini penting, dan ketidakhadiran berarti kehilangan. Ketika pesan ini terus berulang, rasa takut tertinggal menjadi wajar dan bahkan dianggap normal.

Penelitian tentang presentasi diri daring juga menunjukkan bahwa pengguna media sosial cenderung menampilkan versi terbaik dari hidup mereka. Ellison, Heino, dan Gibbs (2006) menjelaskan bahwa komunikasi digital mendorong pengelolaan citra diri yang selektif demi penerimaan sosial. Bahasa superlatif, cerita singkat yang penuh kebahagiaan, dan penghilangan sisi lelah atau gagal menjadi pola umum. Akibatnya, pembaca membandingkan hidup nyata yang biasa-biasa saja dengan narasi digital yang tampak luar biasa.

Di sinilah FOMO bertaut erat dengan kecemasan. Milyavskaya et al. (2018) menunjukkan bahwa FOMO berkaitan dengan frustrasi kebutuhan psikologis dasar, seperti kebutuhan akan keterhubungan dan otonomi. Bahasa yang terus-menerus menampilkan kebersamaan dan keseruan orang lain justru memperkuat rasa terpisah dalam diri pembaca.

Hubungan ini semakin jelas dalam studi Elhai et al. (2020), yang menemukan bahwa FOMO memediasi hubungan antara kecemasan dan penggunaan bermasalah smartphone. Dengan kata lain, kecemasan diperkuat oleh pesan-pesan linguistik yang mendorong kita untuk selalu hadir, selalu tahu, dan selalu terhubung.

Meski demikian, bahasa tidak selalu menjadi sumber masalah. Ia juga dapat menjadi jalan keluar. Unggahan yang jujur tentang lelah, ragu, atau keinginan untuk berhenti sejenak dari hiruk-pikuk digital membentuk wacana tandingan. Caption sederhana tanpa hiperbola, cerita tentang hari biasa, atau pengakuan bahwa tidak semua momen perlu dibagikan, perlahan menurunkan tekanan sosial untuk selalu “ikut”.

Dari sudut pandang linguistik, ini penting. Bahasa membentuk cara kita memaknai hidup. Ketika kata-kata yang dominan menekankan kecepatan, eksklusivitas, dan keseruan, kecemasan mudah tumbuh. Sebaliknya, ketika bahasa memberi ruang bagi jeda, kesederhanaan, dan ketidakhadiran, kita belajar bahwa hidup tidak harus selalu ramai untuk bermakna.

Maka, membicarakan FOMO bukan hanya soal membatasi waktu layar, tetapi juga soal kesadaran berbahasa. Memilih kata dengan lebih jujur, menghindari glorifikasi berlebihan, dan menulis pengalaman apa adanya adalah langkah kecil yang bisa mengurangi kecemasan kolektif. Di dunia yang terlalu ramai oleh ujaran, mungkin yang paling kita butuhkan adalah bahasa yang lebih tenang dan lebih manusiawi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image